"17"

21.5K 800 6
                                    

Kini Angga telah berada di rumah sakit. Ia sedang diperiksa oleh dokter. Sementara keluarganya menunggu dengan perasaan cemas di ruang tunggu.

Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruang IGD, ruang di mana Angga ditangani.

"Dengan keluarga Anggara Putra?" tanya sang dokter.

"Iya dok, saya ibunya."

"Ibu bisa ikut ke ruangan saya? Ada hal penting yang perlu ibu ketahui."

"I..Iya dok."

Di ruang dokter....

Di dalam ruangan yang bernuansa putih yang merupakan wilayah kekuasaan sang dokter yang diketahui bernama dokter Rendy tersebut, sang bunda dilanda perasaan khawatir yang amat sangat.

"Memangnya anak saya sakit apa, dok?" tanya bunda.

"Memangnya ibu belum tahu mengenai penyakit saudara Angga?" tanya dokter Rendy.

"Penyakit? Penyakit apa dok? Selama ini Angga nggak pernah cerita apapun kepada saya." ucap bunda dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Jadi Angga belum memberitahu ibu tentang penyakitnya. Sejak tiga bulan yang lalu Angga telah divonis menderita gagal ginjal, dan hampir dua bulan ini ia tidak melakukan cuci darah. Hal inilah yang membuat kondisi Angga semakin hari kian memburuk." jelas dokter Rendy.

"Gagal ginjal dok? Lalu apakah anak saya bisa sembuh seperti sediakala?" kini bunda sudah tidak mampu membendung air matanya lagi.

"Mungkin apabila tidak segera mendapatkan donor ginjal, Angga tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

"Hiks...hiks..."

Setelah itu ia memutuskan untuk keluar dari ruangan dokter dengan perasaan yang amat sangat terpukul.

Melihat sang bunda berhajalan gontai dengan berlinang air mata, Karin pun segera menghampiri bundanya, "Kak Angga sakit apa bun?"

"Kakak mu menderita gagal ginjal Karin. Dan apabila tidak segera mendapatkan donor, kemungkinan untuk Angga dapat bertahan hidup sangat kecil. Hiks...hiks..."

"Gagal ginjal bun? Hiks.."

***

Kini telah satu minggu Angga terbaring di ranjang rumah sakit dengan beberapa selang dan kabel melekat di tubuhnya, selama itu pula Angga tidak kunjung membuka matanya.

Hari ini merupakan hari pengumuman kelulusan bagi Dira. Ia berangkat sekolah dengan semangat dengan mengendarai sepeda motor barunya.

Tidak sampai 15 menit Dira telah sampai di gerbang sekolahnya.

Tepat pukul 8.00 guru piket menempelkan kertas-jertas yang berisi nilai hasil ujian siswa beserta keterangannya di papan pengumuman.

Tak lama kemudian, seluruh siswa-siswi kelas 9 berbondong-bondong mengerubungi papan penguman tersebut, begitu juga dengan Dira.

Setelah cukup lama mencari namanya di papan pengumuman tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat keterangan yang terdapat pada barisan namanya. "Nggak mungkin!" ucap Dira dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Tanpa menghiraukan teman-teman yang memperhatikannya, ia berlari menuju ruang kepala sekolah untuk meminta penjelasan.

***

Sesampainya di ruang kepala sekolah...

"Maksudnya apa, pak?!" tanya Dira kepada kepala sekolah.

Tanpa dijelaskan pun, kepala sekolah telah mengerti apa yang Dira maksud, "Sebenarnya bapak juga nggak enak hati, tapi melihat sikap kamu, baik di dalam maupun lingkungan sekolah yang sangat-sangat tidak mencerminkan sikap seorang pelajar. Dengan berat hati kami menyatakan kamu tidak lulus." jelas kepala sekolah dengan panjang lebar.

"Bapak nggak bisa gitu! Ini nggak adil buat saya! Saya nggak terima diperlakukan seperti ini!" ucap Dira dengan amarah yang telah memuncak. Ia tidak peduli dengan siapa ia berbicara saat ini.

"Apalagi melihat kamu yang tidak memiliki etika seperti ini, saya semakin yakin atas keputusan yang telah disepakati untuk tidak meluluskan kamu." ucap sang kepala sekolah dengan nada bicara yang ia halus-haluskan.

"Terserah bapak saja kalo gitu!" ucap Dira, kemudian pergi sambil membanting pintu.

Brakk...

"Dasar anak nggak punya etika." gumam kepala sekolah.

***

Tanpa memperdulikan satpam selolah yang meneriakinya, Dira melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Kini perasaannya campur aduk, antara marah, kecewa, dan malu bercampur menjadi satu.

Tanpa memperdulikan pengguna jalan yang lain ia terus memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Karena ia sedang tidak berkonsentrasi, ia tidak mengetahui bahwa lambu lalu lintas sedang berwarna merah. Bersama itu, sebuah mobil sedan warna hitam melaju kencang dari arah kiri.

Ciiiit.....brakkk.....

Kecelakaan tak bisa dihindari, Dira membanting setir ke arah kanan. Dan saat itu juga motor yang ia kendarai oleng dan terseret sejauh 15 meter. Setelah itu, ia merasakan tubuhnya seakan mati rasa. Dan tak lama kemudian kesadarannya pun lenyap.

Kondisi Dira pasca kecelakaan lumayan parah, helm yang ia kenakan terlepas, sehingga darah segar mengalir dari kepalanya. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan luka. Untung saja saat itu tidak ada kendaraan lain yang melintas.

Tak lama kemudian ambulans dan polisi datang ke lokasi. Setelah diperiksa oleh petugas kesehatan tak lama kemudian, Dira langsung dibawa ke rumah sakit terdekat.

***

Karin sedang membeli kebutuhan sehari-hari di supermarket dekat rumah sakit tempat Angga dirawat bersama bunda. Tiba-tiba handphone nya berdering tanda ada panggilan masuk.

"Siapa?" tanya bunda penasaran karena Karin tak kunjung mengangkat telefon tersebut.

"Nggak tahu, bun. Karin nggak kenal nomornya."

"Coba aja diangkat! Siapa tahu itu penting." perintah bunda.

"Baiklah." Kemudian ia menggeser icon berwarna hijau yang tertera pada layar ponselnya tersebut. "Maaf, ini siapa ya?"

"Dengan keluarga Nadira Lestari?" tanya seseorang dari seberang telefon.

"Iya, saya kakaknya. Ada apa ya?"

"Kami dari pihak rumah sakit Sehat Sentosa, meginformasikan bahwa saudari Nadira Lestari mengalami kecelakaan."

"Apa?!" tanpa Karin sadari ia berteriak cukup keras, sehingga membuat sang bunda terkejut.

"Ada apa, Rin?"

"Dira kecelakaan, bun."

#tobecontinue

Broken Home ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang