#Page: 01 - Sebelum Hari-H

1.9K 149 170
                                    

📒 Selamat Membaca 📒

Kehidupan terus berlanjut dengan dinamis. Siang dan malam silih berganti dengan semestinya. Hidup penuh dengan berbagai macam emosi.

Hidup sederhana yang aku jalani dengan rasa syukur menyelimuti. Maka, jangan iri dengan kehidupanku karena mungkin di luar sana masih banyak kehidupan yang lebih baik dari itu.

Ayahku seorang pengangguran. Ia tak kuat lagi untuk banting tulang, hingga Ibu harus menjadi tulang punggung keluarga. Terkadang kedua kakak laki-lakiku ikut berpartisipasi dalam membiayai kehidupan.

Usiaku masih berada di zona gadis remaja. Umurku saat ini menginjak angka 18. Aku seorang gadis lugu yang masih bersekolah di tingkat akhir semester enam di madrasah aliyah negeri yang berada di sekitar daerahku dengan jurusan ilmu sains yang dituju.

Ulfa Amanda Azizan. Dinobatkan sebagai nama pemberian dari orang tuaku. Aku harap mampu menjadi orang dengan kepribadian sesuai namaku. Perempuan yang mulia, pemberani, dan pantas dicintai.

Aku terbangun dari dunia tidur dan mimpi lalu melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba Allah Ta'ala. Tak terdengar suara alunan ayat suci Al-Qur'an yang selalu bersenandung di kamar Ibu. Mungkin Ibu sudah bertugas menjadi seorang Paraji (Orang yang membantu lahiran) atau menjadi tukang pijat tradisional.

-o0o-

Seperti biasa aku menjalani hari-hari berangkat ke sekolah dengan menaiki angkutan umum. Alhamdulillah, seusai dari menuntut ilmu bergegas pulang.

"Assalamu'alaikum," salamku dengan suara yang lembut.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya begitu menggelora.

"Ibu belum pulang?" tanyaku pada Ayah yang tengah menonton acara televisi.

"Belum. Masih menunggui istrinya Pak Maman di Bidan Evi," jawab Ayah sekilas menatap wajahku.

Lalu aku memasuki kamar sebagai tempat bersemayam. Kamar adalah salah satu ruangan untuk aku mengungkapkan segala ekspresi.

Langit siang berubah menjadi langit sore. Lembayung kuning datang sebagai ciri khas senja, tetapi kejadiannya langka.

"Assalamu'alaikum." Salam yang berasal dari luar rumah.

Jelas, sangat jelas. Aku mengenal suara itu. Pahlawan super yang selalu membantuku dalam kesusahan. Rupanya Ibu sudah pulang dengan peluh berguyuran di sekujur tubuhnya.

"Wa'alaikumsalam. Bu, sudah belum istri Pak Maman melahirkannya?" ucapku antusias atas kedatangan Ibu.

"Belum. Kesal! Menunggunya juga," oceh Ibu seraya duduk santai tanpa tikar.

Aku hanya tersenyum simpul untuk menanggapinya.

Kemudian Ibu mengambil alat makan dari dapur dengan langkah lelah.

"Sudah makan belum?" ujar Ibu sembari menyendok nasi dari bakul dan menyimpannya di piring.

"Belum," tuturku singkat dengan nada normal.

"Makan dulu. Kalau sudah sakit maag jadi repot," omel Ibu yang tak lupa untuk menyuruhku untuk makan, walaupun dirinya terkadang lupa untuk memasukkan kudapan ke dalam perut.

"Iya. Ini juga mau makan," sahutku sambil melangkah menuju dapur minimalis.

Sekonyong-konyong ada suara motor yang menggerung di depan halaman rumah. Entah siapa itu. Lalu ketukan pintu terdengar nyaring dari balik pintu depan rumah.

Segera aku membukakan handel pintu selebar-lebarnya untuk menyambut tamu yang berkunjung.

"Ibu ada?" tanya orang itu yang dimaksud adalah Ibuku sendiri.

Sampai Jumpa di Surga ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang