10

28 15 8
                                    

   Menulis tentang minyak,  tidak terlalu sulit, karena bukan yang pertama baginya.

   Sebelum ini dia sudah menulis dua kali tentang subjek ini.

   Yang pertama mengenai berita pencemaran tanah di sekitar kilang minyak.

   Yang kedua tentang kebijakan pemerintah yang "membagi kekuasaan" Pertamina dengan Exxon Mobile. 

   Itulah yang membuatnya tidak kesulitan untuk merampungkan tulisannya sebelum sholat Jumat.

   Youri bukanlah orang paling alim di kantornya,  tapi untuk urusan sholat dia tak pernah meninggalkannya.

   Dia selalu teringat nasihat orang tuanya sebelum pergi kuliah di Bandung, sekitar tujuh tahun lalu.

   Karena nasihat itulah,  setiap kali sholat dia merasa orang tuanya berada di sampingnya. Sudah empat bulan ini dia tidak pulang,  padahal Sukabumi tidaklah terlalu jauh.

   Kesibukannya sebagai jurnalis diterimanya sebagai konsekuensi profesional. Bosnya bilang bahwa jurnalis adalah profesi yang tak ada hentinya. Publik menginginkan informasi Yang segar. Jurnalis adalah koki yang langsung memasak ketika pesanan tiba, tak ada berita yang bisa dikalengkan lalu dipanaskan untuk dihidangkan. Semuanya diolah dari bahan mentah menjadi siap saji. Dan, itu harus dilakukan setiap saat.

   Usai sholat, Youri kembali ke mejanya. Dia menelusuri setiap halaman web dengan saksama. Makin banyak halaman yang dia temukan yang berhubungan dengan bom nuklir, makin dia kehilangan arah.

   Baginya, bahasa yang tertulis di sana bukan lagi bahasa manusia. Reaksi-reaksi kimia dan rumus-rumus fisikanya benar-benar jauh dari jangkauannya.

   Hieroglyph saja lebih gampang! Aku benar-benar butuh bantuan! 

   Saat terpekur berusaha memahami reaksi yang disebut rekasi inti nuklir, Mena menghampirinya. Dia membawa beberapa lembar kertas, dan meletakkannya di sebelah Youri.

   "Aku titip, ya!" ujar Mena, "si Bos belum datang lagi... "

   "Emang mau ke mana?"

   "ketemu sama Rusman Suryapinanta."

   "Aku ragu dia ada di kantornya."

   "Memang nggak, aku akan bertemu dia di Gedung Merdeka," sahut Mena. "Mau ikut?"

   "Kalau kamu mau nunggu aku memahami reaksi ini, aku ikut!"

   "Wah, nggak deh, makasih!"

   Mena pergi setelah mengingatkan akan titipanmya. Youri melihat sebentar tulisan Mena.

   Lagi-lagi persepsi politik internasional...  huharap kali ini nggak akan bikin kekacauan. 

   Gadis ini adalah lulusan Hubungan Internasional yang  paling membanggakan di universitas negeri di Bandung. Untuk mendukung studinya, dia terpaksa menguasai bahas Prancis, Mandarin, Jepang, dan tentu saja Inggris, dengan fasih, sedikit bahasa Jerman, kemampuan praktis bahasa Italia, percakapan sehari-hari bahasa Spanyol, dan terakhir dia tahu Mena sedang belajar bahasa Arab. Dia mengenalnya ketika workshop jurnalistik di kampusnya. Ketika itu dia menjadi ketua panitia pelaksana dan Mena adalah peserta yang paling aktif. Saat itu, dia sama sekali tdak berpikir suatu hari nanti akan bekerja sama dengannya. Mena menjadi spesialis politik di kantor ini. Kabarnya, dia pernah menjadi anggota tim sukses salah satu partai politik.  Dia keluar karena tidak menyukai permainan politik yang mendera partainya. Saat melamar di kantor ini, secara tak sengaja Youri membaca aplikasinya. Setelah itu, dia merekomendasikan agar gadis ini diterima, dan sejak saat itulah dia bekerja sama dengan Mena Saphira.

   Waktu menunjukkan pukul tiga lebih tujuh belas menit ketika dia memutuskan untuk berhenti memahami reaksi inti nuklir. Dia mencetak tulisan minyaknya. Kemudian, lembaran itu dia bawa ke kantor Widadi.

   Youri mengenal Widadi sebagai jurnalis tulen. Semua waktunya dihabiskan untuk mengabdikan diri di bidang ini. Dia juga terkenal sebagai pembaca cepat, keahlian yang sama sekali tak bisa dikuasai Youri. Ketika menerima tulisan Youri. dia terpekur sendiri selama dua menit, lalu bertanya, "Serius menelanjangi krisis energi di negeri ini?"

   "Ini waktu yang paling pas, kan?"

   "Oke, bagus!" sahut Widadi. "Masukkan ke bagian cetak!"

   Youri hanya mengangguk, mengambil kertasnya, kemudian berbalik pergi.

   "Mana nuklirmu?"

   Youri berpura-pura teringat akan sesuatu. Dia berbalik dan berkata, "Aku belum memahaminya, nanti malam aku ke sini lagi."

   Kali ini giliran Widadi yang hanya mengangguk. Karena tak ada tanggapan lain, Youri keluar.

***


TBCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang