Hal yang menyedihkan di dunia ini adalah kehilangan. Apalagi jika harus kehilangan orang tua yang selama ini sudah merawat dan membesarkan kita penuh dengan kasih sayang.
.
.
.
Kejadian ini sedang dialami oleh seorang pemuda yang masih duduk di kelas 2 SMA di salah satu sekolah di Kirigakure. Kirigakure sendiri merupakan salah satu desa yang ada di Kota Konoha yang terletak di lereng pegunungan dengan kekayaan alam yang melimpah. Dimana banyak warganya yang berkebun sebagai mata pencaharian. Kirigakure juga merupakan desa penghasil stroberi terbesar di Konoha. Jadi jangan heran, jika ada banyak perkebunan stroberi yang melimpah di sana dengan perbukitan yang mengelilinginya.
.
.
.
Kemarin, Kirigakure sedang dilanda bencana alam. Salah satu bukit yang ada disana mengalami tanah longsor, yang mengubur lahan stroberi yang ada di dekatnya. Untungnya tanah longsor itu terjadi dan hanya menimpa lahan perkebunan warga, bukan di area pemukiman. Tapi meski begitu, tentu saja bencana itu memakan korban jiwa.
.
.
.
Kejadian itu terjadi di pagi hari, dimana para warga sedang giat-giatnya berkebun di ladang mereka masing-masing. Dan tanpa di duga-duga, tanah perbukitan yang ada di sekitar lahan mereka amblas dan menimbun mereka yang ada di dekatnya yang tak sempat untuk melarikan diri.
.
.
.
"Aku harus bagaimana sekarang?"
Seorang pemuda terlihat sedang duduk termenung di teras belakang rumahnya yang sederhana. Tangannya memegang sebuah foto dengan dua orang di dalamnya. Itu adalah foto kedua orang tuanya.
"Ayah, Ibu. Aku bingung sekali."
Pemuda bernama Uzumaki Naruto itu masih menatap foto kedua orang tuanya yang sudah tiada. Orang tuanya merupakan korban dari bencana tanah longsor kemarin itu.
"Hutang kita masih banyak."
.
.
.
Naruto ingin sekali menangis sekarang. Dia bukan anak orang kaya raya. Melainkan hanya anak seorang petani buah strawberry di Konoha. Itu pun dengan lahan yang kecil. Hasil perkebunan mereka akan dijual lalu uangnya dipergunakan untuk hidup dan membayar hutang. Ya, hutang yang jumlahnya sangat besar kepada salah satu keluarga kaya raya di Kota Konoha.
"Aku harus bekerja."
.
.
.
Naruto yang masih duduk di kelas 2 SMA itu tentu saja harus membuat pilihan yang tepat. Mencari uang untuk bertahan hidup dan membayar hutang keluarga yang belum lunas juga.
"Besok aku akan mengundurkan diri dari sekolah."
Naruto lalu berdiri, dia sudah membuat keputusan. Bagaimana pun, Naruto harus bertahan hidup meski sekarang dia sebatang kara. Tidak boleh menyerah.
Naruto kemudian melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamarnya. Untuk mengganti baju. Kedua orang tuanya baru saja selesai di makamkan siang ini. Sedih? Tentu saja. Apalagi di tambah dengan beban Naruto yang kini harus bertanggung jawab atas hutang keluarganya. Ini semakin membuatnya pusing.
.
.
.
"Ladang Ayah dan Ibu pasti belum akan bisa di gunakan dalam waktu dekat. Bagaimana caranya aku mendapatkan uang?"
Naruto menatap pantulan dirinya yang sedang shirtless di depan cermin kamarnya. Hm, untuk ukuran anak remaja, Naruto tergolong memiliki badan yang sangat atletis.
"Aku tidak punya lahan untuk berkebun, dattebayo!!"
Naruto menepuk jidatnya frustasi. Lahan kedua orang tuanya masih tertimbun tanah. Untuk beberapa hari pasti akan belum bisa di gunakan. Perangkat desa dan para relawan itu pasti butuh waktu untuk memulihkan kembali semua lahan itu termasuk lahan kecil milik keluarga Uzumaki.
"Haaahh~ kenapa aku tidak bisa apa-apa selain berkebun?"
.
.
.
TOK TOK!
"Permisi?"
"Sebentar!!"
Mendengar suara pintu rumahnya di ketuk seseorang, Naruto langsung saja berjalan cepat keluar kamar dan menuju pintu depan, tanpa memakai atasannya kembali.
"Ya?"
"Naruto ini------gyaaa!!"
Naruto ikut terkejut saat tamu itu mendadak berteriak histeris setelah melihatnya. Apa yang salah padanya?
"SAI!! APA-APAAN KAU INI, DATTEBAYO!!!"
"Ma-maafkan aku, Naruto. Aku hanya terkejut karena kau setengah telanjang!"
"Cih!! Kau ini. Ada apa?"
"Umm.. aku hanya ingin memberikan surat titipan ini untukmu."
"Surat? Dari siapa?"
"Entahlah. Aku juga tidak tahu. Tukang pos tadi yang menitipkannya untukmu saat kau masih ada di makam tadi. Aku tidak berani membukanya."
"Oh, baiklah. Terima kasih."
"Aku pergi dulu."
.
.
.
Naruto mengangguk saat Sai melambaikan tangan padanya. Pemuda itu lalu mengambil sepedanya dan pergi dari rumah Naruto.
"Surat?"
Naruto membolak-balikkan amplop putih itu sembari memperhatikan setiap detilnya. Setelah menutup kembali pintunya, Naruto kemudian masuk dan berjalan lagi menuju ke teras belakang rumahnya. Membaca di tempat itu merupakan hal yang tepat. Meski rumah Naduto itu kecil, tapi ada halaman belakang yang cukup luas disana.
.
.
.
"Dari siapa ya?"
Naruto kemudian duduk. Dia menggaruk kepalanya pertanda bingung. Karena sangat penasaran, Naruto pun segera merobek salah satu ujung amplop itu dan menarik isinya keluar. Membuka lipatan kertas itu dan mulai membaca apa isinya.
"...kami turut berduka cita atas kematian Tuan Namikaze dan Nyonya Uzumaki. Meski begitu, tolong jangan lupakan soal hutangnya. Terima kasih."
Naruto mengucapkan kalimat di bait terakhir dari surat itu.
"Tertanda, Keluarga Uchiha."
Naruto melotot saat melihat siapa nama marga si pengirim surat tersebut.
.
.
.
"Aaa!!! Sial!! Surat macam apa ini!? Ini surat dari keluarga yang di hutangi Ayah!" Naruto memekik saat dia tahu siapa pengirim surat tersebut.
.
.
.
Keluarga Uchiha, keluarga kaya raya di Kota Konoha. Yang telah dengan baik hati memberikan pinjaman pada Minato kala itu untuk biaya persalinan Kushina saat akan melahirkan Naruto. Keluarga Uchiha memang terkenal memiliki banyak bank dimana-mana, termasuk di Kirigakure. Maka tak heran jika Minato langsung mengambil langkah cepat untuk berhutang di bank itu demi putra pertamanya yang akan segera lahir.
Namun sayang, karena perekonomian di Kirigakure yang sempat anjlok, membuat Minato harus menunggak cicilan hutangnya hingga beberapa tahun dan jadilah hutang itu semakin tumbuh subur dengan bunga yang semakin mekar.
.
.
.
"Astaga!! Apa yang harus ku lakukan, dattebayo!!"
Sejak Naruto mulai duduk di kelas 1 SMA, Minato memberitahu tentang semua hutang itu pada Naruto. Ya soal hutang itu, bukan soal perjanjian yang sebenarnya.
Minato berharap, Naruto bisa membantu bekerja di kebun sepulang sekolah demi mendapatkan uang yang lebih. Bersyukur meski Naruto tipe anak pembangkang, namun masih memiliki sikap penyayang yang luar biasa. Naruto juga merupakan tipe pemberani dan bertanggung jawab, meski otaknya bisa di bilang kosong.
"Aku harus segera mencari pekerjaan, dattebayo!!"
.
.
.
Naruto meremas surat itu panik lalu membuangnya ke tempat sampah. Untuk apa menyimpan surat semacam itu, hanya akan menambah beban pikiran saja. Naruto harus bergerak, berpikirpun juga percuma. Karena tidak akan menghasilkan apa-apa selain membuat kepalanya berasap.
"Aku akan pergi ke rumah Iruka-sensei."
.
.
.
Naruto menuju kamarnya, mengganti celana hitamnya dengan celana pendek, lalu memakai kaos sekenanya. Kemudian berjalan terburu-buru untuk keluar rumah, dan mengunci pintunya. Naruto kemudian berlari secepat mungkin menuju ke rumah salah satu guru SMA yang dekat dengannya yaitu, Umino Iruka-sensei.
'Guru Iruka memiliki kebun stroberi yang cukup luas, lahannya juga aman dari tanah longsor itu. Setahuku pekerjanya juga tak banyak. Aku akan meminta pekerjaan padanya.'
.
.
.
Beberapa menit setelah berlari, akhirnya Naruto sampai di rumah Iruka. Rumah sederhana yang cukup luas dengan halaman yang di ubah menjadi taman yang cantik dengan berbagai tanaman hias, membuat rumah Iruka menjadi sangat asri dan enak dipandang.
Di depan pintu, berdirilah sosok Iruka yang hendak masuk ke rumahnya, Naruto datang tepat waktu.
"Iruka-sensei!"
"Hm? Naruto? Ada apa?"
"Iruka-sensei, ada yang ingin ku bicarakan dattebayo."
"Soal apa?"
"Tentang sekolahku."
.
.
.
Iruka sedikit tersentak saat mendengar Naruto yang hendak membicarakan soal sekolahnya. Jujur saja, sebelum kedua orang tua Naruto meninggal, Iruka memang sudah dekat dengan Naruto. Bahkan Naruto sudah menganggap Iruka sebagai Ayah keduanya.
"Masuklah dulu."
Naruto mengangguk, lalu melepas sandalnya dan mengikuti Iruka masuk ke rumahnya.
Setelah itu, Naruto duduk di ruang tamu. Dengan Iruka yang duduk di sebrangnya menghadapnya.
"Jadi, ada apa dengan sekolahmu Naruto?"
"Iruka-sensei, aku ingin mengundurkan diri dari sekolah."
"Apa!?"
"Aku ingin mengundurkan diri. Lalu mencari kerja untuk mendapatkan uang. Aku harus melunasi hutang kedua orang tua ku pada keluarga Uchiha."
"Kau tidak harus putus sekolah Naruto. Aku bisa membantumu."
.
.
.
Iruka terlihat menolak mentah-mentah permintaan Naruto. Bagi Iruka, pendidikan itu penting. Saat masih muda, timba lah ilmu sebanyak mungkin. Suatu saat pasti ilmu itu akan berguna. Tetaplah belajar, meski berada di wilayah pinggiran sekalipun.
"Terima kasih, Iruka-sensei. Tapi, aku sudah memutuskan ini dattebayo."
"Naruto, aku tahu kau sedang mengalami masa-masa sulit. Tapi, putus sekolah bukanlah satu-satunya pilihan untukmu."
Iruka lalu berpindah tempat duduk. Dari di depan Naruto kini sudah duduk di samping si pirang. Tangan Iruka, menggenggam tangan Naruto. Memberinya sebuah keyakinan bahwa Naruto masih punya pilihan lain. Iruka menyayangi Naruto seperti anaknya sendiri.
.
.
.
"Iruka-sensei, aku hanya tidak ingin merepotkan. Sudah menjadi tanggung jawabku untuk membayar semua hutang kedua orang tuaku. Jika tanpa ada hutang itu, aku tak akan pernah lahir ke dunia ini, dattebayo."
Iruka terdiam, memandang Naruto yang tersenyum padanya dengan tatapan sedihnya. Meski Iruka tahu bahwa sebenarnya Naruto itu siswa yang bodoh, tapi bukan berarti siswa seperti itu tidak bisa untuk dididik atau bahkan di beri pelajaran.
.
.
.
"Jika itu pilihanmu, berjanjilah pada Iruka untuk tidak menyesal, Naruto."
Baik Iruka maupun Naruto, mereka berdua sama-sama menengok ke arah sumber suara.
"Kakashi?" Kata Iruka.
Sosok yang dipanggil Kakashi itu terlihat berjalan menghampiri Iruka dan Naruto yang sedang duduk berdampingan. Namanya Kakashi Hatake, suami Iruka dan juga merupakan salah seorang Guru di SMA Kiri.
"Sejak kapan kau ada disitu?" Tanya Iruka lagi.
"Beberapa menit yang lalu. Aku tak ingin mengganggu kalian. Jadi, aku memilih untuk menunggu."
Setelah duduk di kursi di depan Naruto dan Ituka, Kakashi beralih untuk menatap Naruto.
"Bagaimana, Naruto?"
"Aku berjanji, dattebayo!"
"Tapi, Kakashi! Itu--"
"Tidak apa, Iruka. Aku percaya pada Naruto. Dia tidak akan mengecewakan siapapun." Ucap Kakashi sedikit menggantungkan kalimatnya.
.
.
.
Kakashi beralih untuk menatap Iruka yang tampak cemas. Detik berikutnya, Kakashi tersenyum di balik maskernya. Pria itu memang selalu mengenakan masker kemana-mana. Dari kedua mata Kakashi yang menyipit itulah dapat di simpulkan bahwa Kakashi sedang tersenyum.
"Benar begitu bukan, Naruto?"
"Tentu saja, dattebayo! Aku tidak akan mengecewakan siapapun!"
Meski sedikit gelagapan, Naruto tetap menajawab pertanyaan Kakashi dengan sangat yakin. Naruto memang selalu percaya diri.
.
.
.
"Anak Pintar." Puji Kakashi. Dan Iruka hanya menghela napas lega saat itu.
"Ano Iruka-sensei. Apa aku boleh bekerja di lahan stroberi milikmu? Uang gajinya akan ku gunakan untuk mencicil hutang Ayah dan Ibu."
"Tentu. Kau bisa bekerja disana, Naruto."
"Yosh!! Aku akan segera kesana, dattebayo!" Ucap Naruto semangat sambil berdiri.
"Ehh tidak tidak! Tidak boleh!"
"Uwooo!!"
Naruto kebingungan saat Iruka kembali mendudukkannya secara paksa.
"Ada apa, Sensei?"
"Kau tidak boleh bekerja hari ini. Aku mengijinkanmu mulai bekerja lusa. Besok biar aku yang mengurusi soal pengunduran dirimu dari sekolah. Lalu sekarang aku ingin, kau pulang dan istirahat Naruto. Jaga kesehatanmu. Mengerti?"
Naruto mengerjabkan kedua matanya. Padahal dirinya sudah sangat semangat untuk mulai bekerja hari ini. Meski hatinya masih sangat sedih, tapi Naruto tidak akan larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Melihat Iruka yang sangat perhatian padanya, Naruto jadi ternyuh. Wajah Iruka yang seperti ini tak mampu untuk Naruto tolak.
'Pantas saja kalau Kakashi-sensei sangat mencintai Iruka-sensei.' Batin Naruto.
"Biaklah. Aku mengerti! Terima kasih Kakashi-sensei dan Iruka-sensei! Aku pulang dulu, dattebayo!"
.
.
.
Setelah berpamitan, Naruto pun segera bergegas ke rumahnya. Naruto lega, ini sesuai dengan rencananya. Tidak apa jika harus putus sekolah, asal mau berusaha bekerja keras dan jujur, Naruto yakin bahwa hidupnya akan baik-baik saja. Serta mampu membayar hutang kedua orang tuanya.
.
.
.
Keluarga Uchiha sendiri merupakan keluarga kaya raya di Kota Konoha. Hidup mewah dengan keuntungan perusahaan mereka yang bergerak di bidang perbankan. Menguasai seluruh pasar Konoha sampai ke desa-desa kecil yang ada di pinggirannya. Salah satunya adalah Kirigakure, desa Naruto. Meski hanya ada satu cabang kecil di Kiri, tapi bank itu memiliki keuntungan yang lumayan. Banyak orang desa yang meminjam uang disana demi mencukupi kebutuhan hidup saat stroberi mereka gagal panen.
Bukan bank namanya jika memberikan pinjaman tanpa bunga. Keluarga Uchiha selain terkenal dengan kekayaannya yang melimpah ruah, bank mereka juga terkenal karena memiliki bunga yang sangat tinggi! Jadi jangan heran, jika setiap orang yang memiliki hutang disana akan mati-matian membayarnya. Bunga mereka tak main-main!
.
.
.
Malam pun tiba, tentu saja Konoha memiliki malam yang sangat kontras dengan malam yang ada di Kirigakure. Saat malam tiba dan semakin larut, Konoha justru sedang berada di puncaknya. Banyak bar dan diskotik yang sedang ramai pengunjung.
Salah satunya di Bar milik keluarga Senju. Meski terlihat hanya seperti tempat minum biasa, namun jangan salah. Mereka yang ada disana adalah orang-orang elit Konoha.
Bicara soal orang elit di Konoha, salah satu orang yang sedang duduk sendirian di bangku yang ada di sudut ruangan itu bernama Sasuke Uchiha. Wajahnya menampakkan ekspresi jengah saat ini, mungkin ada sesuatu hal yang membuat kepalanya pusing.
.
.
.
"Selalu sendirian eh, Sasuke?"
Salah seorang pria lain tiba-tiba datang menghampiri Sasuke dengan segelas wine di tangannya.
"Hn."
"Kau selalu terlihat seperti ini." Kata pria seumuran dengan Sasuke itu. Namanya Suigetsu.
"Mungkin kau harus mencoba untuk berdansa dengan mereka."
Suigetsu yang sudah duduk di samping Sasuke itu menunjuk ke arah gadis-gadis berpakaian minim yang ada di tengah-tengah lantai dansa.
"Tidak." Tolak Sasuke.
"Hm. Kalau begitu menikahlah."
Sasuke nampak memandang Suigetsu sangar. Berani nya pria ini mengguruinya. Seperti dia sudah benar saja.
Sadar akan tatapan Sasuke yang seakan membunuhnya. Suigetsu malah terkikik geli sekarang.
"Kenapa kau ini, Sasuke? Aku hanya menyarankan. Apa aku salah? Sadarlah! Kau sudah 37 tahun."
"Cih."
.
.
.
Sasuke memang selalu mendecih saat ada yang mengingatkannya tentang usia. Putra Bungsu keluarga Uchiha itu memang sudah hampir kepala empat. Dan Dia masih setia menjomblo dengan dalih masih ingin bersenang-senang. Berfoya-foya, pergi keliling dunia, shopping, clubbing dan banyak kegiatan mewah lainnya yang masih ingin Sasuke lakukan.
'Brengsek.'
Sasuke mengumpat dalam hati setelah Suigetsu menyingkir darinya untuk berdansa dengan pelacur-pelacur murahan disana. Sasuke sama sekali tidak tertarik. Sasuke memang tidak tertarik dengan perempuan, Sasuke gay. Meski Sasuke gay, tapi sampai detik ini di usianya yang sudah 37 tahun. Sasuke sama sekali belum pernah memiliki seorang kekasih satu pun dalam hidupnya.
"Lebih baik aku pulang."
.
.
.
Sasuke kemudian berdiri, memanggil salah seorang pelayan. Membayar semua minumannya dan memberi tips, Sasuke segera melangkah keluar dari Bar. Entah kenapa kepalanya jadi tambah pusing setelah Suigetsu memberinya saran untuk menikah saja karena usianya sudah tidak lagi muda.
.
.
.
Setelah beberapa menit mengendarai mobil mewahnya, Sasuke sampai di kediamannya yang tak kalah mewah. Di rumah itu, Sasuke tinggal dengan kedua orang tuanya, kakak laki-lakinya dan istri kakak laki-lakinya.
"Tadaima." Ucap Sasuke datar.
"Dari mana saja kau Tuan Muda?"
"Minum."
"Oh, bagus sekali! Ibu menunggumu sejak tadi dan kau malah asyik berfoya-foya di luar sana. Kemari."
Sasuke pasrah saja saat tangannya ditarik oleh Ibunya yang kelewat cantik itu, namanya Uchiha Mikoto. Mikoto lantas membawa Sasuke ke ruang keluarga dimana sudah ada Ayah dan kakaknya.
"Duduk."
Sasuke di dudukkan di sofa mahal yang ada disana. Sepertinya akan ada rapat keluarga.
"Baiklah. Kita mulai." Ucap Mikoto.
"Ada apa ini?"
"Berhubung kau tipe anak yang tak suka basa-basi, Ayah akan langsung to the point saja padamu, Sasuke."
.
.
.
Mendengar raut wajah Ayahnya yang tak main-main, Sasuke hanya melebarkan kedua matanya. Merasa ada yang tak beres, Sasuke sontak melirik kearah Kakak nya Uchiha Itachi, yang sedang duduk anteng di samping Ayahnya.
'Ada apa?' Batin Sasuke saat melirik kearah Itachi.
Dan Itachi hanya mengangguk sambil memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Itachi dan Sasuke melakukan kontak mata itu selama beberapa menit.
"Sudah selesai kontak batinnya?"
Seakan mengetahui isi kepala Sasuke, Fugaku dengan tegas menginterupsi pada kedua anaknya agar tidak berkomunikasi lewat telepati mereka berdua.
"Ada apa, Ayah?" Tanya Sasuke.
"Sasuke, kau tahu bukan bahwa tahun ini kau resmi berumur 37 tahun?"
"Iya. Lalu?"
"Bagaimana kalau kau segera mencari seorang pacar?"
"Aku gay."
"Ayah tidak mempermasalahkan itu."
"Lalu?"
"Segeralah menikah. Kau sudah bukan remaja lagi."
.
.
.
Sasuke mendengus. Sasuke mengira akan ada hal penting sampai harus dibicarakan satu keluarga penuh begini. Ternyata ini hanya masalah Sasuke yang belum menikah.
"Atau.."
"Atau apa, Ayah?"
Fugaku nampak menghela napasnya sejenak. Wajah putra bungsunya ini selalu datar. Berbeda sekali dengan Itachi, putra sulungnya.
"Atau Ayah akan menikahkanmu dengan seseorang."
"Apa!?"
Sasuke terkejut bukan main. Tunggu, hanya Sasuke yang terkejut disini. Uchiha yang lain tidak ada yang terkejut selain dirinya.
"Yaa.. Ayah berniat menikahkanmu dengan seorang Pemuda."
"Ayah! Aku tidak pernah akan mau menerima sebuah perjodohan!"
"Sasuke, jangan membentak Ayahmu."
Mikoto Uchiha, Ibu Sasuke itu berusaha menurunkan nada bicara anaknya yang baru saja melambung. Membentak Ayah, sangatlah tidak sopan bagi siapapun.
.
.
.
"Dengar, Sasuke. Ini bukan perjodohan. Ayah hanya mengambil jaminan yang sudah di sediakan saja."
"Apa maksudnya?"
"Begini, dulu ada sebuah keluarga yang sangat miskin berhutang uang pada kita. Namanya Keluarga Uzumaki. Mereka tinggal di lereng pegunungan, tepatnya di desa Kiri. Mereka berhutang pada kita saat itu untuk biaya persalinan anak pertama mereka."
Sasuke hanya mengernyit mendengar setiap penjelasan dari Ayahnya.
"Sebuah perjanjian sudah di buat. Jika suatu saat mereka meninggal dan hutang belum juga lunas. Maka kita, berhak atas anak itu."
"Aku tak menyangka Ayah melakukan human trafficking."
"Jangan bicara ngawur, Sasuke." Sela Itachi. Pemikiran adiknya sungguh tak terduga.
"Jadi, bagaimana Sasuke? Kapan kau siap untuk dinikahkan? Ayah berterima kasih kau sudah jujur bahwa kau seorang gay. Jadi, Ayah tidak perlu repot memaksamu untuk menikah dengan pemuda itu."
.
.
.
Sasuke diam. Hanya menaikkan sebelah alisnya. Sasuke memang terlihat tenang, namun dalam hati ingin rasanya dia segera kabur saja dari rumah ini. Tapi, kalau Sasuke kabur, dapat dipastikan bahwa Sasuke tidak akan mendapat uang bulanan lagi dan seluruh kartu kredit beserta kartu debit nya akan disita Mikoto. Itu artinya, Sasuke tidak bisa foya-foya lagi. Sasuke cinta hartanya.
"Jika aku setuju, apa yang akan Ayah berikan untukku?"
Kini giliran Fugaku yang menaikkan sebelah alisnya. Berunding dengan putra bungsunya ini seperti berunding dengan mafia saja. Fugaku tahu, bahwa Sasuke sangat tidak suka kerugian, begitu pula dengan dirinya. Fugaku juga tahu, kalau anak bungsunya ini sangat hobi menghabiskan uang. Jadi, siapa tahu dengan Fugaku menikahkan Sasuke, anak itu bisa sedikit bertobat dari hobinya menghabiskan uang itu.
.
.
.
"Apa ya..."
Fugaku nampak berpose memikirkan sesuatu. Pura-pura saja. Detil berikutnya, Fugaku terkekeh mencurigakan, lalu melipat kedua tangannya di dada.
"Jika kau menyetujuinya, Ayah akan kembalikan semua asetmu."
Ingin rasanya Sasuke tertawa melecehkan sekarang. Apa maksud Ayahnya? Mengembalikan semua asetnya? Maksudnya adalah semua uang dan kartu-kartu milik Sasuke? Jangan bercanda, semua itu ada di tangan Sasuke sekarang.
.
.
.
"Ayolah, Ayah. Kita sedang tidak bercanda kali ini."
"Ayah memang tidak sedang bercanda. Lihat ini."
Fugaku memanggil seseorang dengan menjentikkan jarinya. Dan datanglah orang berbadan kekar berkaca mata hitam dan botak menenteng sebuah tas hitam bermerk mahal yang diketahui itu milik Sasuke di tangannya, lalu memberikannya pada Fugaku.
"Semua uang dan kartu mu, ada di tangan Ayah sekarang."
Fugaku menyeringai sambil menunjukkan tas milik Sasuke itu yang kini ada di tangannya.
"Ayah!! Itu milikku!! Kembalikan!!" Pekik Sasuke panik.
"Bagaimana? Setujukan, Tuan Muda Uchiha?"
Mendengar Fugaku yang bertanya retoris, Sasuke hanya mampu melotot tak terima. Semua uang dan kartu foya-foya nya ada di dalam tas itu. Dan kini, tas itu ada di tangan Ayahnya. Dengan kata lain, Sasuke mau tidak mau harus menerima pernikahannya dengan anak orang miskin di desa Kiri.
.
.
.
"Baiklah, Ayah." Ucap Sasuke pasrah. Jiwa sosialitanya sangatlah tinggi, apapun akan Sasuke lakukan demi mendapatkan semua aksesnya kembali.
"Pilihan yang tepat, Sasuke." Puji Fugaku.
Lagi-lagi Sasuke hanya mendengus kesal. Ini keterlaluan baginya.
"Ne, Sasuke-kun. Besok Ibu akan memberi tahumu desa dimana calonmu itu berada. Sekarang, tidurlah."
Sasuke tidak menjawab perkataan Ibunya. Melainkan hanya mengangguk sebagai bentuk persetujuan.
.
.
.
Dengan demikian, rapat Uchiha sudah selesai dengan hasil yang memuaskan. Sasuke menerima si anak miskin itu, yang tak lain tak bukan adalah Uzumaki Naruto. Sasuke melakukannya semata-mata agar semua uang dan kartu foya nya segera kembali dan Sasuke dapat segera hura-hura lagi keliling dunia.
"Oh ya, Sasuke."
Suara Ayahnya, kembali menginterupsi Sasuke yang hendak berjalan ke kamarnya.
"Ada apa, Ayah?"
"Sedikit informasi, bahwa pemuda yang akan Ayah nikahkan denganmu itu usianya baru 17 tahun."
"APA!!!?"
.
.
.
.
.
To Be Continued.
NB : Mohon maaf apabila masih ada typo dalam penulisam fanfiction ini. Saya akan berusaha untuk lebih teliti lagi. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAWBERRY UNDERAGE
RomanceNaruto harus bertanggung jawab atas seluruh hutang ke dua orang tua nya pada Keluarga Uchiha. Tapi sayang, Naruto yang masih sangat muda itu harus membayar hutang kedua orang tua nya melalui pernikahannya dengan Sasuke yang punya hobi berfoya-foya! ...