"9"

22K 897 51
                                    

Sudah satu minggu ini, suasana hati Angga telah membaik. Emosinya juga sudah mulai terkontrol, tidak seperti beberapa minggu yang lalu.

Menurut Karin, ini merupakan kesempatan yang baik baginya untuk berbicara empat mata dengan Angga tanpa perlu mengeluarkan emosi. Ia berniat membahas perihal Dira tempo hari.

"Kak, sibuk nggak?" tanya Karin. Meskipun ia telah menguatkan tekadnya, namun ia tetap merasa khawatir apabila apa yang akan ia bicarakan dengan Angga, akan menyulut emosi Angga kembali.

"Nggak."

"Karin mau cerita sama kakak..."

"Cerita apa?" potong Angga.

"Tapi kakak harus janji, kakak nggak boleh marah-marah lagi." pinta Karin.

"Udahlah, nggak usah bertele-tele, langsung aja lo mau cerita apa. Gue sibuk, gue nggak mau waktu gue terbuang sia-sia cuma buat ngedengerin cerita lo." ucap Angga sambil menunjuk muka Karin.

Karin sempat tersentak mendengar jawaban Angga, namun ia mencoba menetralkan kembali ekspresinya, "Ternyata kak Angga yang dulu belum kembali." ucap Karin dalam hati.

"Cepetan! Lo mau cerita apa, ha?"

"Ehm... Gini kak aku mau bilang sama kakak kalo Dira itu masih suka pulang malam dan dia itu ma..."

"Ma apa?" belum selesai Karin bicara, tanpa Karin duga, Dira datang dan langsung memotong ucapannya. "Mabuk? Siapa sih kak yang mabuk, Dira itu cuma masuk angin. Jangan asal nuduh ya kak. Asal kakak tahu, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, jadi kak Karin itu jangan suka fitnah orang deh."

"Benar itu Karin? Lo fitnah Dira? Iya? Kok lo gitu ya sekarang? Semenjak bunda pergi banting tulang buat kita, lo berubah, Rin. Mulai dari lo nyolong uang kiriman bunda, menggunakan uang SPP Dira buat kepentingan lo sendiri, dan kali ini lo nuduh Dira mabuk yang jelas-jelas Dira sendiri bilang kalo dia itu masuk angin. Kita itu saudara lo, Rin, apa untungnya sih lo ngelakuin itu, ha?" ucap Angga panjang lebar.

"Siapa sih kak yang fitnah Dira? Siapa? Aku itu cuma ingin memberi tahu kakak yang sebenarnya. Di mana mata hati kakak? Sampai kakak nggak bisa membedakan mana yang berkata benar dan mana yang bohong. Aku kecewa sama kakak. Kak Angga yang bijak kini telah pergi." setelah mengatakan itu semua, Karin berlalu dari hadapan kakak dan adiknya.

"Bagus. Setelah seminggu lamanya rumah ini sedingin es, akhirnya kembali memanas." gumam Dira lirih.

"Ngapain senyam-senyum." bentak Angga.

"Ng..nggak siapa juga yang senyam-senyum, perasaan kakak aja kali."

"Udah, lo masuk ke kamar! Jangan ganggu gue, gue lagi pusing!"

"I..Iya kak. Galak banget sih."

***

Sementara hati Dira sedang berbunga-bunga, Karin merasa amat sangat sedih. Ia sudah tak kuasa menahan air matanya. Ia sudah tidak mampu menghadapi sikap kedua saudaranya sendirian. Oleh karena itu, ia berniat menghubungi bundanya, untuk mencurahkan segala isi hatinya.

"Mungkin ini waktunya bunda tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini." gumam Karin.

Tanpa Karin ketahui, Dira telah memantau gerak-gerik Karin melalui pintu kamar Karin yang belum tertutup sempurna.

Tut...tut...tut...

"Assalamu'alaikum, bunda."

"...."

"Aku mau cerita sesuatu sama bunda."

"...."

"Ini bun..."

"Halo bunda, Dira kagen banget sama bunda, bunda kapan pulang? Dira kangen tidur sama bunda." tanpa Karin duga sebelumnya, Dira secara tiba-tiba merebut handphone Karin dari tangannya.

"Kamu apa-apaan sih, Dira?" bisik Karin.

"Sstt..."

"....."

"Nggak, bun. Tadi kak Karin godain Dira. Ehm... Bun, udah dulu ya, kasihan nanti pulsa kak Karin habis, gara-gara Dira kelamaan nelfon sama bunda. Assalamu'alaikum, bunda."

Tuttut...

"Mau ngadu sama bunda?"

"Kamu itu apa-apaan sih, Ra? Udah masuk kamar orang tanpa izin, main rebut HP orang aja."

"Heh, kak, jangan sekali-kali kakak ngadu sama bunda, kalo kakak nggak mau kak Angga semakin benci sama kakak. Gini aja deh kak, supaya kakak nggak bisa ngadu sama bunda gimana kalo handphone kakak ini aku sita."

"Jangan, Ra! Kakak janji, kakak nggak akan ngadu sama bunda, tapi tolong jangan ambil handphone kakak, Dira!"

"Nggak! Pokoknya handphone kakak, aku yang bawa. TITIK! Satu lagi. Mulai hari ini, lebih baik kakak nggak usah keluar kamar, kecuali untuk sekolah. Dan kuncinya biar Dira yang bawa. Bye kak Kak Karin. Haha." setelah itu Dira meninggalkan Karin di kamar dan menguncinya, ia tidak peduli akan teriakan dan cacian yang keluar dari mulut kakaknya.

"Diraa! Jangan, Dira! Kamu jahat, Dira! KAMU, JAHAT! Dira tolong bukan pintunya, Dira! DIRAAA!"

Karin sudah tak kuasa menahan sesak di dadanya, ia berteriak-teriak pun tidak ada gunanya. Tidak ada seorang pun yang simpati padanya di rumah ini, untuk saat ini. Ia hanya bisa menahan tangis dan berdo'a kepada Allah, agar Dira segera sadar akan perbuatannya.

#tobecontinue

Broken Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang