STRAWBERRY UNDERAGE (Chapter 04)

6.9K 583 58
                                    

'Apa-apaan ini, Dobe!?'
.
.
.
Sasuke merasakan bibirnya sedang  dibungkam manis bibir Naruto. Dilihatnya Naruto menutup kedua matanya, pertanda menikmati ciuman dadakan mereka ini. Sebenarnya ini bisa dikatakan ciuman sepihak, bahkan Sasuke saja tak menyangka akan diperlakukan seperti ini. Salahkan Naruto yang terlalu berani mencium Tuan Muda Uchiha satu ini.
.
.
.
Semenit sudah Naruto mencium bibir Sasuke. Hanya menciumnya, menempelkan kedua bibir itu agar menyatu. Bukan karena napsu atau apa, Naruto sendiri juga tak tahu kenapa tiba-tiba Dia mencium Sasuke seperti ini.
Sasuke mengerjabkan kedua matanya, Naruto sudah mengakhiri ciuman kejutan ini. Dan Naruto kembali memperlihatkan iris birunya itu di depan Sasuke.
.
.
.
"Ini, ciuman pertamaku."
Sasuke hanya diam, membatu di tempat. Tak berani bergerak atau memang badannya kaku mendadak.
"Bibirmu, lembut ya Sasuke."
.
.
.
BLUSH!
Jika ada yang bisa melihat kejadian ini secara langsung, banyak dari kalian pasti mengambil kamera untuk memotret wajah Sasuke yang merah merona. Pipi putih itu bersemu merah bak mengenakan blush on. Pujian sederhana Naruto membuat Sasuke terbang melayang ke khayangan.
"Maaf ya. Hehehe. Habisnya aku tidak tahan, dattebayo."
Naruto masih menampakkan tawa renyahnya di depan Sasuke. Anak yang polos dan jujur, selalu berkata apa adanya pada Sasuke yang baru di kenalnya hari ini.
"T-tidak apa."
Sasuke memalingkan wajahnya, tak sanggup jika harus memandang wajah tampan Naruto terlalu lama. Apalagi Naruto sedang tersenyum secerah itu. Sasuke mana sanggup.
Sedangkan Naruto hanya tertawa gurih saat melihat Sasuke memalingkan wajahnya.
'Ciuman pertama mu ya.' Batin Sasuke tak menyangka.
Ini memang ciuman pertama Naruto. Sebelum ini, Naruto sama sekali belum pernah mencium atau dicium siapapun tepat di bibirnya. Sedangkan Sasuke, ciuman pertamanya sudah di renggut Itachi saat Sasuke masih kelas 3 SMP.
.
.
.
"Hm? Sepertinya, hujannya sudah reda."
"Iya. Aku akan segera pulang."
Sasuke melepaskan pelukan ringan Naruto. Hujan memang baru saja reda, tapi sejujurnya Sasuke tidak harus pulang secepat ini meski hujan sudah reda sekalipun.
"Kau mau pulang sekarang, Teme?"
"Hn."
Naruto sedikit kecewa, seharusnya dia tadi berharap bahwa hujan terus saja. Jangan pake reda, biar Sasuke bisa berlama-lama di rumahnya. Ya namanya harapan tinggal harapan, kadang gak sesuai dengan kenyataan sih. Mau bagaimana lagi?
.
.
.
Sasuke lebih dulu sampai di pintu depan. Naruto mengekor di belakangnya dengan wajah yang aneh. Entah sedih, bingung, kecewa atau apa. Yang jelas, Naruto tidak ingin Sasuke segera pulang. Naruto sedikit tidak rela.
"Kau tidak mau menginap disini?"
"Tidak. Aku tidak mau merepotkanmu dan orang tua mu."
"Aku, sudah tidak punya orang tua."
.
.
.
DEG!
Tangan Sasuke yang hendak menggeser pintu itu terhenti. Nada bicara Naruto terdengar begitu dalam dan berat. Hingga mampu membuat Sasuke ikut merasakan apa yang Naruto rasakan lewat cara bicaranya barusan.
Sasuke berbalik, dilihatnya Naruto sedang berpaling wajah dari nya.
'Dia hidup sendiri. Itu pasti berat.'
Sasuke menggigit bibir bawahnya. Dia hanya ingin berpamitan, tapi malah membuat situasi menjadi seperti ini.
"Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu." Kata Sasuke.
Naruto mengalihkan pandangannya untuk menatap Sasuke lagi. Dilihatnya pria itu tengah memandangnga datar. Tapi meski begitu, Naruto tahu dari sorot mata itu Sasuke mengisyaratkan rasa penyesalan.
.
.
.
"Ah tidak apa, dattebayo!"
Tawa Naruto kembali mencairkan suasana, meski Naruto sendiri belum rela sepenuhnya jika kedua orang tuanya sudah berpulang. Ini hanya kesalah pahaman, Sasuke tentu tidak ingin membuat Naruto sedih dengan mengingatkan kejadian miris itu. Sasuke bahkan sama sekali tidak tahu jika kedua orang tua Naruto sudah tiada.
"Aku pamit, Naruto."
"Hati-hati, Sasuke."
Sasuke pun berbalik, menggeser pintu sederhana itu lalu keluar rumah Naruto. Seperti tadi, Naruto masih setia mengekori Sasuke.
"Akan ku antar sampai stasiun terdekat."
"Tidak perlu. Mobil ku ada disana."
Naruto mengikuti arah telunjuk Sasuke. Dan Naruto melihat sebuah mobil hitam yang begitu mewah terparkir anteng di depan sana.
"Kau punya mobil sendiri?"
"Hn."
"Wow!"
Itu mobil terparkir dekat dengan kebunnya, kenapa Naruto tidak sadar jika ada sebuah mobil terparkir disana ya? Mungkin, karena Naruto kegirangan bisa berlari menembus hujan bersama Sasuke, hingga mengabaikan keadaan sekitar.
.
.
.
"Hei! Tunggu!"
Naruto segera menyusul Sasuke yang sudah berjalan mendahuluinya. Hujan yang sudah reda seperti memberikan udara yang begitu menyejukkan. Apalagi di daerah pegunungan seperti ini.
Sasuke dan Naruto berjalan beberapa meter untuk sampai di tempat dimana mobil Sasuke berada.
"Hati-hati saat menyetir, Sasuke."
"Hn."
"Jangan ngebut."
"Hn."
"Jangan ugal-ugalan, dattebayo."
"Hn."
"Aku akan merindukanmu."
"...."
Sasuke menoleh, melongokkan kepalanya dari jendela mobilnya. Sasuke melihat wajah Naruto dari dalam mobil mewahnya. Hanya saja, Sasuke mengurungkan niatnya untuk segera menyalakan mobil itu karena kalimat terakhir Naruto barusan menghentikannya.
"Apa katamu?"
"Aku akan merindukanmu." Ulang Naruto.
"Kenapa?"
"Karena kau temanku."
.
.
.
Alis Sasuke naik sebelah, tentu saja alia yang dimaksud adalah alis yang tidak tertutup poni miringnya. Naruto bisa lihat itu. Sepertinya Sasuke tidak paham.
"Kau bisa memeluk bajuku jika rindu padaku."
Naruto mundur menjauh dari samping mobil Sasuke setelah kaca mobil itu tertutup perlahan. Suara mesin mulai terdengar, dan Sasuke mulai memundurkan mobilnya. Memutar stirnya dan mulai melaju di jalanan desa yang masih basah akan air hujan.
.
.
.
"Bukan bajumu Sasuke, tapi dirimu."
Pertemuan singkat hari ini. Iris biru Naruto memandangi mobil Sasuke yang semakin menjauh, dan mulai menghilang. Seperti cerita dongeng, Naruto tak menyangka akan bertemu sosok seperti Sasuke hari ini.
"Ku harap, kita bisa berjumpa lagi."
Naruto bergumam sendiri, tanpa beralih dari tempatnya berdiri sekarang.
Kalimat terakhir Sasuke cukup membuat Naruto sedikit trenyuh banyak bapernya.
Sedih di hatinya hilang saat Sasuke ada di sampingnya meski baru sebentar saja. Duka mendalam karena kehilangan orang tuanya, seakan sirna begitu saja ketika Naruto bersama Sasuke.
Namun sekarang, duka dan sepi itu kembali merayapi relung hati Naruto sepeninggal Sasuke dari desanya, Kirigakure.
.
.
.
Dalam perjalanan pulangnya, kepala Sasuke dipenuhi oleh si pirang ceria itu. Seluruh candaannya, tingkahnya, rasa masakannya, kebaikannya, dan yang pasti senyumannya. Semua masih terpampang jelas di kepala Sasuke. Di usianya yang sudah 37 tahun, baru kali ini Sasuke dibuat kepikiran oleh seseorang. Bahkan seseorang itu tak lebih dari petani biasa yang hidup pas-pasan.
"Tidak mungkin jika aku bisa menyukainya."
.
.
.
Mobil Sasuke melewati gerbang mewah kediamannya. Lalu berhenti dengan sempurna di garasi mobil rumah mewah itu.
Melepas sabuk pengaman, lalu turun dari mobilnya. Sasuke nampak selalu sempurna dalam setiap gerakannya meski sederhana. Bayangkan bagaimana sempurnanya tubuh porselen itu ketika menggeliat manja nanti di malam pertama bersama suaminya.
.
.
.
Sasuke berjalan memasuki rumahnya. Menuju kamarnya di lantai dua, dan merebahkan tubuhnya di kasur empuknya. Rumah sedang sepi, sepertinya kedua orang tua beserta kakaknya sedang ada di kantor pusat. Istri Itachi si Deidara juga tak terlihat jarena doi sedang sibuk jalan-jalan di negara sebelah.
"Wangi jeruk." Komen Sasuke.
Dirinya sedang berbaring telentang menatap hampa langit-langit kamarnya. Tangannya bergerak sendiri untuk sedikit menarik baju biru navy itu agar di hirup oleh hidung bangir Sasuke. Dan aroma citrus lah yang Sasuke hirup.
.
.
.
"Padahal, aku sama sekali tidak menyukai jeruk. Tapi kenapa rasanya hatiku bisa setenang ini saat menghirup wangi jeruk di baju Naruto."
Sasuke menepuk jidatnya. Tak mengerti akan keadaan hatinya saat ini. Bisa tenang hanya dengan menghirup wangi murahan itu, dan merasa sangat nyaman dalam balutan baju dan celana tak bermerk pemberian Naruto padanya.
"Ada apa denganku?"
Salah satu tangan Sasuke menutup kedua matanya. Membantu Sasuke untuk menelisik jauh ke dalam benaknya dan menganalisis tentang seluruh perasaannya saat ini.
"Jika aku menyukai Naruto, bagaimana kabar aset uangku?"
.
.
.
Cinta atau harta.
Cinta akan membawamu pada kebahagiaan jika itu murni.
Sedangkan, harta bisa membawamu dalam kehidupan yang serba mudah. Bisa memiliki apapun yang dimau tanpa harus meneteskan keringat, itulah guna dari harta yang melimpah.
Tapi, harta tak bisa membeli cinta yang tulus nan suci. Cinta yang tulus dan murni, hanya bisa di peroleh dengan cara menyayangi satu sama lain. Membiarkannha tumbuh subur di dalam hati dan selalu menjaganya. Niscaya, cinta itu akan ada abadi selamanya dalam diri.
.
.
.
Di kedua sisi yang berbeda, Naruto dan Sasuke saling memikirkan satu sama lain tanpa saling mengetahui.
Sasuke berdiri di balkonnya malam ini dengan masih mengenakan baju milik Naruto. Meski sudah mandi pun Sasuke rasanya enggan untuk mengganti pakaian murahan itu dengan baju branded nya.
"Perasaan apa yang kau masukkan ke dalam hati ku, Dobe?"
.
.
.
Sementara Naruto, dirinya sibuk duduk termenung di teras belakang rumahnya. Suasana desanya sangat damai saat malam tiba, mendukung dirinya yang sedang melow sembari mengusap-usap pakaian Sasuke yang sengaja di tinggalkan di rumahnya.
"Rindu. Perasaan itu, rindu." Gumam Naruto tak jelas.
Dia bukan sedang berpuisi, hanya mencoba mengobati rasa hampanya malam ini. Sasuke berhasil mengisi kekosongan di hatinya dan menyirnakan seluruh dukanya. Tapi sayangnya, malam ini Sasule gagal untuk memusnahkan rindu di hati Naruto.
.
.
.
Malam berlalu dengan berat bagi mereka berdua. Padahal, Naruto dan Sasuke tidak memiliki hubungan apa-apa. Hanya sebatas teman perkenalan singkat, dan rekan meneduh di bawah satu atap. Tapi justru kesingkatan itulah, yang membuat mereka malah merasa saling mengisi hati satu sama lain.
.
.
.
Suara burung berkicau, telah di kalahkan oleh suara klakson mobil yang jauh lebih keras. Konoha memang selalu sibuk. Serasa 24 jam itu kurang bagi mereka.
Sinar matahari pagi sepertinya sudah mengganggu tidur nyenyak Sasuke. Membuat iris hitam kelam itu terbuka perlahan dan mengerjab beberapa kali.
"Jam 8."
Sasuke mendudukkan dirinya di kasur, jam 8 baginya itu masih pagi. Padahal, kedua orang tuanya sudah berangkat kerja sejak tadi, begitu pula dengan dengan Itachi.
.
.
.
Sasuke memang dimanja oleh seluruh anggota keluarganya. Bahkan mendiang Kakeknya pun juga sangat memanja Sasuke. Andai saja Kakeknya masih hidup, sudah dapat di pastikan bahwa pengelola bisnis Keluarga Uchiha saat ini bukanlah Itachi. Melainkan Sasuke.
"Ck! Merepotkan!"
Mendecih tak suka. Sasuke melempar handphone mahalnya ke kasur. Pesan singkat dari Ibu nya membuat moodnya sedikit retak. Hanya retak, belum hancur.
"Kenapa harus secepat ini?"
Sasuke menggerutu tak suka. Pesan singkat dari Ibunya isinya adalah bahwa hari ini, Ayahnya akan segera membawa pemuda jaminan itu untuk diperkenalkan pada Sasuke. Ya, hari ini.
.
.
.
"Ayah ingin aku yang kesana?"
"Ya. Biar Ayah yang ambil alih pekerjaanmu disini."
"Tapi, apa yang harus ku katakan nanti?"
Terdengar sebuah percakapan dari dalam ruangan Itachi di kantor. Saat ini, Fugaku sedang menatap Itachi yang sedikit bingung dengan perintah Ayahnya.
"Ayah yakin kau bisa mengatakannya. Kau memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa, Itachi. Maka dari itu, Ayah menyuruhmu membawa anak itu."
Itachi mengangkat bahunya. Seakan tidak yakin pada dirinya sendiri. Hei, jangan salah sangka ya. Jaminan kali ini sangatlah berbeda dari jaminan-jaminan yang biasa dijanjikan nasabah sebelumnya.
.
.
.
Jangan bercanda, Itachi harus mengambil anak jaminan ini dengan cara serasional mungkin dan membawanya pada Ayahnya. Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimana cara Itachi menjelaskan pada anak itu bahwa dirinya sudah dijadikan jaminan pada bisnis keluarganya sejak dia baru di lahirkan? Dan tentunya, tanpa harus melukai perasaan si anak itu.
"Ayah percaya padamu."
Fugaku memutar kursinya. Membelakangi Itachi, halusnya adalah mengusir Itachi untuk segera berangkat melaksanakan perintah Ayahnya.
"Baik, Ayah." Jawab Itachi pasrah.
.
.
.
Meski sedang dirundung kebingungan, Itachi tak pernah ragu untuk melangkah. Keyakinan sudah pasti ada dalam setiap langkahnya. Keyakinan adalah awal dari kesuksesan. Itu adalah prinsip dari orang sukses, seperti Itachi.
"Mungkin aku akan dapat ide nanti setelah sampai disana."
.
.
.
Pintu lift itu terbuka, dan Itachi langsung saja melesak keluar lalu berjalan menuju ke parkir area untuk menemukan mobilnya yang tak kalah mewah dengan milik Sasuke. Mobil itulah, yang membuat Deidara tergila-gila pada Itachi.
"Kirigakure, aku datang."
Setelah memakai kacamata hitamnya, Itachi segera menyalan mesin mobil, lalu menginjak pedal gas dan mengemudi menuju ke Kirigakure. Misi penjemputan Naruto, dimulai.
.
.
.
Sementara itu, Naruto terlihat sangat sibuk di kebun stroberi milik Iruka. Sesuai perjanjian, Naruto sudah bisa bekerja di kebun milik Iruka untuk menambah penghasilannya. Walau Naruto bekerja di lahan milik Iruka, bukan berarti Naruto akan mengabaikan kebunnya sendiri. Tidak, itu salah. Naruto membagi waktu antara kebunnya dan kebun milik Iruka. Menejemen waktu itu penting!
"Semangat masa muda, Naruto!!"
"Yosh!!"
.
.
.
Pria berbaju hijau ketat itu dengan semangat yang membara memberi semangat pada Naruto yang baru bekerja pada hari ini. Namanya, Maito Gai. Mandor dengan pangkat tertinggi di kebun Iruka. Gai dipercaya Iruka dan Kakashi untuk memimpin para pekerja yang ada di kebun untuk merawat stroberi-stroberi itu sepenub hati.
"Saatnya panen, hihihi."
Naruto terkikik girang sambil mengusap-usapkan telapak tangannya. Salah satu kebun Iruka panen hari ini. Itu tandanya, Naruto harus memetik buah-buah stroberi yang sudah masak. Saat panen adalah hal yang paling menyenangkan.
.
.
.
Terlihat beberapa pekerja sedang memilih lalu memetik stroberi yang sudah benar-benar masak. Meletakkannya ke dalam keranjang buah yang mereka bawa, dan menatanya serapi mungkin. Memang harus ditata rapi, agar buah stroberi ini tidak lecet hingga tak harus mengurangi kualitasnya saat dijual nanti.
.
.
.
"Panen ya."
Dari kejauhan, Itachi rupanya sudah sampai di Kirigakure. Sendirinya masih di dalam mobil mewahnya. Mengamati keadaan luar dari balik kaca mobilnya. Banyak petani yang membawa keranjang buah, tandanya sedang ada kebun yang panen disini.
"Lalu, dimana yang namanya Uzumaki Naruto?"
Itachi kembali menginjak pedal gasnya, memarkirkan mobilnya di tempat seadanya. Asal tidak menghalangi jalan, itu dirasa sudah cukup.
.
.
.
Itachi dengan elegannya keluar mobil. Merapikan jasnya, lalu melepas kacamata hitamnya. Semilir angin memberi efek tersendiri bagi Itachi yang terkadang overpede saat sendiri.
"Aku mengagumkan." Gumamnya.
Sejujurnya, para Uchiha di keluarga Fugaku memiliki sisi narsis tersendiri
Yang hanya muncul saat mereka bercermin sendiri atau sedang berada dalam posisi sendirian yang lainnya. Saat seperti itu, jiwa-jiwa narsis para Uchiha akan bermunculan.
.
.
.
Itachi berjalan, menuju ke kebun yang ada banyak pekerjanya. Barang kali salah satu dari mereka ada yang kenal dengan Uzumaki Naruto. Dan membantunya untuk menemukan anak itu secepat mungkin.
Melihat seluruh petani yang sibuk, Itachi jadi sedikit canggung untuk mengganggu mereka sejenak. Ada perasaan tidak enak jika menganggu orang yang bekerja.
Mata hitam Itachi kembali menelisik, mencari seseorang yang sedang tidak terlalu sibuk saat ini. Hanya untuk sekedar ditanya saja, tidak lebih.
"Nah, itu dia."
.
.
.
Itachi menghampiri seorang gadis petani yang berada di pinggir kebun. Nampaknya gadis itu sedang istirahat sebentar, mungkin bisa untuk sekedar ditanya-tanya.
"Permisi?"
"Ya? Wwooaahhh~"
"Hah?"
Itachi cengoh saat dirinya melihat ekspresi gadis petani di depannya ini. Mata berbinar dengan mulut menganga, seakan tak pernah makhluk setampan Itachi sebelumnya.
"Maaf Nona. Bolehlah aku bertanya padamu?" Tanya Itachi yang berusaha mengembalikan kesadaran si gadis.
"Boleh!!!"
.
.
.
Setetes keringat muncul di pelipis Itachi. Gadis ini berteriak begitu keras dan sangat antusias saat berbicara dengannya. Sungguh, ini menggelikan.
"Apa Anda kenal yang namanya Uzumaki Naruto?"
"Ee? Naruto?"
"Iya. Naruto. Orangnya berambut pirang."
"Umm.. sebentar."
Gadis itu nampak berpikir sejenak. Mengingat apakah dia kenal yang namanya Naruto atau tidak.
"Ohh! Aku kenal. Itu, disana!"
.
.
.
"Itu! Itu Naruto!"
Gadis itu menunjuk heboh jauh di depan sana. Itachi sampai menyipitkan matanya demi memperjelas penglihatannya. Pasalnya lokasi yang di tunjuk gadis ini cukup jauh.
"Yang rambutnya pirang kan? Kesana saja. Naruto ada disana."
"Apa tidak masalah jika aku menyusul kesana?"
"Tidak. Silahkan saja." Ucap gadis itu sembari tersenyum ramah. Manis sekali.
"Ah, baiklah. Terima kasih, Nona."
"Sama-sama."
Setelah sekilas membalas senyuman gadis itu, Itachi pun berjalan menuju kolasi yang dimaksud. Di ujung kebun, memang ada sosok pirang. Semoga itu benar Naruto.
.
.
.
Itachi berjalan menyusuri kebun dengan sepatu kantornya yang kelewat mengkilap. Bahkan kau sampai bisa berkaca di sepatu Itachi.
"Seharusnya aku bawa sepatu ganti tadi."
Itachi sedikit menyesal karena telah mengorbankan sepatu mahalnya hari ini. Ini sepatu kesayangannya, hadiah dari Deidara saat ulang tahunnya lalu. Dan hari ini, sepatu ini tak lagi sekinclong biasanya.
"Astaga!" Gerutu Itachi lagi.
Kali ini sepatunya terkena tanah basah, sungguh disayangkan.
.
.
.
Itachi memutuskan untuk berhenti dulu, padahal sebentar lagi sampai. Dirinya jongkok sejenak, untuk sedikit membersihkan sepatunya dari tanah basah yang dengan beraninya mengotori sepatunya.
"Seharusnya, Anda tidak memakai sepatu seperti itu di tempat seperti ini, Tuan."
"Hm?"
Itachi mendongak, melihat siapa yang bicara padanya sesopan ini. Ini bukan kantornya, mustahil jika ada yang bicara seformal ini padanha sekarang.
"Kau.."
Sontak Itachi berdiri setrlah melihat sosok pirang yang dicarinya justru sudah berdiri di hadapannya.
"...Uzumaki Naruto?" Lanjut Itachi.
.
.
.
Naruto tercengang, bagaimana bisa pria kantoran ini tahu namanya. Apa jangan-jangan, pria ini mencarinya untuk menagih hutang? Duh, jangan sampai. Karena Naruto belum gajian.
"Kau tahu namaku?"
"Ah tentu saja.."
Itachi tersenyum, menarik tangan Naruto lalu mengajaknya berjabat tangan.
"...aku Itachi Uchiha."
"Uchiha?" Ulang Naruto dengan mata melebar.
"Iya, Uchiha."
"Maafkan aku, tolong jangan tagih hutangnya sekarang. Aku belum gajian dattebayo!"
.
.
.
Itachi tak mengerti, ada apa dengan anak ini? Hutang? Hutang apa? Itachi kesini kan hukan untuk menagih hutang, melainkan untuk mencari dirinya agar ikut bersamanya.
"Saya mohon, beri saya waktu sedikit lagi! Saya berjanji akan segera mencicilnya, dattebayo!"
Naruto masih membungkukkan badannya di depan Itachi. Berusaha menjelaskan keadaannya sekarang.
'Hutang apa?' Batin Itachi.
Sepertinya, Itachi tidak sadar bahwa ada kedalah pahaman disini. Miskomunikasi antara Naruto dan dirinya.
.
.
.
Naruto menganggap kedatangan Itachi adalah untuk menagih hutang, memang ini sudah kelewat sehari dari jatuh tempo tanggal pembayaran. Dan Naruto tahu itu karena dirinya belum membayar hutang itu bulan ini, maka dari itu dalam otak Naruto sekarang, jika ada orang Uchiha kemadi menemuinya, itu artinha dirinya sedang di tagih hutang.
'Oh, benar juga. Sekarang aku ingat.'
Itachi mengangguk paham, alasan Naruto panik saat melihatnya adalah masalah hutangnya.
"Begini Naruto, aku ada perlu denganmu. Dan ini bukan masalah hutang keluargamu. Bisa kita bicara di tempat lain?"
"Hal lain? Tentang apa?"
"Aku akan memberitahumu nanti. Kita bicara saja di rumahmu, kalau boleh."
"Oh! Tentu saja boleh, dattebayo! Tunggu sebentar, aku akan ijin pada Gai."
"Tentu."
.
.
.
Naruto berlari menghampiri Gai yang masih dengan semangat membara memetik stroberi yang sudah masak lalu memasukkannya ke dalam keranjang.
Dari kejauhan, Itachi melihat Naruto sesekali menunjuk dirinya sambil berbicara pada pria beralis tebal itu. Dan sepertinya, Naruto mendapatkan ijinnya. Terbukti dari Naruto yang datang padanya dengan wajah yang ceria.
"Aku sudah dapat ijin, dattebayo."
"Baiklah. Dimana rumahmu? Apa jauh? Kalau jauh kita bisa pakai mobilku."
"Tidak-tidak. Hanya sepuluh menit berjalan kaki."
"Baiklah."
.
.
.
Naruto dan Itachi lantas berjalan beriringan menuju rumah Naruto. Selama perjalanan, Itachi bertanya hal-hal ringan pada Naruto. Sama sekali tak ingin membicarakan tujuan sebenarnya dirinya kemari dan menemui Naruto. Bersyukur Naruto orang yang fleksibel dan friendly, hingga memudahkan Itachi untuk mengobrol berusaha akrab dengan Naruto.
.
.
.
"Nah, masuklah dattebayo."
"Permisi~"
"Tunggu sebentar. Aku aku akan buatkan minuman."
Naruto berlari menuju dapur rumahnya. Membuatkan teh untuk Itachi yang bertamu di rumahnya.
Sementara Naruto membuat minum, Itachi melihat keadaan sekitar rumah Naruto. Duduk di ruang tamu sederhana, kedua mata Itachi melihat ada beberapa foto yang terpajang rapi di dinding.
'Tuan dan Nyonya Uzumaki.' Batin Itachi saat melihat foto Minato dan Kushina yang sedang tersenyum.
'Aku tak menyangka mereka akan berpulang secepat ini.'
.
.
.
"Maaf membuatmu menunggu lama, Itachi-san."
"Santai saja."
Naruto meletakkan dua gelas teh itu di meja ruang tamu. Satu untuk dirinya, satu untuk Itachi. Itu bukan teh mahal yang biasa Itachi minum. Iti hanya teh hijau hangat biasa yang Naruto buat sepenuh hati yang tulus.
"Jadi, ada apa?" Tanya Naruto.
Dirinya sudah duduk di depan Itachi, meja tamu itu berada diantara mereka berdua.
"Kau sepertinya bukan tipe orang yang suka basa-basi ya, Naruto."
"Sejujurnya, ini agak aneh bagiku. Aku sangat penasaran dattebayo."
.
.
.
Itachi menarik satu tarikan napas panjang. Sudah saatnya Dia menyampailan maksud kedatangannya kemari dan menemui Naruto.
"Baiklah, Naruto. Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan disini. Aku mohon pengertiannya, jangan salah paham."
Naruto pun mengangguk sebagai jawaban, dirinya sudah bersiap untuk mendengarkan Itachi.
.
.
.
"Perihal hutang piutang diantara keluarga kita, kedua orang tuamu sudah memberikan jaminan pada kami jika saja mereka meninggal dunia."
.
.
.
"Dan, kedatanganku kemari, untuk mengambil jaminan itu."
Alis Naruto bertaut. Jaminan apa yang Itachi maksud. Selama orang tuanya masih hidup, memang Naruto diberi tahu soal hutang mereka. Tapi, Naruto sama sekali tidak diberi tahu perihal apapun soal jaminan yang telah mereka berikan pada Keluarga Uchiha.
"Jaminan apa yang kau maksud itu, Itachi-san?"
.
.
.
"Jaminan itu adalah kau, Uzumaki Naruto."
.
.
.
.
.
NB : Mohon maaf apabila masih ada typo dalam penulisan fanfiction ini. Saya akan berusaha untuk lebih teliti lagi ke depannya. Terima kasih!

STRAWBERRY UNDERAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang