2.2 Tukang Boker di Celana

31.2K 5.4K 130
                                    

"Gue bilang juga apa? Lo jangan main-main, deh sama si bos. Dia sering marah-marah."

Purna meletakkan kertas rekapan di meja gudang, mendengarkan baik-baik omelan Rico dan Tita yang menasihatinya habis-habis karena insiden dua hari lalu.

"Santai aja. Gue nggak keberatan dihukum nambah 2 jam."

"Kami yang kasihan sama lo, Na."

"Thanks, then. Udah kasihan sama gue." Purna tersenyum.

Andaikan mereka tahu. Yang mereka sebut bos itu adalah orang paling tidak punya perasaan sedunia. Bagaimana mungkin tega menghukum seorang gadis imut seperti Purna untuk bekerja rodi seperti itu. Tapi berhubung mereka sedang dalam mode bertengkar, jadi satu-satunya jalan adalah menikmati permainan yang Kanser umpankan padanya.

"Kemarin gue baca berita di koran," Tita menimpali, "seorang mahasiswi ditemukan meninggal di kamarnya karena kurang tidur akibat kerja full time."

Purna berdecak. "Kemarin tetangga gue nyindir mahasiswi full time, terus dia jatuh sakit. Dua hari kemudian tetangga gue dilarikan ke rumah sakit. Seminggunya--"

"Astaga, lo tega banget!"

Purna tertawa. "Udah, jangan ngomongin itu mulu. Kita kerja aja yang bener. Jangan lawan si bos kalo nggak berani."

"Kalian ngomongin saya?!"

Dua orang menciut mendengar teriakan itu dari luar pintu. Purna justru membuka pintu dan mempersilakan Kanser masuk gudang. "Memangnya kenapa, Pak?"

Kanser tidak habis pikir dengan gadis bernama Purnama itu! "Kamu--"

"Mau hukum saya lagi? Tunggu tiga hari lagi, Pak, setelah masa hukuman saya yang ini selesai."

Telunjuk Kanser bergetar karena menahan amarah. Dia menurunkan jari telunjuknya yang hampir menyentuh dahi Purna saking kesalnya. Kanser menghela napas kesal lalu memasukkan tangannya ke dalam saku demi menghindari terbantingnya benda-benda di sana.

"Sekali lagi saya dengar kalian ngomongin saya, akan saya pecat kalian!"

"Nggak ada larangan ngomongin Bapak, juga."

"Apa kamu bilang?!"

Yang membuat Kanser menahan kesal setengah mati adalah karena Purna seakan tidak merasa bersalah sama sekali saat ketahuan menggosipkannya di belakang. Gadis itu bicara dengan santai dengan menuliskan rekapan di kertas.

"Saya bilang, nggak ada aturan atau larangan tentang gosip, Pak."

"Mulai sekarang, aturan itu berlaku."

"Cih, yang namanya aturan harus disetujui minimal dua pihak. Nggak bisa semena-mena tercipta begitu."

"Maaf, Pak." Rico menyela. "Tapi sepertinya benar kata Purna tentang peraturan yang harusnya disetujui--"

"Rico, kamu saya pecat." Kanser menggeram, tatapannya menghunus tajam pada Rico yang terkejut, kedua orang lain di sana pun sama terkejut.

"Bapak nggak bisa--"

"Diam kamu, Purnama! Atau saya akan--"

"Apa? Pecat juga?"

Purna mendekat pada Kanser, menyunggingkan senyum kecilnya. Dia tidak takut menghadapi Kanser walau badannya kalah tinggi. Walau Purna kurang tinggi sekalipun, dia punya otot kuat, badannya tidak kurus kerempeng tanpa isi. Dia punya tenaga yang cukup untuk mencubit.

"Maaf, Pak. Saya nggak berniat sama sekali untuk menentang Bapak," sinis Purna. Pegal di seluruh tubuhnya karena tiga hari kerja rodi benar-benar membuatnya ingin mengatakan hal ini. "Saya sadar posisi. Tapi nggak seharusnya Bapak menggunakan jabatan seenak jidat. Bapak nggak bisa serta merta asal memecat mereka sesuka hati. Pecat saja saya. Jangan orang lain."

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang