Gelisah ....
Itulah yang dirasakan Lana saat ini. Semenjak Elvira sakit, suaminya mau tak mau harus sering berlama-lama di rumah mantan istrinya. Sudah seminggu ini Akmal sering pulang pergi untuk menemani putrinya yang masih sakit dan tidak mau ke mana-mana selain di rumah ibunya. Wajar saja jika Lana gelisah, karena secara tak langsung, mereka lebih sering bertatap muka dan bukan tak mungkin jika Akmal akan jatuh kembali dalam pesona mantan istrinya. Bagaimanapun mereka pernah menikah dan menjalani rumah tangga selama bertahun-tahun, dan tak mudah bagi mereka untuk melupakan semua kenangan yang telah terukir meski mereka telah menemukan pengganti masing-masing. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Kedua anak tirinya belum mau menerimanya. Mereka seperti terus berusaha untuk menyatukan kembali kedua orang tuanya. Lalu bagaimana dengan dirinya dan nasib masa depannya? Lana masih melamun sambil memikirkan segala kemungkinan yang menghantuinya saat ini. Layar komputer di depannya seakan tak menarik baginya. Ia tak sadar ada suara langkah kaki yang mendekat.
"Lan...." Lana masih melamun menerawang tentang nasib rumah tangganya dengan suaminya.
"Lana...." Lana masih belum menyadarinya. Ia tersentak saat ada yang menggoyang pelan lengannya. Ia langsung menolehkan wajahnya.
"Eh..., Kak. Maaf, ada apa ya, Kak?" tanyanya kepada Pascal yang berdiri di depan mejanya. Pascal memperhatikan raut lesu dan tak bersemangat adiknya. Ada apa dengan adik tersayangnya itu?
"Temenin Kakak makan siang. Kamu kelihatan melamun dari tadi." Lana tersenyum tipis. Pikirannya bena-benar tak fokus saat ini. Ia mengangguk.
"Ayo, Kak! Maaf, aku cuma lagi gak fokus aja." Pascal hanya mengangguk. Lana segera berdiri dari duduknya dan berjalan mengikuti Pascal yang sudah melenggang duluan menuju lift.
***
Pascal memperhatikan Lana yang hanya mengaduk-ngaduk siomaynya tanpa berminat memakannya. Tatapannya terlihat sendu dan sedang banyak pikiran. Apa adiknya sedang ada masalah dengan suaminya saat ini?
"Lana...." panggilnya. Lana menolehkan wajahnya pada kakaknya.
"Ya, Kak?" Pascal menatap Lana sejenak.
"Kakak lihat..., kamu seperti sedang banyak pikiran. Apa ada masalah dengan suamimu?" tanyanya. Lana menghela nafas sejenak dan menatap kakaknya.
"Emang kelihatan banget ya, Kak?" tanyanya balik. Pascal hanya mengangguk.
"Iya. Kamu bisa ceritakan apa yang sedang terjadi saat ini dengan suamimu." Lana menarik nafas sejenak. Pascal adalah seorang kakak terhebat baginya yang menjadi idolanya, pahlawannya, dan pelindungnya sejak mereka masih kecil. Ia tak malu untuk menangis dan tak harus berpura-pura tegar di depan kakaknya.
"Mas Akmal..., dia..., terpaksa harus sering pulang pergi ke rumah mantan istrinya selama seminggu ini karena putrinya yang sedang sakit dan butuh kedua orang tuanya. Ini tentang kedua anak tiriku, Kak." jelasnya sendu. Pascal bisa melihat Lana yang sedang menahan tangisnya. Ia pasti sudah memeluknya jika saja mereka sedang tidak berada di kantor.
"Mereka belum bisa menerima kehadiranku sebagai istri dari ayahnya dan mama bagi mereka. Mereka bersikeras untuk terus menahan kedua orang tua mereka untuk tetap bersama. Aku harus bagaimana, Kak? Apa Mas Akmal akan meninggalkanku dan kembali lagi dengan mantan istrinya demi mereka? Aku gak tahu Kak harus gimana lagi supaya mereka bisa nerima aku dalam hidup mereka." Pascal merasa iba dan merasakan sakit yang sama saat mendengar nada frustasi dari suara parau Lana. Lana adalah permata berharganya seperti mamanya dan Jeana. Ia tak akan membiarkan siapa pun sampai menyakiti adik tersayangnya itu. Ia mengelus lembut tangan Lana. Lana mencoba menghapus air matanya yang sedari tadi ditahannya agar tidak tumpah. Namun, hatinya terlalu sakit menghadapi kenyataan rumit ini. Ia tak mau sampai menjadi janda di usia muda.
"Biarkan saja dia melakukan apa yang ingin dia lakukan. Kakak ingin lihat, sejauh manakah perjuangannya untuk bisa mempertahankan kamu di sisinya. Jika dia sudah keterlaluan, kami tak akan segan-segan untuk mengambilmu darinya dan menjauhkannya darimu." Lana sedikit takut mendengar suara tegas dan tajam kakaknya. Pascal adalah orang yang dingin dan tak banyak bicara. Sekali kakaknya sudah marah, semua orang akan langsung takut kepadanya. Kakaknya yang terkenal cuek dan datar itu memang terlihat mengerikan kalau sudah tersulut emosinya. Ia mencoba untuk tidak memancing emosi kakaknya dengan masalahnya.
"Kakak jangan marah, ya?! Aku yakin, Mas Akmal pasti bisa menjaga hatinya untukku. Dia hanyalah masa lalunya, dan aku akan berusaha untuk menjadi masa depan yang ia inginkan." ucapnya agar kakaknya tidak sampai ikut berpikiran negatif terhadap suaminya yang akan berbuntut panjang dalam masalah besar nantinya. Ia terus meyakinkan dirinya jika Akmal tak akan pernah menyakitinya seperti janji lelaki itu padanya.
***
Lana melepas mukenanya dan membereskan peralatan sholatnya. Ia baru saja selesai sholat isya. Saat ia sudah berdiri di depan cermin rias dan akan mengambil sisir untuk menyisir rambutnya, terdengar pintu rumahnya diketuk dan suara orang memberi salam. Pasti suaminya baru datang. Ia segera keluar kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu. Ia membukakan pintunya dan ia tersenyum menyambut suaminya. Ia menyalami suaminya seperti biasa
"Gimana keadaan Elvira, Mas?" tanyanya sambil masuk ke dalam diikuti suaminya. Akmal menaruh kantong kresek hitam yang dibawanya di meja makan.
"Lumayan. Dia kena gejala tipus. Untungnya sekarang dia selalu maksain makan dan minum obat."
Lana hanya mengangguk. Ia bersyukur anak tirinya itu tidak apa-apa. Meski Elvira belum mau menerimanya, Lana tetap berusaha untuk tetap baik dan merangkul dengan perlahan agar mereka bisa menerima kehadirannya sebagai orang tua mereka juga.
"Kamu udah makan belum? Aku bawa 2 bungkus nasi goreng." Lana menggeleng.
"Udah tadi, Mas. Nanti aja kalau tiba-tiba malem laper, kita makan sama-sama." Akmal hanya mengangguk. Mereka memasuki kamar mereka berdua.
"Mas udah makan juga?" Akmal mengangguk.
"Iya. Udah tadi sama suami Siska juga di rumah mereka."
Lana mengangguk. Setidaknya ia bisa lega sedikit, ada suami dari mantan istrinya itu yang menjadi penghalang kedekatan mereka. Ia berjalan menuju cermin rias dan melanjutkan kembali kegiatan menyisir rambutnya yang sempat tertunda tadi. Akmal duduk di ranjang memperhatikan tingkah anggun istrinya yang sedang menyisir rambut hitamnya.
Istrinya terlihat bagai bidadari yang menyilaukan dan membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang sudah lama tertidur. Tak tahan, ia segera menghampiri sang istri yang masih asyik dengan kegiatannya. Lana tersentak saat sepasang tangan kekar melingkari perutnya dari belakang dan hembusan nafas hangat di telinganya membuatnya meremang dan menegang. Apalagi saat mendengar bisikan selembut angin yang bertiup lembut, begitu membuatnya terbuai dengan pesona dan kenyamanan yang diciptakan oleh lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second
Romance(CERITA INI SUDAH TERBIT DI EBOOk. SILAKAN CEK DAN DOWNLOAD DI PLAYSTORE) Duren? Satu kalimat yang membuat Lana ingin tertawa mendengarnya. Kesan pertama saat ia pertama melihat seorang lelaki yang berstatus duda yang juga merupakan tetangganya. Tap...