3.1 Kekasih Kanser

29.8K 4.9K 262
                                    

"Gue temenin ke tukang urut aja."

Purna menggeleng mendengar tawaran Kusni.

"Ya udah, gue panggil aja tukang urutnya ke sini."

Purna kembali menggeleng.

"Lo keras kepala banget, deh. Otot lo kaku semua gini. Buat gerak dikit aja lo udah kesakitan."

Purna berdecak. "Ini hari terakhir gue kerja 10 jam, Ni. Besok pasti sembuh, kok, kalo jam kerja gue udah normal."

"Iya, tapi seenggaknya lo urut dulu."

"Setahu gue, kalo diurut tambah sakit, ntar gue malah nggak bisa kerja, lagi."

"Aduh, ini anak susah amat dibilangin. Gue izinin lo ke si bos biar hari ini nggak kerja."

Dengan gerakan cepat, Purna meraih kaus Kusni yang sudah berdiri dari tempat tidurnya. Dia tahu persis Kusni bisa ke minimarket tempatnya bekerja dan bertemu dengan Kanser.

"Tuh, kan. Sakit, kan? Baru, deh kalo udah gini," jawab Kusni melihat Purna meringis kesakitan. "Bos lo itu udah keterlaluan. Masa iya ada orang yang tega nyuruh cewek ngangkutin barang sendirian. Gila emang itu orang."

"Lo berangkat kuliah aja sana, Ni."

Kusni berdecak. "Mana bisa gue berangkat kuliah. Kalo lo haus terus nggak bisa ambil minum gimana?"

"Alasan lo aja biar nggak kuliah."

Kusni tertawa. "Lagi sakit gini, tetep aja suudzon. Tapi gue akui, emang bener sih."

Purna mendengus. Dia memejamkan mata sejenak. Dia harus berangkat hari ini. Kalau tidak, mau ditaruh di mana harga dirinya terutama jika sampai Kanser tahu bahwa di hari terakhir masa hukuman itu, Purna malah tidak kuat lagi.

Tidak! Purna harus bisa.

Dan inilah yang dilakukannya. Bolos kuliah, dan malah berangkat kerja. Sepertinya tingkat kewarasannya juga perlu ditanyakan.

Walau tertatih, tapi Purna masih sanggup berjalan. Dia langsung duduk di gudang dengan kertas di depannya. Benar juga, untung saja pekerjaannya di gudang, jadi dia tidak perlu berdiri sepanjang hari. Tugasnya hanya menulis stok masuk dan keluar seharian.

Melihat perkembangannya selama seminggu, Purna pikir minimarket itu tergolong laris. Dari mulai—katanya—pemasok roti yang datang seminggu sekali karena baru habis pada rentang waktu segitu, kadang pun tidak habis dan berakhir kadaluwarsa, kini bisa datang hampir setiap hari.

Pengunjung mulai ramai karena harga di minimarket itu lebih murah dari supermarket ataupun tempat perbelanjaan lain kecuali pasar. Selisihnya lumayan. Seratus perak. Purna pernah membandingkan. Cek toko sebelah.

Apalagi sekarang sedang diadakan promo. Banyak orang berdatangan dan mau tidak mau stok terus berdatangan untuk produk tertentu.

"Purna, dipanggil Pak Bos," bisik Rico setelah membuka pintu gudang.

"Bos yang mana?"

"Galak," balas Rico setengah berbisik.

Purna mendengus. Dia masih tertatih berjalan. Namun saat sudah sampai di depan bos galak itu, dia menegakkan tubuh dan menahan pegal-pegal sialannya.

"Ada apa?"

Kanser menatap jam di pergelangan tangan. "Lima menit lagi pemasok datang. Kamu nggak perlu tanya saya nyuruh kamu untuk apa."

"Oke," jawab Purna serta merta. Dia berusaha mencari alat penopang barang yang dia gunakan kemarin.

"Tidak ada alat apa pun itu. Pakai tanganmu sendiri."

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang