Jimin menepikan mobilnya di pinggir jalan. "Dia mantanku." Katanya.
"Apa?!"
Entahlah. Aku tidak tau apa alasannya aku sampai seterkejut dan sekesal ini saat dia mengatakan kata 'mantan'.
"Kenapa?" Tanya Jimin.
Gila ya, masih tanya kenapa.
"Apanya yang kenapa? Kau itu dijodohkan denganku, kenapa masih bertemu mantanmu, huh?" Aku berbicara dengan suara keras.
Sekarang aku nyaris gila karena semakin tidak bisa mengontrol diriku. Kupikir, kenapa aku marah? Memangnya apa yang salah? Toh Jimin bukan milikku sama sekali? Perjodohan itu juga belum sepenuhnya terlaksana.
"Kau cemburu?"
Rasanya aku ingin menubrukkan kepalaku sekali lagi ke dashboard saking malunya.
Aku baru menyadari bahwa sikapku tadi seolah-olah memang menunjukkan bahwa aku cemburu.
Tapi cemburu apaan. Apa dasar kecemburuanku, coba?
Aku menghela nafas panjang. Sebelum Jimin berkata lagi, aku berusaha menekankan pada diriku bahwa aku bukan siapa-siapanya Jimin dan tidak berhak marah atas urusan pribadinya.
Jimin membuka laci dashboardnya. Lalu dalam keadaan mobil yang remang-remang—karena Jimin tidak menyalakan lampu didalam mobilnya— Jimin merogoh laci tersebut dan mengeluarkan sebuah plester anti air.
Jimin melepas sabuk pengamannya dan mendekat kepadaku.
Semakin dekat dan semakin dekat sampai aku bisa merasakan nafas hangatnya menyapu wajahku. Memberikan sensasi panas dingin yang membuatku merinding.
Aku memejamkan mataku karena takut. Bagaimana tidak. Lihat posisi kami. Hidungnya benar-benar dekat dengan hidungku. Sekali saja bergerak, bibir kami pasti secara tidak sengaja berbenturan.
"Dia bukan mantan kekasihku. Dia mantan kakak kelasku." Jimin mengatakannya tanpa menjauhkan wajahku dariku. Tapi kali selain merasakan nafasnya, aku juga merasakan sesuatu tertempel di dahiku.
"Buka matamu. Apa yang kau harapkan?"
Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan dan mendapati Jimin sudah kembali ke posisinya semula. Tapi masih menghadapku.
"Dahimu terluka. Sepertinya karena terbentur dashboard. Maaf."
Aku mengangguk kaku. Masih berusaha mencerna keadaan.
Bukan soal dahiku yang terluka karena mencium dashboard. Namun soal kata-katanya tentang 'bukan mantan kekasih, melainkan mantan kakak kelas.' Sungguh aku tidak mengerti tentang arti dari kalimatnya.
Jimin mengacak rambutku membuatku tertarik dari lamunanku sendiri. Kemudian dia tertawa pelan.
"Aku tadi ada janji dengan mantan kakak kelasku di SMA."
"Bohong."
Jimin menggeleng.
"Lalu kenapa tadi tidak katakan langsung padaku?" Tanyaku.
"Aku sedang kesal denganmu. Lagipula aku ingin tau bagaimana reaksimu jika mendengar itu dan ternyata, kau cemburu."
"Ti-tidak. Aku tidak cemburu, dasar sinting."
"Alah. Lalu tadi apa?"
"Memangnya salah, ya. Kau kan akan menikah denganku. Jadi menurutku tidak salah jika aku sedikit marah. Lagipula memangnya apa tadi, mantan kakak kelas? Cih, meskipun kakak kelas memangnya tidak mungkin jika kau jatuh cinta padanya? Siapa tau di cinta pertamamu di SMA. Aku kan hanya jaga-jaga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Him [Park Jimin BTS FF]
FanficDia itu, yang berhasil mengajarkanku bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita cintai adalah yang terbaik dan sesuatu yang kita benci adalah yang terburuk. Dia mengorbankan semuanya untukku. Hanya untuk diriku. Dia, yang, meninggalkan rasa sakit yan...