Setelah menunggu lebih dari satu jam, akhirnya Mena punya kesempatan untuk berbicara dengan Rusman Suryapinanta.
Dan, itu pun tak lebih dari lima belas menit. Orang tua itu terlalu sibuk mengatur persiapan.
"Terima kasih sekali atas waktunya, Pak," ucap Mena menutup wawancara di ruangan atas Gedung Merdeka.
"Terima kasih juga," ucap Rusman kepadanya, kemudian dia beralih ke pengawalnya.
"Puty di mana?"
"Dia sedang berbicara dengan Sekretaris Gubernur. "
"Setelah selesai, suruh dia menghadap!"
"Baik, Pak."
Dari ruangan itu, dia bisa langsung melihat ke jalan Asia-Afrika yang sedang ramai-ramainya.
Desain art deco sangat kental.
Kursi-kursi di ruangan itu berbahan kayu kuno berbalut kulit berwarna cokelat lembut.
Ketika keluar dari ruangan, arsitektur atap yang melengkung di atas gedung itu benar-benar menarik perhatiannya.
Garis-garis melengkung mengikuti bentuk atap membentang dari kanan ke kiri, di sela-sela garis tegas itu menyala puluhan lampu yang memberikan kesan mewah.
Kemudian, dari balkon, bisa terlihat seluruh ruangan. Karpet merah lurus membentang dari pintu masuk ke podium.
Kursi-kursinya terbuat dari kayu yang dibalut beledu berwarna merah terang.
Deretan bendera peserta Konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok menegaskan kekayaan sejarah gedung yang dulunya bernama Concordia ini.
"Mungkin nanti ada bendera Amerika di sini, ya...," batinnya konyol.
Balkon itu berkarpet merah juga. Bentuknya melengkung agar pandangan ke bawah menjadi sangat luas.
Banyak kamera TV yang sudah terpasang. Beberapa teknisi masih mengerjakan setting kamera.
Seorang teknisi dari stasiun TV berita memandangnya ketika dia menuruni tangga. Mena hanya tersenyum menanggapi ketertarikan pemuda itu.
Kemudian dia melangkah ke museum yang terletak tepat di samping Gedung Merdeka. Dia masih menikmati hamparan masa lalu yang masih tertata dengan baik ini.
Museum Konferensi Asia-Afrika itu makin megah. Dengan lantai marmer, pencahayaan pun dibuat lebih dramatis dengan lampu berwarna kuning.
Begitu masuk, terbentang sebuah diorama yang memperlihatkan Bung Karno sedang berdiri di podium, memimpin konferensi.
Seperti kebanyakan anak muda zaman ini, Mena juga tidak terlalu berminat dengan museum.
Untuk apa memandangi memori dari galeri masa lalu? Dia pernah berdebat tentang ini dengan Youri yang bersikeras mengatakan kalau masa lalu adalah nilai rapor, masa kini adalah ujian yang sedang dihadapi, sementara masa depan adalah nilai yang diharapkan. Walaupun menolak pengandaian Youri, kuliah memaksanya mempelajari masa lalu dari berbagai bangsa.
Dia mulai terkagum-kagum ketika memandang sebuah mesin cetak foto yang digunakan dalam KAA. Begitu juga kamera bermerek Leica berwarna hitam yang keduanya dimiliki Inen Rusnan. Kedua benda kuno itu tersimpan dalam kotak kaca. Di bagian dalam, terpajang foto panorama yang menggambarkan Bung Karno sedang memberikan sambutan dalam KAA.
Mena memijit tombol yang terdapat di bawah foto panorama itu. Kemudian Suara Bung Karno menggelegar, pidato pembukaan berbahasa Inggris pun segera memenuhi ruangan.
Ini adalah sebuah konferensi interkontinental pertama yang diikuti oleh bangsa-bangsa kulit yang berwarna pertama di dunia...
Itu yang dia tangkap pada awalnya, tapi kemudian suara Presiden pertama itu makin rebek. Sehebat apa pun kemampuan bahasa inggrisnya, dia tak yakin orang lnggris sekalipun bisa memahami apa yang dikatakan Soekarno.
Mena mencoba mematikannya tapi begitu tombol ditekan suara pidato masih berbunyi. Seorang petugas membantunya.
"Di sini, Nona..."
Petugas itu berbaju hitam, perawakannya tidak terlalu gemuk, tapi sedikit bungkuk. Dia membuka sebuah kotak yang ada di sudut kiri bawah, kemudian melakukan sesuatu pada peralatan elektroniknya. Suara itu pun menghilang.
"Sudah rusak ya?" tanya Mena.
Petugas ini tersenyum, "Maklumlah, sudah lebih dari setengah abad..."
Kemudian, dia beralih pada foto-foto penyambutan kedatangan delegasi dari berbagai negara. Ali sastroamidjojo, perdana menteri Indonesia pertama, yang paling sering terlihat di foto-foto itu sedang menyambut para delegasi. Nehru, Norodom Sihanouk, dan delegasi Jepang terlihat begitu gagah dalam foto itu.
Pandangannya beralih pada foto-foto Bandung Walk. Jalan kaki bersejarah itu menampilkan para pemimpin bangsa Asia-Afrika ketika keluar dari Hotel Preanger atau Savoy Homan menuju Gedung Merdeka.
Langkah kaki mereka sangat bersejarah karena setiap langkahnya menentukan nasib negara-negara Asia-Afrika selanjutnya. Setidaknya, itu yang tertulis dalam kata pengantarnya.
Ketika melewati foto besar para pemimpin, dia Melihat sebuah mesin teleks, mesin tik, dan kamera yang digunakan selama konferensi.
Kemudian, satu set kursi rotan yang diduduki oleh Ali Sastroamidjojo juga terpajang dan masih terawat.
Dia memasuki lorong- lorong berdinding kasar berwarna putih. Foto-foto yang terpajang di sana memperlihatkan keadaan Bandung masa lalu dan evolusi Concordia menjadi Gedung Merdeka. Jalan Wastukencana yang masih lengang, foto jembatan Sasak Gantung, kemudian tiga jembatan untuk menyeberangi sungai Cikapundung yang berada di jalan Asia-Afrika, jalan Suniaraja dan jalan ABC.
Selain itu, Gedung Pasteur yang sekarang dijadikan gedung Biofarma juga terkesan begitu asri. Gedung itu dulunya bernama Institut Pasteur yang berfungsi membuat serum dan vaksin penyakit. Benaknya tak hentinya membandingkan keasrian masa lalu itu dengan kemegahan (atau kesemrawutan) masa kini.
Setelah memastikan masih banyak orang yang berlalu- lalang dia masuk ke toilet. Dia tidak mau sesuatu terjadi dan tak bisa meminta tolong pada siapa pun.
Di dalam toilet, suasana mencekam lebih kentara, penerangan yang remang nampak cocok untuk dijadikan setting film horor.
Dia takut pada bayangan putih yang lewat atau setan perempuan yang sesenggukan di sudut toilet, walaupun nyatanya tak ada yang mistis di toilet itu.
Isi kepalanya begitu terpengaruh oleh banjir film horor yang sedang marak di bioskop.
Begitu keluar dari toilet, beberapa orang terlihat berlari menelusuri koridor remang itu. Kesan terburu-buru tertangkap dari kegelisahan mereka.
Apa yang kupikirkan benar-benar terjadi?
Baru saja dia berpikir tentang hantu-hantu di gedung tua.
"Ada sesuatu di Media Center," jawab seorang petugas yang ditanyanya."Komputernya hang."
Mena mengikuti petugas itu menuju perpustakaan KAA. Mereka keluar di terusan jalan Braga. Ternyata hari sudah mulai gelap. Media Center dipenuhi orang. Beberapa petugas melarang orang-orang tak berkepentingan untuk masuk. Mena memperlihatkan kartu identitasnya dan diperbolehkan masuk.
Media Center memang dikhususkan untuk para jurnalis dari seluruh dunia untuk melaporkan informasi pada kantor berita masing-masing.
Semua monitor tak berfungsi, berwarna hitam tapi ada tulisan berjalan yang membuatnya tersentak. Youri? Itu nama pertama yang diingatnya.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/138255433-288-k115867.jpg)