7.1 Kanser K.O

25.9K 4.3K 266
                                    

"Baiklah, saya resign. Permisi!"

Purna membalikkan tubuh secepat kilat. Emosinya menumpuk menjadi satu dalam benaknya. Dia memang sering emosional, tetapi tidak separah sekarang. Ucapan Kanser seharusnya tidak terlalu berpengaruh padanya, toh, dia sering mendengar Kanser mengejeknya sedari dulu. Tapi sekarang rasanya berbeda. Ada rasa tidak nyaman dan kecewa yang berlebihan. Purna benci menyadari perasaan itu.

"Purna?" Gadis itu mengusap lengannya selepas menabrak Leo di pintu masuk. "Kamu ke mana?"

Purna tidak mengangkat kepalanya. Dia tidak yakin mampu menatap saat sadar matanya mulai mengabur oleh selaput bening. "Maaf, Pak."

Selanjutnya Leo hanya menatap bingung menyadari Purna berjalan cepat meninggalkannya. Dia lalu menatap ke arah minimarket, dan menyadari semua yang terjadi saat wajah Kanser terlihat tidak baik-baik saja.

"Aku dapat telepon dari rumah sakit. Kenapa kamu kabur?" Leo bertanya sembari mengamati Kanser yang terus terdiam menatap pintu tanpa berkedip.

Mendapati kediaman yang cukup lama, Leo akhirnya meninggikan volume suaranya. "Kanser, berhenti bersikap kekanakan. Kamu harus kembali ke rumah sakit."

Baru Kanser berkedip. Sekali. Tatapannya terarah tanpa ekspresi pada kakaknya. Menunjukkan penolakan saat berbalik membelakangi Leo dan berjalan menuju ruangan.

"Aku akan panggil Mama kemari kalau kamu masih keras kepala, Kanser!" Leo masih diam di tempatnya.

"Siapa yang sakit?" Kanser bertanya seolah melupakan semua luka yang sekarang bahkan tidak terasa.

Leo mengembuskan napas pelan. Tepat saat Kanser hampir menyentuh gagang pintu, Leo memukulkan satu tangannya pada perut kiri Kanser, menyebabkan adiknya itu limbung dan mengerang kesakitan. Tangan Kanser terlihat bergetar dan lalu tubuhnya terjatuh saat tidak bisa menahan sakit akibat pukulan ringan kakaknya.

"Masih tanya siapa yang sakit?"

***

"Lho, sudah balik? Katanya sampai siang, Na?"

Suara Mama Elsa menyambut saat Purna sampai di restoran. Dia tersenyum berusaha menyembunyikan kekalutan hatinya. "Nggak jadi, Ma."

"Ya sudah, bantu Mama siap-siap untuk opening, ya. Nanti tamu-tamunya kebanyakan teman Papa yang di sini. Sudah reservasi jauh-jauh hari. Oh, iya, teman-temanmu kenapa hanya jadi tukang bersih-bersih?"

Purna tertawa. Dia jadi ingat kemarin hari. Saat dia mengajari lima temannya memasak, mereka tidak ada yang mau ditempatkan di bagian koki maupun cook helper. Siska dan Rico segera menobatkan diri menjadi busboy, Jefri berminat menjadi dishwasher, Tita semangat menjadi waitress, dan Satria dengan wajah lesu setuju menjadi satpam di antara pilihan di dapur atau di luar.

Menurut Purna, masakan Satria-lah yang paling mendekati targetnya, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa satpam terlihat lebih maco dengan pentungannya daripada tukang nyalain kompor.

"Bukan nyalain kompor, lo masak, bego! Dan itu keren!" protes Siska.

"Gue takut! Lo nggak lihat kemarin gue nyalain kompor tiga kali baru berhasil keluar api? Bau gasnya bikin gue sesak napas!"

Purna menjawab pertanyaan Mama Elsa, "Pelan-pelan aja, Ma. Mereka hanya belum terbiasa. Masih takut katanya."

Untung saja Mama Elsa sudah menyiapkan orang-orang untuk mengatur perdivisi dan melengkapi jabatan yang sebelumnya masih kosong.

Mereka terus berjalan menuju ruang VIP di lantai dua. Bersamaan dengan itu, Purna merasakan ponsel di sakunya bergetar. Segera dia meraih ponsel dan membaca pesan whatsapp dari nomor tidak dikenal.

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang