Cerita Rafi

1.7K 73 12
                                    

"Nenek apa kabar, Nad?" Tanya Rafi.

"Alhamdulillah baik. Walaupun tambah tua, tapi nenek masih sehat," kataku.

"Kangen sih. Udah lama gak ketemu. Soalnya nenek kamu itu yang bikin aku mau dan nyaman ada di pesantren pada waktu itu."

Aku belum membuka suara, masih mendengarkan Rafi.

"Tapi semenjak aku keluar dari pesantren, rasanya ilmu agama yang selama ini aku punya itu hilang."

Aku masih terdiam. Mulai memiliki bayangan tentang alasan Rafi menghilang.

"Jadi, aku putusin buat pindah ke islamic boarding school yang ada di Bogor."

Jadi, itu kah alasanmu menghilang? Bukan karena perempuan yang sering aku lihat bersama kamu?

"Maaf, Rafi, aku pengen nanya. Boleh kan?" Tanyaku.

"Boleh kok," kata Rafi dengan senyuman.

"Dulu aku sering liat kamu sama perempuan, dia siapa?" Aku sudah tidak tahan dengan rasa penasaranku.

"Aacieeeeeeee. Cemburu yaaaaaaa. Hahahahahahahha," Rafi tertawa terbahak-bahak. Aku yang sedang dalam keadaan serius merasa kaget.

"Ih, Rafi!! Aku serius."

"Dia itu ade aku, Nadine. Mungkin aku sering ngilang, itu karena aku harus nganter ade aku."

Rasa bingung masih menyelimuti.

"Nganter les?" Tanyaku asal.

"Bukan. Dia menderita tumor otak. Dan aku harus nganter dan nemenin dia ke rumah sakit karena dia yang pengen, dia yang minta. Aku sayang banget sama dia, karena dia ade aku satu-satunya. Dia yang selalu bikin aku senyum di rumah, dia yang selalu temenin aku kalo aku kesepian."

Aku terkejut mendengar cerita Rafi.

"Dan sebenernya, dia jadi alesan aku buat pindah ke Bandung. Karena ayah pindah tugas ke Bandung, ya otomatis keluarga ada di Bandung."

"Maaf ya, Fi, aku nanya kaya gini," kataku merasa bersalah.

"Gak apa-apa, Nadine. Aku tau kok, kamu pasti mendem pertanyaan itu selama ini."

"Oh iya, aku boleh jenguk ade kamu gak?"

"Ke rumahnya yang baru ya. Kita udah pisah rumah sekarang," kata Rafi sambil tersenyum.

"Kok gitu? Kamu gak temenin dia?"

"Dia udah sehat sekarang, udah bahagia, jadi aku gak perlu temenin, cukup doain dia dari sini."

"Kalo gitu aku mau kenalan, Fi."

"Rumahnya jauh, di Jakarta."

"Gak apa-apa, Fi. Kali-kali jalan jauh. Aku mau minta maaf juga sama dia, soalnya aku udah mikir yang aneh-aneh tentang dia."

"Dia udah meninggal, Nadine.." kata Rafi dan langsung menundukkan kepalanya.

Begitu terkejutnya aku. Seorang perempuan yang selama ini aku curigai ternyata adik dari Rafi. Rafi menghilang dari kehidupanku itu karena ingin membahagiakan keluarganya. Betapa kejam pikiranku selama ini.

"Innalillahi wainnailaihi raaji'uun. Maafin aku, Rafi. Aku ga bermaksud.." kataku tak kuasa ingin menangis.

"Gak apa-apa kok, Nad. Aku seneng akhirnya bisa jelasin ini semua."

"Kapan dia meninggal, Fi?"

"Sebelum aku pindah ke Bogor. Dia meninggal, itu jadi alesan juga kenapa aku pengen masuk boarding school. Supaya aku gak teringat sama ade aku."

"Kapan-kapan anter aku ke makam ade kamu ya."

"Oke, Nad. Eh, btw, kamu mau jalan kemana lagi?" Tanya Rafi.

Suasana sudah kembali normal. Walaupun masih terasa kesedihan di hati.

"Aku sih gak punya tujuan," kataku.

"Aduh masa gak punya tujuan sih. Ayo kita lanjutin lagi perjalanan kita." Ajak Rafi.

Entah kemana Rafi akan mengajakku. Tapi aku ikuti saja apa kata Rafi, karena aku yakin, aku akan selalu aman jika bersamanya.

"Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Gak akan masuk sih, kita liat dari luar aja, masuknya mah nanti. Oke?" Kata Rafi. Suaranya berlomba dengan kebisingan jalan raya. Namun, suara dialah yang paling juara.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, kurang lebih 10 menit, akhirnya Rafi menghentikan motornya.

"Kok di sini, Fi? Ini kan.."

"Ini namanya KUA. Jadi, nanti kalo kamu udah siap, aku bakal ajak kamu kesini," kata Rafi.

"Hahahaha. Aku tau ini KUA. Tapi ngapain kesini?" Tanyaku.

"Ah lemot emang. Kan aku pernah bilang, buat ngurus surat-surat kita."

"Surat apa?" Aku mencoba mengusili Rafi.

"Surat kita buat ke pelaminan lah, Nadine.."

"Waduh, emang si Nadinenya mau? Hahaha."

"Mau lah, orang dia nunggu aku dari waktu itu, aku ngilang aja dia rindu. Emang aku gak bakal terganti."

"Iiiiih. Apa sih. Hahahaha. Pulang yuk, Fi."

"Pulang ke rumah kita?"

"Terserah kamu, Fiiii. Aku gak mau ketawa. Udah, diem. Hahahahaha." Kataku

Aku Tetap MenunggumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang