12.2 Terbohongi

19.6K 3.3K 134
                                    

Selamat membaca💃
**

Hampir saja Purna mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Kanser saat dilihatnya motor lelaki itu berhenti di depannya. Kanser tidak menyapanya sama sekali, hanya mengangkat kaca helm dan menatap Purna dalam diam.

Purna mengerti dan dia berdiri dari duduknya, menerima helm dalam keheningan. Sekilas ditatapnya Kanser yang sudah menutup kaca helm, diam seolah menunggunya menaiki boncengan. Padahal Purna sedang menimang-nimang bagaimana dia bisa naik motor setinggi itu tanpa mengangkat kakinya tinggi-tinggi. Akhirnya dengan penuh perjuangan, Purna berhasil naik walau dengan cara yang memalukan jika dilihat orang banyak.

"Kanser ...," ujarnya pelan sebelum motor berbunyi. "Nanti bisa mampir sebentar? Aku mau ngomong sesuatu."

Tepat setelah selesai mengucapkan itu, suara motor mengaung sangat keras membuat Purna terlonjak. Kanser keterlaluan kalau memang hanya menyalakan motor sampai seperti itu. Bukan seberapa, kini tubuh Purna seperti terombang-ambing saat motor melaju begitu cepat. Tangannya refleks melingkari tubuh Kanser erat, seolah akan terbang kalau saja lepas sedetik saja.

Tidak disangka Kanser mengendarai motor semakin kalap. Setelah sempat berhenti saat di lampu merah, Kanser menancap gas secara tiba-tiba, melejitkan ritme jantung Purna pada detakan maksimal. Pemandangan di kanan dan kirinya berlalu sangat cepat, membuat Purna mual dan pusing. Dia dapat merasakan basah tangannya karena keringat dingin.

Sekuat apa pun menyembunyikan ketakutan, air matanya tetap lolos. Purna memiliki riwayat dan pengalaman yang tidak baik saat menaiki motor. Beberapa kali dirinya terjatuh saat membonceng. Dengan kecepatan melawan angin seperti ini, Purna yakin dirinya akan mati jika Kanser lepas kendali.

Mulutnya ingin berteriak agar Kanser berhenti tetapi yang ada hanya tubuhnya yang bergetar. Dia merasakan motor begitu miring saat di tikungan dan Purna tidak berani membuka mata. Sejenak dia mendengar suara pengatur lampu lalu lintas yang sering dia dengar tentang betapa pentingnya keselamatan. Purna hampir bisa bernapas memikirkan bahwa sebentar lagi lampu merah, tapi yang terjadi justru Kanser memacu motor semakin cepat.

Makian dan ancaman terdengar di telinga Purna, begitu jelas. Dia memberanikan diri membuka mata dan menoleh ke seorang pria di belakangnya, juga menaiki motor mengejarnya. Seketika dia mengerang saat pria yang ditatapnya tadi berhasil melemparkan batu dan mengenai punggungnya.

Tangan Purna hampir menyentuh punggungnya yang terasa berdenyut tapi gagal karena nyatanya Kanser tidak menghentikan laju motornya. Purna tidak tahan untuk membiarkan itu. Dia memukul punggung Kanser keras-keras, berharap Kanser tahu ketakutannya.

"Berhenti atau aku lompat?!" teriak Purna tidak peduli dengan sekitar, toh, motor melaju sangat cepat dan yang dilewati mungkin ingin melempari mereka batu juga. "Kanser!" teriaknya lebih keras.

Motor melambat dan akhirnya berhenti. Purna menyeka matanya yang berair. Dia yakin itu bukan air mata, hanya efek karena terkibas angin. Purna menurunkan kakinya, hampir terjatuh karena nyawanya terasa masih melayang. Pandangannya memburam.

Sialan. Dan punggungnya bahkan lebih sakit dan pegal daripada saat bekerja rodi untuk Kanser. "Aku pulang sendiri aja," ujar Purna pelan.

Niatnya Purna ingin berteriak marah, tetapi rasanya sulit. Dia terlalu sakit hati dengan apa yang sudah Kanser lakukan. Purna mengembuskan napasnya pelan dan menyembunyikan tangannya yang masih bergetar. Dia meraih tasnya di jok dan menyesal mengapa tidak memakai di punggung. Akibatnya begini.

Tepat saat Purna akan melangkah, tangannya dicekal oleh Kanser. Dia tidak bisa melihat ekspresi lelaki itu karena masih tertutup kaca helmnya.

"Apa lagi? Lepas ...." Masih dengan nada pelan, Purna berusaha melepas cekalan Kanser.

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang