O8. He hate pineapple

870 200 4
                                    

Hari ini aku lewat di depan rumahmu dulu, walaupun sekarang aku tahu bahwa rumah penuh kenangan itu sudah milik orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini aku lewat di depan rumahmu dulu, walaupun sekarang aku tahu bahwa rumah penuh kenangan itu sudah milik orang lain. Aku terdiam sejenak memandang pagar itu nanar, semua kenangan kita bahkan terjual habis bersamaan dengan kepergianmu yang terbilang akan-bukan-untuk selamanya di hidupku.

Aku tertawa miris, aku sangat ingat bagaimana aku pernah berada dalam rumah itu-berbincang denganmu walaupun endingnya selalu kau tinggalkan.

Hari itu aku berencana untuk belajar bersamamu mengingat ujian kelulusan kita semakin mendekat. Mempunyai sahabat yang pintar sepertimu memang sangat bisa di andalkan walaupun aku menerima banyak hinaan.

"Kau bodoh!" Ucapmu.

Aku mendengus, "Jangan salahkan aku, salahkan teorinya yang begitu rumit,"

"Serumit apapun soal pasti akan terselesaikan, otakmu saja yang memang di bawah rata-rata," Umpatmu lagi.

Lagi-lagi aku harus sabar menerima umpatan menyebalkanmu.

"Lalu, apakah semuanya harus punya proses se-rumit ini?"

"Ya,"

"Oh, Ya Tuhan! Bahkan bukan aku yang membeli lima lembar baju, mengapa aku yang ditanya berapa harganya?" Aku mengerang frustasi sambil menatap soal cerita matematika yang menyebalkan itu.

Kau menghela nafas lalu mengetuk kepalaku dengan pensilmu, "Itu hanya persamaan-kau jangan berfikir seolah kau bukan seorang yang terpelajar,"

Aku mengangkat buku itu tinggi-tinggi, "Astaga! Bahkan bukan aku yang berada di samping ambulance itu, lantas mengapa aku yang ditanya berapa jarak antara aku dan ambulance ini?"

"Aku bahkan tak tahu membuat larutan, mengapa aku yang di tanya kadar pH-nya?"

"Mengapa teori di dunia biologi begitu menyebalkan? Ah, kepalaku benar-benar pusing memikirkannya,"

Kau terlihat begitu malas menatapku yang terus-terusan mengoceh tak jelas tentang ketidak adilan di dunia pendidikan. Ya, mungkin banyak orang yang menganggapku gila karena memikirkan seluruh teori menyebalkan perhitungan itu.

"Bahkan cinta saja tak serumit dan berliku ini? Ah! semua pelajaran ini memang menyebalkan!"

Aku melempar pulpen asal, membuatnya terpental jauh di atas lantai. Kau hanya menghela nafas berat kemudian menyodorkan ku sepiring buah nanas yang telah terpotong kecil.

Seketika aku tersenyum lebar, kau memang selalu tahu buah kesukaanku.

"Siapa bilang cinta tidak rumit? Bahkan cinta lebih susah di jabarkan dari matematika dan sulit di hipotesa daripada biologi,"

Aku menganggukkan kepala sambil kembali memakan nanas kesukaanku, "Ya, ya, terserah katamu."

Kau kembali diam sambil terus menatapku. Jujur, aku tiba-tiba merasa canggung.

"Kenapa terus menatapku? Oh, kau mau makan nanas juga?" Aku menyodorkan sepotong nanas tepat di hadapanmu.

Kau menggeleng lalu mendorong tanganku pelan, "Aku tidak suka Nanas,"

"Tidak suka? Lalu, apa bedanya dengan menghabiskan es krim rasa Nanas?" Tanyaku.

Kau terdiam.

"Bagaimana kalau kau ku kupaskan apel? Bukankah itu buah kesukaanmu?"

Lagi-lagi kau menggeleng.

"Aku benci Apel, jangan memberiku ataupun menyebut nama buah itu," Katamu di ikuti sorot mata yang tajam.

"Kenapa?"

Sialnya, kau lagi-lagi meninggalkanku. Bahkan, hanya kau satu-satunya Tuan Rumah yang berani meninggalkan Tamunya sendiri.

Sehun-mengapa mereka tega menjual semua kenangan kita disana?

sweet lies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang