STRAWBERRY UNDERAGE (Chapter 02)

8.7K 727 90
                                    

"APA!!?"
Sasuke memekik keras mendengar kenyataan itu dari mulut Ayahnya. Apa-apaan itu? Hei, Sasuke sudah rela dengan ikhlas dinikahkan dengan pemuda dari negeri antah berantah nan miskin. Kenapa masih ada satu kenyataan pahit ini yang harus Sasuke terima demi mendapatkan semua hartanya?
.
.
.
"Pelankan suaramu, Sasuke."
"Tidak! Ayah! Jangan main-main padaku."
Fugaku kembali mengangkat sebelah alisnya sekarang. Baru kali ini Dia melihat putra bungsunya berekspresi sampai seperti ini.
"Ayah tidak main-main padamu."
"Jangan terbawa emosi, Ayah." Peringat Itachi pada Ayahnya.
Fugaku pun berdiri dari sofa empuknya. Sambil melipat kedua tangannya di dada, Fugaku memandang Sasuke datar.
"Lalu apa maksudnya itu 17 tahun?"
"Anak dari keluarga itu, usia nya memang baru 17 tahun. Lalu apa masalahnya?"
"Apa masalahnya? Jelas itu masalahnya, Ayah! Apa kata teman-temanku nanti saat mereka tahu bahwa Sasuke Uchiha ini dinikahkan dengan remaja 17 tahun dari negeri antah berantah yang miskin!!!"
.
.
.
Fugaku melebarkan kedua matanya. Jujur saja ingin rasanya tertawa terbahak-bahak sekarang. Tapi jangan, dia Uchiha. Uchiha harus jaga imej. Fugaku tak menyangka bahwa putra bungsunya ini sangat mementingkan harga dirinya yang setinggi langit dan tak bisa ditawar itu.
"Holyshit! Aku pasti akan jadi bahan gunjingan."
Sasuke memijit pangkal hidungnya. Lalu beralih untuk memegang dagunya, dan berjalan mondar-mandir di depan Ayahnya.
Kepala Sasuke meliar, bayangan-bayang akan pemuda dekil dan jelek mulai bermunculan di kepala jeniusnya. Asal tahu saja, Sasuke itu anti sama yang namanya barang murahan dan miskin. Memang Sasuke sombong sejak lahir, tapi setidaknya dia memiliki paras yang tampan cenderung cantik. Jadi kesombongannya bisa sedikit dilebur dalam wajah rupawannya itu.
"Kau terlalu pesimis, Sasuke. Itu lah kenapa Ayah lebih memilih Kakakmu untuk menjalankan bisnis dari pada dirimu."
"Apa? Hello, Ayah!! Jelas saja Ayah memilih Niisan! Lihat Dia! Dia sempurna! Terlalu sempurna hingga Dia bisa memilih lelaki mana yang akan Dia jadikan istri! Sedangkan aku? Aku harus menanggung kutukan ini!"
"Ini bukan kutukan, Sasuke."
.
.
.
Sasuke menautkan kedua alisnya saat obyek yang baru saja dia bandingkan di depan Ayahnya datang menghampiri. Entah kenapa suasana mansion Uchiha malam ini menjadi gaduh sekali.
"Kau hanya perlu untuk bertemu dengan pemuda itu dulu. Niisan yakin kau akan menyukainya." Ucap Itachi sambil tersenyum tulus pada adik kesayangannya.
"Aku yakin dia pasti anak yang dekil, jelek, dan bau."
"Pppfttt!!"
Fugaku tak kuasa menahan tawa saat Sasuke menjelaskan penerawangannya tentang putra tunggal Minato itu.
"Tidak. Dia tidak seperti itu, Sasuke."
Itachi yang mati-matian juga  menahan tawa itu masih berusaha meyakinkan adik tersayangnya itu bahwa pemikirannya itu terlalu berlebihan nan ekstrem. Itu justru membuatnya khawatir.
"Diamlah, Niisan. Jangan sok tahu padaku."
"Niisan tidak sok tahu, Sasuke. Niisan berani jamin, kau akan menyukainya."
.
.
.
Sasuke melotot tajam ke arah Itachi. Lalu beralih sekilas untuk ikut memelototi Fugaku yang hampir lepas kendali karena menahan tawanya. Sepertinya Sasuke benar-benar sudah dikuasai oleh pemikiran pesimisnya sekarang. Hingga tak disangka-sangka, Sasuke yang sedang melotot itu terlihat semakin ngeri dengan background api menyala-nyala dan petir yang menyambar disana-sini. Oke, itu mengerikan.
"Aku sama sekali tidak akan menyukai apapun yang ada kaitannya dengan kata miskin." Ucap Sasuke dengan penuh penekanan di setiap katanya.
.
.
.
"Hmm?"
Itachi mengerjabkan kedua matanya saat melihat Sasuke berjalan denga  langkah yang penuh emosi meninggalkannya dan sang ayah di ruangan itu.
"Adikmu sungguh sangat manja."
"Iya, Dia adik kecilku yang manis." Ucap Itachi menimpali kalimat Ayahnya. Itachi sangat menyayangi Sasuke.
"Tapi Ayah yakin, Sasuke akan menyukai pemuda itu."
"Tentu saja. Itu akan menjadi hal pertama bagi Sasuke untuk menyukai hal yang berbau miskin dalam hidupnya."
.
.
.
Itachi dan Fugaku tersenyum penuh wibawa saat melihat Sasuke membuka pintu kamarnya yang ada di lantai 2 dengan kasar, kemudian menutupkan tak kalah kasar juga.
"Ayah hanya ingin Adik mu sadar, bahwa harta bukanlah segalanya."
"Ayah benar. Lagi pula, Naruto tidaklah seburuk apa yang ada dalam pikiran Sasuke. Justru sebaliknya. Aku benarkan, Ayah?"
"Kau memang Putraku, Itachi. Pemikiran kita sama. Ayo, kita juga butuh istirahat."
Fugaku menepuk-nepuk bahu Itachi, pertanda bahwa dirinya bangga memiliki anak seperti Itachi. Dan Itachi mengangguk lalu berpisah dengan Ayahnya untuk menuju ke kamarnya dan bergegas untuk tidur. Ini sudah sangat larut. Tentu mereka tidak ingin membuat Nyonya Mikoto marah besar karena mereka semua belum tidur di malam yang sudah selarut ini.
.
.
.
Fugaku sangat menyayangi Sasuke. Bahkan lebih menyayangi Sasuke daripada Itachi. Tapi Fugaku jarang memperlihatkan rasa sayangnya itu langsung pada Sasuke, hingga membuat Sasuke berpikiran bahwa Ayahnya lebih menyayangi Itachi ketimbang dirinya.
Fugaku paham betul seperti apa Sasuke itu. Jadi saat dia mendengar bahwa Minato tewas berserta istrinya, Fugaku merasa sedih sekaligus senang dalam waktu yang bersamaan.
.
.
.
Sedihnya adalah, Fugaku merasa kehilangan rekannya. Meski Dia hanya mengenal Minato sebagai nasabahnya saja, tapi entah kenapa rasanya Fugaku menganggap Minato sebagai rekannya. Mungkin karena sikap Minato yang ramah, hingga membuat Fugaku menjadi simpati padanya.
.
.
.
Sedangkan senangnya, saat mereka meninggal, Fugaku bisa mengambil jaminannya. Yaitu putra dari Minato, Uzumaki Naruto.
Saat Naruto lahir, Minato tahu bahwa dirinya akan sangat kesulitan untuk membayar hutangnya nanti. Jadi, Minato berpikiran untuk menjadikan Naruto sebagai jaminan. Maksudnya adalah, menjaminkan tenaga Naruto untuk dipergunakan di bisnis keluarga Uchiha.
Ketika Minato tidak bisa membayar hutangnya, maka Naruto lah yang akan membayarnya dengan bekerja di tempat keluarga Uchiha entah sebagai apa. Asalkan hasilnya bisa dibagi dua, untuk membayar hutang dan hidup Naruto.
Mendengar hal itu, Fugaku tanpa pikir panjang menyetujuinya. Fugaku berharap banyak pada Naruto saat itu. Fugaku berharap, mungkin Dia bisa memperkerjakan Naruto di salah satu cabang bank nya, dan mencarikan posisi yang sesuai dengan Naruto nantinya. Lalu gajinya akan dibagi dua sesuai perjanjian.
.
.
.
Tapi sebulan sebelum Minato dan Kushina meninggal, Fugaku sempat berkunjung ke Kirigakure. Tujuannya adalah mengecek bank yang ada disana. Apakah berjalan lancar atau tidak. Setelah selesai, Fugaku teringat akan Minato dan Kushina yang memiliki kebun stroberi. Sebelum Dia pulang ke Konoha, Fugaku memutuskan untuk mampir sejenak barang kali untuk membeli stroberi sebagai oleh-oleh untuk Mikoto di rumah.
.
.
.
(Flashback)
"Minato-san?"
Fugaku memanggil Minato yang sedang berjongkok di depan sana untuk membersihkan daun kering di lahannya itu.
"Fugaku-san!!"
Teriakan Minato membuat Kushina reflek menoleh. Dan dia tak kalah terkejut saat melihat siapa sosok berjas rapi itu berdiri di dekat lahannya.
"Fugaku-san, ada apa? Maaf, bulan ini saya belum panen. Tapi akan saya usahakan untuk membayar hutangnya."
"Tolong beri kami waktu, Fugaku-san." Tambah Kushina.
"Eh, tidak-tidak. Saya kesini, hanya untuk membeli sedikit stroberi untuk Mikoto. Barang kali ada yang sudah bisa di panen meski sedikit."
.
.
.
Kushina dan Minato pun terkejut. Fugaku kesini untuk membeli stroberi? Serius? Padahal ini sudah jatuh tempo pembayaran. Oke, ini sedikit aneh.
"Jadi, apa ada stroberi yang bisa ku beli?"
"EHH!! TENTU SAJA, DATTEBANE!!"
Dengan secepat kilat, Kushina segera berlari untuk mengambil keranjang buah kecil yang tadi dia bawa. Lalu dengan gesit memetik stroberi yang sudah layak untuk di panen.
.
.
.
"Minato, kau tidak perlu cemaskan soal hutangmu. Aku percaya kau akan melunasinya. Karena menurutku, kau orang yang bertanggung jawab."
"Saya hanya berusaha memberi penjelasan terlebih dulu agar tidak ada kesalah pahaman disini, Fugaku-san."
Mendengar jawaban Minato yang sangat jujur, Fugaku tersenyum untuk yang pertama kalinya di luar mansionnya. Kedua mata Fugaku kemudian beralih untuk melihat lebih menyeluruh ke area kebun ini. Dan di ujung sana, ada sosok pirang yang menarik mata Fugaku.
.
.
.
"Itu putramu?" Tanya Fugaku sambil menunjuk Naruto yang sedang istirahat.
"Ya, itu Naruto." Jawab Minato riang.
"Tak kusangka, Naruto tumbuh secepat itu."
"Aku juga. Dia anak yang sangat bersemangat."
Fugaku hanya tersenyum saat Minato memandang Naruto diujung sana. Postur tubuh yang atletis berhasil Naruto dapatkan di usia semuda itu adalah karena setiap hari sepulang sekolah dia selalu giat melakukan berbagai aktifitas di kebun stroberinya. Hingga tanpa terasa, otot-otot itu terbentuk dengan sendirinya. Siapa yang menyangka bahwa Naruto masih berusia sangat muda dengan badan yang se-macho itu.
'Kalau seperti ini, Naruto akan menjadi sosok yang berarti untuk Sasuke-ku nanti.'
.
.
.
"Ne! Ini stroberi untuk Nyonya Mikoto, Fugaku-san!"
"Ambilah, Fugaku-san! Berikan ini untuk Nyonya Mikoto."
"Berapa semuanya?"
"TIDAK USAH BAYAR, DATTEBANE!!"
Fugaku sedikit canggung saat mendengar Kushina dengan lantang berteriak bahwa stroberi itu gratis untuknya. Fugaku mendapat hal gratis? Ini seperti salju di padang pasir.
"Terima lah, saya mohon. Semoga Anda menyukai stroberi dari kebun kami!" Kata Minato sambil menyodorkan sekeranjang stroberi segar itu pada Fugaku.
"Sungguh? Kenapa aku tidak perlu membayarnya?" Tanya Fugaku.
"Karena tanpa Anda, Naruto tidak akan pernah lahir di dunia. Saya sangat berterima kasih pada Anda. Buah stroberi ini, sebagai perumpamaannya. Walau kami sudah berusaha untuk merawatnya, tapi rasanya akan tetap masam. Namun meski begitu, rasa masam pada buah stroberi bukanlah kutukan." Kata Minato.
"Lalu apa?"
"Rasa masam itu akan menjelaskan pada kita, bahwa meski kehidupan ini terasa begitu menyiksa untuk dilalui, semuanya masih bisa dinikmati. Dan warna merah pada buah stroberi ini, akan selalu mampu memberi semangat dan keberanian bagi kami untuk tetap berjuang menghadapi hidup ini. Stroberi, akan selalu membawa kegembiraan dan cinta."
.
.
.
Fugaku tersentak saat mendengar filososi stroberi dari Minato. Tak menyangka, bahwa orang kelas bawah seperti Minato memiliki pemikiran yang begitu luas hanya untuk sebuah stroberi.
'Ini teguran dari Tuhan untukku yang selalu bersikap tinggi.'
Batin Fugaku terkekeh sekarang. Entah kenapa rasanya otak jeniusnya seperti langsung dikalahkan oleh Minato dengan mudahnya.
"Terima kasih." Ucap Fugaku sambil menerima keranjang stroberi itu.
"Sama-sama." Jawab Kushina riang.
"Aku yakin Mikoto pasti akan sangat senang. Aku permisi."
"Hati-hati dijalan, dattebane!"
Kushina melambaikan tangannya pada Fugaku yang mulai berjalan menuju mobil mewahnya. Berbagi itu menyenangkan. Hidup tak selalu soal cinta dan harta. Semua bisa bahagia dengan cara yang sederhana.
.
.
.
Fugaku kemudian menyalakan mesin mobilnya, dan mulai melajukannya. Hari ini, dia mendapat pelajaran baru bagi seorang Ayah. Dirinya harus bisa mendidik anak-anaknya tak hanya untuk pandai berbisnis. Tapi juga untuk saling menyayangi.
"Minato, ku harap Naruto bisa mengajarkan hal yang sama pada Sasuke nanti. Aku berharap banyak pada putramu."
(Flashback End)
.
.
.
Pagi hari pun tiba. Matahari menyapa dunia dengan cerianya. Tak pantas jika kita sebagai manusia justru mengeluh atas seluruh rahmat yang sudah di berikan sepagi ini.
"Yosh!! Aku harus bersemangat dattebayo!"
Naruto mengepalkan kedua tangannya dan mengangkatnya ke udara. Sebagai bentuk penyemangat untuk dirinya sendiri.
"Humm, aku masih belum boleh bekerja hari ini. Jadi aku harus apa ya?"
Naruto menggaruk kepalanya bingung. Hari ini, pasti Iruka sedang mengurus pengunduran dirinya di sekolah. Iruka juga melarang Naruto untuk bekerja hari ini. Padahal, Naruto sedang semangat-semangatnya hari ini.
"Aha! Aku akan memeriksa kebun Ayah dan Ibu, dattebayo!"
.
.
.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, Naruto segera bergegas menuju kebunnya. Siapa tahu sudah selesai di bersihkan dan bisa digunakan. Kan lumayan untuk menambah penghasilan Naruto.
.
.
.
TAP!
"WAAH!!! SUDAH BERSIH!!"
Naruto berteriak saat melihat kebun kecilnya sudah kembali seperti sedia kala. Dia terpana bahagia.
"Hihihi! Para relawan itu hebat sekali! Bahkan mereka menanami kebun ku dengan stroberi. Ku pikir mereka hanya akan membersihkannya. Tapi ternyata mereka mengembalikannya semua seperti sedia kala."
Naruto girang setengah hidup saat melihat kebun kecilnya kembali utuh seakan tak terjadi apa-apa. Relawan itu bekerja dengan sangat baik dan sigap. Hingga seluruh kebun yang tertimbun tanah bisa segera kembali dengan cepat seperti sedia kala dalam waktu yang singkat.
.
.
.
Naruto masih tersenyum cerah saat dirinya berada di pinggir kebunnya. Tangannya berkacak pinggang, seakan menantang dunia mana yang berani menghakiminya sekarang. Kesedihan, justru membuat Naruto menjadi semakin tangguh. Tekadnya yang sekeras baja, semakin menjadi-jadi. Naruto akan buktikan, bahwa dia bisa bertahan hidup meski sebatang kara.
"Saatnya bertarung, dattebayo!!"
.
.
.
Sementara itu, di mansion Uchiha. Terlihat Sasuke dengan tampang judes sedang mendengarkan Mikoto yang mengoceh tentang Desa Kiri padanya. Mikoto berceloteh, bahwa Kirigakure adalah desa terindah yang ada di Konoha. Kebun stroberi dimana-mana, udara sejuk, dan pemandangan yang asri.
"Ibu, bisakah Ibu berhenti menceritakan desa miskin itu?"
"Kirigakure bukan desa miskin, Sasuke."
"Lalu apa?"
"Kirigakure itu desa stroberi. Lagipula, saat kau menikah dengan pemuda itu, kau kan akan tinggal disana. Hihihi."
Sasuke sontak menghentikan kegiatan mengiris timunnya sekarang. Sejak tadi, Sasuke diminta Mikoto untuk membantunya di dapur. Salah satunya, mengiris timun ini.
.
.
.
"Apa Ibu bilang?"
"Setiap wanita yang sudah menikah. Bukankah mereka akan ikut suaminya, Sasuke?"
Lagi-lagi Sasuke menatap horor timun yang sedang dia potong ini. Dia berdiri membelakangi ibunya, jadi Mikoto tidak tahu sehoror apa muka Sasuke sekarang.
"Ibu! Aku ini laki-laki!!" Protes Sasuke.
"Ups! Tapi pemuda itu jauh lebih laki-laki daripada dirimu, Sasuke."
Sasuke merinding saat mendengar Ibunya terkikik kegirangan. Tangannya yang sedang menggenggam timun itu nampak mengeluarkan uratnya, Sasuke menahan diri.
"Brengsek."
.
.
.
TAK!
"Astaga!"
Itachi memekik kaget saat dia secara tak sengaja melihat Sasuke dengan sangat ganas memotong timun itu. Entah kenapa dia merasa ngilu sendiri dengan tingkah Sasuke yang sedang mengiris-iris timun di dapur.
"Sepertinya, aku lewat disaat yang tidak tepat."
Itachi pun segera menyingkir dari pintu dapur, karena tidak ingin membuat Adik kecilnya semakin ngilu karena melihat tingkah Sasuke yang brutal saat mengiris timun itu di depan matanya.
.
.
.
Mikoto pun selesai memasak, dan akhirnya Sasuke terbebas dari belenggu dongeng Ibunya yang membicarakan Kirigakure tanpa jeda.
"Ibu, aku mau pergi."
"Um? Kemana Sasuke-kun?"
"Kepalaku pusing. Aku ingin jalan-jalan sebentar."
"Kau ada uang?"
"Masih ada sisa kemarin."
"Baiklah. Hati-hati ya. Tidak makan dulu?"
Sasuke hanya menggeleng. Kemudian melepas apronnya dan bergegas meninggalkan dapur. Sasuke butuh refreshing. Kepalanya terasa habis ditimpa batu. Rasanya pusing sekali.
.
.
.
Mobil Sasuke melaju stabil, entah akan kemana. Rasanya jengah saja jika di rumah terus menerus. Sasuke ingin hiburan, tapi uangnya tidak banyak. Sasuke juga sedang tidak lapar ataupun haus, ke restoran mahal pun juga percuma.
"...disana ada banyak kebun stroberi yang belum pernah kau lihat, Sasuke-kun."
Sasuke menggumankan kalimat Ibunya tadi. Tiba-tiba teringat akan Kirigakure disaat seperti ini tentunya sangat mengganggu pikiran Sasuke yang sedang menyetir.
"Memangnya seindah apa desa itu?"
Hati kecil Sasuke mulai penasaran. Kalimat Ibunya seakan berhasil memberinya sugesti dan doringan yang kuat untuk dirinya pergi kesana.
"Tak ada salahnya bukan, jika aku melihat desa miskin itu sebentar."
.
.
.
Sasuke kemudian melakukan mobilnya menuju ke daerah pegunungan di Konoha. Menuju tempat dimana Desa Kiri berada. Berhubung uang Sasuke menipis saat ini, jadi untuk melepas penatnya kali ini, Sasuke memilih untuk membuktikan perkataan Ibunya tadi.
.
.
.
Setelah dua jam berkendara ugal-ugalan, Sasuke pun sampai di desa yang dimaksudkan Ibunya. Sasuke memelankan laju mobilnya saat melewati banyak kebun yang luas di kanan kirinya.
"Wow."
Sasuke takjub saat jendela mobil nya dia buka, dan Sasuke dapat dengan jelas melihat pemandangan yang tersuguhkan gratis di depan matanya.
"Konoha memiliki desa seperti ini?"
Entah takjub atau mengejek, Sasuke masih dengan norak nya memperhatikan alam sekitarnya. Bahkan dia tidak sadar, bahwa sejak tadi dia menjadi pusat perhatian para petani yang ada disana. Mereka takjub melihat mobil Sasuke yang begitu kinclong dan mulus serta mewah melewati mereka.
.
.
.
SET!
Sasuke menghentikan mobilnya di sebuah lahan kecil di tengah perkebunan stroberi. Setelah memastikan dirinya keren, Sasuke pun segera turun dari mobilnya dengan gaya sesombong mungkin. Jika bisa sih, diiringi lagunya Simple Plan yang berjudul Me Against the World. Biar kesannya kaya mafia gitu.
.
.
.
BLAAM!!
Sasuke menutup pintu mobilnya. Merapikan baju mahalnya dan melirik ke kanan dan kiri.
"Oke, disini memang dingin. Padahal ada sinar matahari."
Setelah mengendikkan bahu, Sasuke berjalan menyusuri jalan utama di depannya itu dengan berjalan kaki.
"Biasa saja."
Komen Sasuke mulai bosan. Kakinya tak lagi berjalan, kini justru terhenti di dekat salah satu lahan stroberi kecil dengan seorang petani stroberi di tengah sana.
.
.
.
Sasuke menaikkan sebelah alisnya. Penasaran saja sih. Sasuke dengan sedikit jijik melangkah untuk memasuki kebun kecil itu tanpa ijin. Sasuke penasaran, petani itu sedang melakukan apa di tengah kebun.
.
.
.
"Kau sedang apa?"
"EEH!!?"
Petani itu terkejut bukan main saat mendengar suara yang sangat asing di telinganya. Dia sedang asyik jongkok sambil membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar sana, dan tiba-tiba datang pemuda berbaju serba hitam menyapanya.
"Siapa kau?"
"Kenapa balik bertanya? Dasar, Dobe."
Dengan cueknya, Sasuke berbalik badan. Dan hendak meninggalkan petani pirang itu.
"Hoi!! Berhenti, Teme!!"
.
.
.
TWICHT!!
Sebuah perempatan muncul di pelipis Sasuke. Langkahnya terhenti saat telinganya menangkap sebuah panggilan kurang ajar yang ditujukan untuknya.
"Teme??" Desis Sasuke. Dia membalikkan badannya, dan bersiap untuk marah.
"Siapa yang kau panggil Te---huh??"
"Apa?"
.
.
.
Sasuke terdiam seketika saat melihat sosok di depannya itu berdiri. Perasaan tadi saat jongkok, petani itu terlihat biasa saja, kenapa saat berdiri di hadapannya kini berubah sangat drastis dan begitu hot?
"Hoi, kau ini kenapa dattebayo?"
Petani yang tak lain tak bukan adalah Naruto itu dibuat bingung. Pasalnya, Sasuke hanya terdiam sambil menatapnya saja.
"Hei? Kau baik-baik saja?"
Sasuke semakin kicep saat Naruto mendekatkan wajahnya. Sasuke tergoda oleh postur tubuh Naruto.
"I-iya." Jawab Sasuke pada akhirnya.
"Kenapa diam saja kalau kau memang baik-baik saja?"
"Aku hanya terkejut."
"Terkejut, eh?"
.
.
.
Naruto menggaruk pipinya. Sebelah alisnya terangkat. Membuat pose berpikir. Itu justru membuat Sasuke menelan ludahnya paksa.
Petani berambut pirang, berkulit tan, dan berotot. Postur yang tinggi dan gagah, sungguh menggoda Sasuke.
'Dia tampan.' Batin Sasuke mulai ber-fangirl ria sekarang.
"Siapa namamu?" Tanya Naruto si petani. Tak lupa Naruto juga mengulurkan tangannya. Memeberi penawaran bagi Sasuke untuk berjabat tangan.
"Sasuke." Ucap si Tuan Muda sambil menerima tangan Naruto.
"Hanya Sasuke?"
.
.
.
Sasuke terdiam sejenak. Ragu untuk menyebutkan nama marganya pada orang asing. Bisa saja dia orang jahat. Saat Sasuke menyebutkan marganya, siapa tahu pemuda ini langsung menyandranya dan meminta tebusan.
"Iya. Hanya Sasuke."
"Naruto, dattebayo!"
"Hanya Naruto?" Tanya Sasuke.
"Um! Naruto."
Sasuke dengan cepat menarik tangannya dari acara jabat tangannya bersama Naruto. Pria ini menjengkelkan juga ternyata. Saat Sasuke tidak mau menyebut nama marganya, pria ini justru melakukan hal yang sama padanya.
.
.
.
"Sepertinya kau bukan orang sini."
"Memang. Orang berharga seperti ku mana mungkin tinggal di desa seperti ini."
Satu perempatan muncul di pelipis Naruto. Perkataan Sasuke barusan entah kenapa begitu menghinanya. Kesannya seperti meremehkan gitu.
"Memangnya kau siapa?"
"Aku? Aku adalah anak orang terkaya di kota. Sosialita mana yang tak kenal diriku."
'Astaga. Ada apa dengan orang ini?'
Naruto membatin cengoh saat mendengar Sasuke berceloteh trntang siapa dirinya. Siapa dirinya yang merupakan sosialita terkenal. Tentu itu bukanlah hal yang penting bagi Naruto.
"Bagaimana? Sudah tahu siapa diriku kan Dobe?"
.
.
.
Naruto hanya memandang Sasuke datar. Sedangkan Sasuke sudah kepedean sekarang. Sepertinya Sasuke sangat bangga sekali dengan title dirinya sebagai sosialita di kotanya.
"Tidak. Itu semua tidaklah penting bagiku. Ikut aku kemari, Teme."
"Hei!! Jangan seenaknya menarik tanganku, Dobe!!"
"Ck! Urusai!!"
Sasuke memasang ekspresi tak sukanya saat Naruto menarik tangannya dan memaksa dirinya untuk mengikuti kemana langkah kakinya. Tapi meski begitu, Sasuke sama sekali tak berniat untuk melepas atau bahkan meronta dari genggaman Naruto.
.
.
.
"Nah. Duduklah, dattebayo."
Naruto membawa Sasuke untuk duduk di rerumputan di bawah pohon yang rindang yang tumbuh tak jauh dari kebunnya.
"Tidak. Aku tidak akan sudi duduk di tempat kotor seperti ini."
Sasuke menolak mentah-mentah ajakan Naruto. Bahkan Sasuke sampai berpaling dan melipat kedua tangannya, memasang pose angkuh andalannya.
'Apa-apaan pria ini?'
.
.
.
Naruto mengacak rambutnya. Sasuke benar-benar membuat emosinya naik turun. Bahkan ini adalah pertemuan pertama mereka. Tapi Sasuke sudah bersikap sangat tidak baik pada Naruto.
Naruto menghela napas, memang apa salahnya duduk di bawah pohon?
"Hei, aku mengajakmu untuk duduk disini bukan tanpa alasan, Teme."
"Lalu?"
"Aku tahu, orang sepertimu tidak suka terkena sinar matahari barang hanya sebentar. Maka dari itu, aku mengajakmu kemari. Ke tempat yang teduh, dattebayo."
Sasuke sedikit terkejut saat mendengar perkataan Naruto. Di pertemuan pertamanya, Naruto sudah sangat perhatian padanya. Sasuke jadi sedikit merasa bersalah sekarang.
.
.
.
Naruto pun berdiri. Sepertinya Naruto tahu, bahwa Sasuke bukan tipe orang yang bisa ditaklukkan hanya dengan kata-kata saja. Melainkan juga harus dengan tindakan.
"Meski tempat ini kotor bagimu.."
Naruto menggantungkan kelimatnya, untuk berdiri dan berdiri di belakang Sasuke. Lalu tiba-tiba, tangan Naruto meraih pinggang Sasuke dan membisikkan sesuatu di telinga pria itu.
"...kau bisa duduk di pangkuanku."
.
.
.
.
.
To Be Continued.
NB : Mohon maaf apabila masih ada typo dalam penulisan fanfiction ini. Saya akan berusaha untuk lebih teliti lagi ke depannya. Terima kasih.

STRAWBERRY UNDERAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang