#Page: 21 - Bersikap Netral

149 27 0
                                    

📒 Selamat Membaca 📒

Hidup memang sederhana untuk dijalani, tetapi hanya diri sendiri yang membuatnya semakin rumit dan menyusahkan. Lalu bagaimana jika menyesali atas suatu perbuatan? Akan lebih baik jika  fokus untuk ke depannya saja dan melupakan atas apa yang terjadi di masa lampau.

Aku mencoba kembali mencicipi bagaimana kehidupan setelah kepahitan datang dan menyerangku begitu saja. Memang terasa sulit. Aku berusaha untuk itu dan melaksanakannya dengan penuh kesehajaan.

Tujuh hari telah berlalu setelah kepergian sosok manusia yang sangat aku banggakan. Aku berupaya menyangga setiap bendungan aliran sungai kecil yang akan meloloskan diri dari pelupuk mata.

Adat kebiasaan di daerah saat seseorang meninggal dunia akan mengadakan peringatan tujuh hari dan keluargaku akan mengadakan hal tersebut.

Sedari pulang sekolah banyak orang-orang yang berpartisipasi untuk hal itu. Saat ini aku sedang berada di ruangan yang didominasi dengan warna pink. Aku baru saja selesai mandi, setelah guyuran peluh dibasuh dengan air segar.

Tersiar pukulan kecil yang berasal dari pintu kamar. Lalu aku berjalan santai menuju pintu dan membuka kunci serta pintu yang berwarna cokelat tua itu. Ternyata ada tiga kepala lengkap dengan tubuhnya yang datang berkunjung ke rumahku.

"Sini masuk!" titahku mempersilakan serta menampilkan senyum dengan deretan gigi.

Mereka bertiga memasuki kamarku yang sudah tak asing lagi bagi mereka.

"Kalian dari sekolah langsung ke sini?" tanyaku untuk membuka dialog.

"Iya. Selesai latihan langsung ke sini," jawab Devi seraya menyorotkan pandangan mata ke arahku.

"Maaf datangnya terlalu sore," ucap Sila yang berada di dekatku.

"Iya, tidak apa-apa. Padahal kalian tidak usah repot-repot datang kemari," ujarku merasa membebani mereka.

"Kita tidak merasa direpotkan. Jadi, kamu tenang saja," cakap Anila dengan senyum merekah di bibir.

"Sebentar ya, aku ke sana dulu," pamitku sebentar pada mereka.

Aku membalikkan badan untuk melangkah menuju ruang tengah. Hanya beberapa menit saja, aku kembali lagi ke kamar tanpa tangan kosong. Di kedua telapak tanganku ada dua piring berukuran besar berisi beraneka ragam kue.

"Silakan dimakan!" suruhku meletakkan dan menyodorkan piring tersebut pada mereka.

"Tidak usah, Ulfa," tolak Sila sedikit menjauhkan piring yang ada di hadapannya.

"Kalian pasti lapar setelah seharian berlatih," kataku dengan menduga-duga.

"Kok kamu tahu? Kita jadi malu," omong Anila dengan raut wajah malu-malu kucing.

"Ya sudah. Cepat dimakan," sabdaku kembali mempersilakan.

"Ayo! Kita serbu!" Devi sangat bersemangat.

Mereka melahap habis kudapan yang disuguhkan. Alhamdulillah, perut mereka sudah berisi dan kenyang tentunya meskipun dengan camilan seadanya.

Sampai Jumpa di Surga ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang