STRAWBERRY UNDERAGE (Chapter 06)

7.2K 579 35
                                    

"SASUKE!?"
.
.
.
"Na-naruto?"
Sasuke terkejut bukan main saat melihat siapa sosok yang meneriakkan namanya dengan begitu lantang.
Itu Naruto, si petani miskin dari Kirigakure yang tak sengaja Dia temukan saat iseng jalan-jalan di desa itu.
.
.
.
Sementara Naruto dan Sasuke masih saling menatap satu sama lain, Itachi juga sedang kebingungan rupanya. Beberapa kali Dia menatap Naruto dan Sasuke secara bergantian. Tak tahu harus berkata apa.
"Kalian saling mengenal? Sasuke-kun, kau kenal dengan Naruto-kun?"
Kali ini Mikoto angkat bicara. Karena hanya dirinya lah yang pertama kali sadar dari keterkejutan ini.
.
.
.
"I-iya."
"Aku mengenalnya." Kata Naruto seakan menyambung kalimat Sasuke. Mereka berdua masih saling menatap satu sama lain, dengan raut terkejut mereka dan hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Baiklah. Semuanya, sebaiknya kita duduk dulu. Lalu kita lanjutkan."
Fugaku memberi perintah, dan semua orang yang ada disana tentu saja menurut.
Semua keluarga Sasuke dan juga Naruto sudah duduk anteng.
.
.
.
'Apa ini artinya aku akan dinikahkan dengan Sasuke?'
Batin Naruto mulai berspekulasi. Setetes keringat kembali muncul di pelipisnya. Hatinya bergemuruh, entah bergemuruh bahagia atau apa. Naruto sendiri juga belum bisa menjelaskannya.
"Jadi, apa ada yang bisa jelaskan padaku disini tentang kalian berdua yang sudah saling mengenal?" Tanya Fugaku serius.
"Waktu itu, ketika aku pergi ke Kirigakure. Demi memuaskan rasa penasaranku akan perkataan Ibu tentang Kirigakure. Aku pun pergi kesana diam-diam."
Sasuke menjawab pertanyaan Fugaku. Karena jika bukan dirinya yang memulai penjelasan, lalu siapa lagi?
.
.
.
"Saat aku sedang melihat-lihat kebun stroberi, aku bertemu dengan Naruto."
Kalimat Sasuke terhenti, saat dirinya tak sengaja bertemu pandang dengan Naruto.
"Lalu kami berkenalan." Kata Naruto.
Seperti orang tak sadar, Naruto spontan menyambung kalimat Sasuke.
"Kami tidak menyebutkan marga masing-masing saat berkenalan." Kata Sasuke, kali ini disertai Sasuke yang membalas tatapan serius Naruto padanya.
"Jadi kami tidak tahu, bahwa kamilah yang akan dinikahkan. Meski kami saling kenal." Ucap Naruto mengakhiri penjelasan yang dibuka oleh Sasuke.
.
.
.
Setelah keduanya selesai menjelaskan, Fugaku menatap Naruto dan Sasuke secara bergantian. Si kuning berekspresi antara tercengang dan tak percaya. Si hitam berekspresi datar seperti biasanya. Sasuke memang minim ekspresi.
"Baiklah. Terima kasih sudah memberikan penjelasan. Ayah sudah membuat keputusan berdasarkan penjelasan kalian."
"Apa?" Ucap Naruto kaget.
Padahal mereka baru menjelaskan beberapa menit yang lalu, dan Fugaju sudah memiliki keputusan? Secepat itu kah Bapak ini membuat keputusan? Dia memang tipe orang yang buru-buru atau memang kelewat jenius untuk mempertimbangkan sesuatu sebaik mungkin? Entahlah, Nak!
.
.
.
"Dua hari lagi, pernikahan kalian akan segera dilakukan."
Semua orang minus Fugaku, membelalakkan mata mereka. Bahkan termasuk Sasuke.
"Ayah! Apa maksudnya ini, hah!?"
"Diam, Sasuke. Keputusan Ayah selalu mutlak. Ayah tidak suka dibantah."
Sasuke mendecih tak suka. Memang Dia tipe anak yang sedikit keras kepala, tapi tidak berani menentang keputusan Ayahnya. Sejujurnya, Sasuke itu anak yang penurut kok. Buktinya, Dia tidak berani menentang keputusan Ayahnya.
"Sudah diputuskan. Rapat keluarga, selesai."
.
.
.
Fugaku kemudian berdiri, berjalan santai meninggalkan ruangan itu. Setelah beberapa langkah, Mikoto pun segera menyusul Fugaku. Mungkin untuk berdiskusi lebih lanjut, atau bahkan memprotes sesuatu. Itachi masih terdiam disana bersama Naruto dan Sasuke yang sama-sama terdiam seribu bahasa.
"Jadi, apa pendapat kalian?" Tanya Itachi mencoba membuka suara.
"Saking terkejutnya, aku sampai tidak bisa bicara lebih banyak dattebayo." Jawab Naruto sambil menunduk, frustasi.
"Ayah sudah membuat keputusannya. Aku sarankan, kalian mulai saling beradaptasi satu sama lain mulai saat ini."
.
.
.
Itachi kemudian berdiri. Merapikan setelan jasnya. Tak lupa Dia juga sedikit merapikan rambut hitam panjangnya agar semakin menawan.
"Niisan mau kemana?"
"Tentu saja kembali ke kantor, Otouto."
"Ini sudah sore."
"Hanya untuk memastikan berkas yang sudah selesai Ayah kerjakan untukku saja kok."
Sasuke nampak sedikit cemberut. Meski dirinya sudah berkepala tiga dan Itachi berkepala empat, tapi Sasuke masih saja manja pada Kakaknya itu. Dan Itachi juga sangat tidak keberatan akan hal itu. Baginya Sasuke akan selalu menjadi Adik kecilnya.
"Aku permisi, Naruto." Pamit Itachi sambil tersenyum pada si pirang.
"Um!"
"Kakak berangkat dulu, Otouto."
.
.
.
Itachi pun melangkah meninggalkan ruangan itu. Membiarkan Sasuke dan Naruto berdua disana, duduk bersebrangan. Rumah ini kembali sepi seperti biasanya. Bahkan Naruto dan Sasuke saja juga hanya salimg bertatap mata dalam diam.
'Apa yang harus ku katakan padanya?' Batin Naruto.
Entah kenapa suasan menjadi canggung seperti ini. Padahal, dipertemuan mereka sebelumnya, mereka bisa saling bercanda satu sama lain. Bahkan tertawa bersama. Tapi sekarang, hanya untuk memberi salam saja rasanya sulit.
.
.
.
"Kebetulan yang luar biasa bukan?"
Sasuke memulai pembicaraan sambil menyenderkan punggung dibantalan sofa empuk itu.
"Ya. Aku tak menyangka akan ada kejadian seperti ini dattebayo."
Naruto menjeda kalimatnya sejenak untuk menunduk dan menggelengkan kepalanya sekilas.
"Ku kira aku akan--hei, mau kemana kau Sasuke?!"
Naruto spontan berdiri. Sasuke sudah berdiri lalu berjalan meninggalkannya disana tanpa permisi.
'Apa dia marah?'
Naruto masih terdiam di tempat. Dilihatnya punggung Sasuke yang semakin meninggalkannya sendiri.
'Atau jangan-jangan dia kecewa karena akan dinikahkan dengan orang seperti ku?'
.
.
.
Naruto hanya menelan ludahnya. Dirinya yang pemberani mendadak berubah menjadi sosok yang penuh keraguan. Untuk mengejar langkah Sasuke saja rasanya tak mampu. Bagaimana nanti jika mereka berdua sudah benar-benar menikah nanti?
"Aku tidak ingin bicara di tempat terbuka."
Sasuke menghentikan langkahnya saat baru menaiki satu anak tangga. Dia hendak menuju kamarnya. Berbicara di kamarnya sendiri adalah hal teraman menurut Sasuke.
"Huh!? Apa maksudnya?" Gumam Naruto tak paham.
Sasuke yang melihat Naruto masih belum berpindah sesenti pun dari tempatnya, kembali membalikkan badan. Kakinya kembali menapaki anak tangga marmer itu untuk menuju ke kamarnya, yang sudah merupakan ruang pribadi miliknya di rumah mewah ini.
.
.
.
"Tunggu, Sasuke!!"
Akhirnya, Sang Rubah mengejar Ularnya juga. Naruto berjalan cepat untuk menyusul Sasuke yang sudah setengah jalan. Srmua harua diperjelas, termasuk perasaan Sasuke. Naruto sendiri sudah pasrah akan pernikahan ini. Karena itu sudah seperti kewajibannya untuk membayar semua pengorbanan kedua orang tuanya.
.
.
.
"Ijinkan aku masuk!"
Tangan Naruto menahan pintu kamar Sasuke yang hendak di tutup oleh pemiliknya.
"Hn."
Sasuke kemudian membuka kembali pintu itu, dan membiarkan Naruto masuk ke kamarnya yang begitu besar dan mewah. Setelah itu, Sasuke mengunci pintu kamarnya.
"Sasuke, ada yang ingin ku tanyakan padamu."
Tanpa basa-basi lagi, Naruto langsung membuka percakapan dengan pertanyaan.
.
.
.
Saat ini hanya ada mereka berdua di dalam kamar Sasuke. Sasuke sendiri sedang berdiri termenung sambil menatap kosong ke arah jendela besar kaca kamarnya. Dimana pemandangan yang disajikan adalah taman depan rumah mereka dan air mancur yang ada disana.
"Katakan, Dobe."
Naruto membuang napasnya. Berusaha sedikit menenangkan diri dan pikirannya yang berkecamuk.
"Kau, tidak menginginkan pernikahan ini bukan?" Tanya Naruto sembari melangkah mendekati Sasuke.
"Ini bukan hal yang kau inginkan dari hatimu." Lanjutnya lagi.
Kini Naruto berdiri tepat di belakang Sasuke yang masih terdiam.
.
.
.
Pandangan Naruto mendadak berubah sayu, iris biru itu memandang bahu Sasuke yang sedikit lebih pendek darinya. Kedua tangan tan-nya terangkat untuk memeluk pinggang ramping Sasuke yang berbalut jas putih itu.
"Katakan, apa alasanmu yang sebenarnya menerima pernikahan ini, Sasuke?"
Naruto meletakkan dagunya di bahu Sasuke. Pelukan mesra itu masih dia berikan pada Sang Pangeran Raven. Entah kenapa moment saat hanya berdua seperti ini, Naruto selalu terdorong untuk melakukan hal-hal romantis pada Sasuke. Bisa gitu ya?
"Dari mana kau tahu semua itu, Dobe?"
"Aku merasakannya, dattebayo."
.
.
.
Sasuke hanya diam, dirasakannya pelukan Naruto yang semakin mengerat di pinggangnya.
"Aku melakukan semua ini, karena seluruh aset keuanganku disita oleh Ayah. Ayah tahu jika aku sangat bergantung pada aset-aset ku itu. Dan kata Ayah, aku bisa mendapatkannya kembali jika aku menikah dengan seorang pemuda dari Kirigakure."
Sasuke menghentikan pembicaraannya, kepalanya sedikit menunduk. Saat itu dia melihat tangan Naruto yang menyatu memeluk pinggangnya.
"Dan, pemuda itu adalah kau."
.
.
.
Naruto melihat ada sedikit perubahan pada diri Sasuke. Kepalanya yang sedikit menunduk membuat Naruto khawatir. Apa Sasuke benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?
"Sasuke."
Naruto memanggil nama pria dalam dekapannya itu. Dagunya dia angkat dan kedua tangannya beralih untuk memutar tubuh ramping Sasuke agar mereka saling berhadapan satu sama lain. Berbicara langsung sembari bertatap wajah adalah cara komunikasi yang terbaik.
"Sungguh kebetulan yang luar biasa bukan? Aku yakin kau pasti sangat kecewa denganku."
.
.
.
Naruto tersenyum tipis, namun Sasuke justru menundukkan kepalanya. Entah karena apa. Sepertinya memang Sasuke merasakan ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya.
"Aku sama sekali tidak kecewa denganmu, dattebayo."
Sasuke spontan mendongak. Menatap Naruto yang dengan entengnya berkata bahwa dirinya tidak menyesal dengan semua pengakuannya.
"Aku justru senang bisa mendengar semua kejujuranmu padaku. Dengar, aku memang tidak bisa memberimu harta yang melimpah seperti ini padamu nanti."
.
.
.
Naruto mengusap lembut pipi Sasuke. Memberikan satu kehangatan yang belum pernah Sasuke rasakan sebelumnya.
"Aku hanya memiliki cinta. Maka aku akan berikan seluruh cinta kasih ku padamu seumur hidupku."
Sasuke terdiam, mencerna kalimat Naruto yang terdengar sangat asing baginya.
Memang Sasuke sempurna, terlalu sempurna bahkan. Karena saking sempurnanya Sasuke sampai tidak sadar bahwa tidak ada satu orang pun yang mampu mengimbangi kesempurnaannya. Meski telah berulang kali menerima pernyataan cinta, tapi bagi Sasuke cinta itu hanyalah omong kosong.
.
.
.
"Apakah cinta semurah itu sampai orang sepertimu mampu memberiku hal seperti itu seumur hidupmu?"
Naruto terkekeh mendengar pertanyaan Sasuke barusan. Saking lucunya, Naruto sampai berhenti membelai lembut pipi Sasuke.
"Tidak, kau salah Sasuke. Justru cinta itu mahal. Kau tak bisa membelinya dengan semua harta milikmu ini, dattebayo."
"Kenapa?"
"Karena cinta yang tulus berasal dari pemberian seseorang, Sasuke. Cinta dan kasih sayang itu tumbuh di dalam diri seseorang. Dan hanya akan diberikan kepada orang pilihan hatinya. Cinta memang tidak bisa dibeli, karena cinta memang tidak pernah bisa dikhianati."
.
.
.
Sasuke kembali terdiam, dia hanya menatap lurus ke dalam bola mata Naruto. Warna biru yang menenangkan dan begitu indah. Sangat kontras dengan warna bola matanya.
Naruto perlahan memindahkan tangannya dari pipi ke dagu Sasuke, mendongakkan dagu itu agar bibir mereka berdekatan.
"Aku mencintaimu."
.
.
.
Naruto kemudian menghadiahkan sebuah ciuman bagi Sasuke. Dimana ciuman itu terlihat begitu mesra tanpa ada napsu di dalamnya saat ini.
Naruto hanya menempelkan bibirnya pada Sasuke, sembari melihat sayu ke dalam bola mata hitam itu.
Sementara Sasuke yang merasa diperhatikan, memberikan respond yang tak terduga. Sasuke mengalungkan tangannya di leher Naruto dan membalas ciuman itu.
Sasuke memang sedikit nakal, tapi tak apa. Naruto akan menyukainya.
Dan di menit-menit berikutnya, tentu kita tahu apa yang selanjutnya akan  terjadi di kamar itu.
.
.
.
Sementara itu.
Di sebuah ruangan besar milik Fugaku, terlihat si pemilik ruangan sedang berdiri membelakangi meja kerjanya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, memasang pose berpikir seperti biasanya.
Fugaku baru saja menyelesaikan obrolannya dengan Mikoto sehububgan dengan pernikahan Sasuke yang akan di gelar dua hari lagi.
.
.
.
"Apa kau baik-baik saja, Anata?"
Mikoto pun akhirnya bertanya, memecah keheingan di ruangan itu. Pasalnya suaminya itu terlihat seperti ada beban pikiran yang sangat berat. Sebagai istri, tentu itu membuatnya sedikit cemas.
"Aku hanya bimbang. Apakah aku sudah membuat keputusan yang tepat untuk putra bungsu kesayanganku itu."
Mikoto tersenyum, Fugaku selalu saja memikirkan Sasuke saat bersamanya. Kaki jenjangnya mulai bergerak untuk melangkah mendekati suaminya di depan sana. Membuat suara dentingan merdu antara heelsnya dan lantai yang saling beradu.
.
.
.
"Aku yakin Sasuke-kun akan bahagia dengan Naruto-kun nanti. Percayalah pada mereka berdua."
Mikoto berucap dengan begitu renyahnya. Kedua matanya juga menyipit. Menandakan bahwa Ibu Cantik ini tengah tersenyum.
Fugaku pun menoleh. Dan dia menemukan sosok istrinya yang sudah berdiri di sampingnya dengan senyuman yang sangat tulus.
"Keputusanmu, sudah tepat."
Mikoto mengangguk sekilas. Senyuman manisnya itu sedikit sirna dan berganti dengan senyuman tipis andalannya.
"Terima kasih."
Fugaku kemudian merangkul Mikoto untuk bersandar padanya. Sembari mengusap lembut kepala istrinya itu, Fugaku berterima kasih dalam hatinya.
Diberkahi dengan keluarga yang seluruhnya hebat. Fugaku merasa bersyukur atas semua ini.
.
.
.
Mikoto tahu sebenarnya Fugaku sangat menyayangi Sasuke. Tapi sayangnya, Fugaku memiliki cara lain untuk menyampaikan rasa sayangnya pada Sasuke. Hingga membuat Sasuke sendiri kadang cemburu karena Ayahnya terlihat begitu dekat dengan Kakaknya daripada dirinya.
Namun sesungguhnya, Sasuke hanya tidak tahu. Jika saat Fugaku hanya berdua dengan Mikoto, Sasuke adalah topik pembicaraan Fugaku yang utama. Fugaku, sangat menyayangi Sasuke.
.
.
.
Malam pun segera tiba. Dimana Konoha terlihat masih sibuk seperti biasanya. Banyak orang yang masih berlalu lalang entah untuk apa.
Dibalik itu semua, ada dua orang pemuda yang masih tertidur lelap di atas kasur king size yang begitu empuk di dalam sebuah kamar mewah. Tentu saja itu Naruto dan Sasuke.
.
.
.
"Hngg.."
Naruto mulai membuat sebuah pergerakan. Tubuh atletisnya hanya berbalut selimut tebal dari pinggang ke bawah. Membuat dada bidang dan punggungnya terekspos begitu jelas. Sepertinya menggoda jika dilihat-lihat.
"Dimana aku?"
Seperti orang linglung. Naruto membuka matanya perlahan. Sambil sesekali bergumam. Naruto memperhatikan keadaan sekitarnya yang hanya gelap dan minim pencahayaan. Satu-satunya pencahayaan yang ada hanyalah sebuah jendela kaca besar dengan gordyn putih yang ada di depan sana.
.
.
.
"Dimana ini?"
Naruto mulai mendapatkan semua nyawanya kembali. Tapi tidak dengan kesadarannya. Sepertinya Naruto lupa bahwa dirinya sedang berada di kediaman Uchiha, lebih tepatnya di kamar anak bungsu Uchiha.
"Huh!?"
Naruto mengalihkan pandangannya dari sekitar menuju ke arah lengan kirinya. Lengan itu terasa sedikit lebih berat. Seperti ada sesuatu yang menggunakannya untuk bantalan tidur. Karena penasaran, Narutopun segera menyibakkan selimut tebal itu dan alangkah terkejutnya saat Naruto menemukan sosok Sasuke sedang tidur lelap di lengannya.
.
.
.
"GYAAA!!"
Naruto memekik keras. Sangat keras karena saking syoknya. Dirinya tambah syok saat mengetahui bahwa dia dan Sasuke sedang sama-sama telanjang.
"Ck! Urusai, Usuratonkachi!!"
Sasuke terpaksa membuka matanya. Jengkel sekali rasanya. Sasuke sangat tidak suka saat dirinya yang sedang tidur nyenyak harus bangun karena suatu gangguan yang disengaja. Itu sangat membuat Sasuke kesal.
"Apa masalahm--huh!?"
"Nah, kaget juga kan!?" Sengak Naruto tak kalah galak.
.
.
.
Baru saja Sasuke hendak memarahi Naruto yang sudah membangunkannya. Tapi semua amarahnya terhenti seketika saat melihat tubuh Naruto yang sepertinya memang telanjang.
"Apa yang sudah kau lakukan padaku, Dobe?" Sasuke mendesis tajam. Dia sudah sadar penuh. Tapi melupakan satu hal.
"Apa yang kulakukan katamu!? Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, dattebayo!! Ini kamarmu!!"
"Aku tidak mungkin melakukan hal-hal aneh. Dan sembarangan membawa lelaki murahan ke dalam kamarku!!"
"Siapa yang kau sebut lelaki murahan, hah!?"
"Siapa lagi memangnya. Tidak mungkin jika itu aku!"
"Aku tidak murahan dattebayo!!"
"Urusai!!"
.
.
.
Suara Naruto dan Sasuke yang saling berteriak benar-benar membuat kegaduhan di keluarga Uchiha. Bahkan teriakan mereka sampai terdengar ke lantai bawah, dimana kedua orang tua Sasuke sedang makan malam dengan Itachi dan Deidara.
"Apa Sasuke baik-baik saja, Danna?" Sepertinya Deidara mulai cemas.
"Mereka akan baik-baik saja, Sayang."
Deidara hanya mengalihkan pandangannya dari Itachi ke piring makanannya. Jawaban Itachi meragukan. Padahal tadi dia hanya tanya soal Sasuke saja, tapi Itachi malah menjawab dengan kata mereka.
"Tapi dia tidak ikut makan malam bersama kita." Ucap Deidara lagi.
"Biar nanti Ibu yang mengantarkan makanan ke kamar Sasuke. Kau tenang saja, Dei-kun."
"Um. Biar aku saja Ibu."
"Kau tidak kerepotan?"
"Tidak-tidak. Biar aku saja yang antar makanannya nanti."
"Baiklah." Jawab Mikoto sambil tersenyum. Dan mereka semuapun kembali melanjutkan acara makan bersama mereka.
.
.
.
"Oke. Kita harus tenang. Dan memikirkan semua ini dengan kepala dingin."
Sasuke berusaha menengahi perselisihan ini. Mereka berdua masih di atas tempat tidur yang sama.
Sasuke nampak menghela napasnya sejenak. Dia harus berpikir dan mendapatkan jawaban atas semua keambiguan ini.
"Jadi, apa yang kau ingat?" Tanya Sasuke.
Naruto terlihat berpikir sejenak. Berusaha menggali informasi lebih dalam dari otak minimnya.
"Seingatku aku hanya memelukmu dari belakang tadi."
Kali ini giliran Sasuke yang berpikir. Satu buah clue sudah berhasil ditemukan.
"Lalu kita saling berhadapan. Yaa.. Seperti ini." Kata Naruto lagi. Kali ini sambil memperagakan dengan kedua telapak tangannya.
"Kemudian kau menciumku."
.
.
.
GLEK!
Satu kalimat terakhir Sasuke membuat Naruto terdiam. Setetes keringat mulai muncul menggantung di dahinya.
"Aku mengalungkan tanganku dilehermu."
Naruto menautkan kedua alisnya, sekarang giliran dia yang mendengarkan Sasuke.
"Kita berciuman semakin dalam. Dan.."
"Dan kita berakhir di tempat tidur ini." Kata Naruto menyambung kalimat penjelasan Sasuke.
"Oh, Astaga." Gumam Naruto. Tangannya mengusap kasar wajah rupawanya. Tak menyangka dia mampu berbuat seperti ini sebelum menikah.
.
.
.
Sasuke memperhatikan Naruto dalam diamnya. Mereka berdua sama-sama duduk diatas kasur dan berselimutkan satu bed cover yang sama yang menutupi pinggang ke bawah mereka.
"Kau menyesal?" Tanya Sasuke.
"Huh!?"
"Kau terlihat seperti orang yang sangat menyesal."
"Apa maksudmu dengan kata menyesal itu, Teme?"
Sasuke hanya mengendikkan bahunya sebagai jawaban dari pertanyaan Naruto barusan.
"Ku pikir kau senang karena telah melakukannya bersamaku, calon pengantinmu."
.
.
.
Naruto kembali menautkan kedua alisnya. Lagi-lagi Sasuke menundukkan wajahnya dan berpaling darinya. Sebuah tanda kekecewaan mungkin, Naruto tahu itu.
"Hei, siapa yang menyesal karena telah melakukan semua ini bersamamu?"
Naruto menggeser badannya, berusaha mendekatkan diri pada Sasuke. Tak lupa Naruto juga meletakkan kedua tangannya di bahu Sasuke. Memberi keyakinan pada pria putih ini sembari berusaha melihat wajah Sasuke yang tertunduk.
"Aku sama sekali tidak menyesal, dattebayo."
Sasuke masih belum mengangkat wajahnya. Dia masih enggan untuk bertatap muka dengan Naruto.
"Ayolah, Sasuke. Jangan seperti ini."
Naruto kembali berusaha membuat Sasuke untuk kembali menatapnya.
Dan berhasil, wajah putih itu kini kembali ada di depan wajahnya.
.
.
.
Naruto tersenyum. Lalu seketika berubah menjadi sebuah cengiran bak rubah. Hatinya terasa begitu senang saat bisa melihat wajah Sasuke lagi.
"Aku senang bisa melakukannya denganmu."
"Kau serius?"
"Tentu saja, dattebayo! Sampai rasanya aku ingin melakukannya lagi."
Naruto terkekeh, tanpa dia sadari kalimatnya itu sudah membuat Sasuke mengeluarkan semua uura jahat yang ada didalam dirinya. Tak lupa, Sasuke juga sedang menatap horor ke arah Naruto.
.
.
.
Sementara itu, di lantai bawah. Sepertinya mereka sudah selesai dengan acara makan malamnya. Terlihat dengan meja yang sudah berish dan rapi. Hanya menyisakan satu buah nampan dengan dua piring dan dua gelas susu putih di atasnya.
"Nah, sudah selesai Dei-kun."
"Baiklah, Ibu."
Deidara pun segera mengangkat nampan itu dan mulai berjalan menuju ke lantai atas. Dimana disana adalah letak kamar Sasuke.
Satu per satu, anak tangga Deidara naiki. Dan beberapa saat kemudian sampai lah dia di depan sebuah pintu yang tertutup rapat.
.
.
.
"Sasuke-kun, ini makan malammu."
Karena tidak bisa mengetuk pintu, jadi Deidara memutuskan untuk memanggil Sasuke saja.
"Sasuke-kun!?" Panggil Deidara lagi.
.
.
.
"Cepat pakai bajumu, Dobe!"
"Sabar, Teme. Sabar."
"Dia akan curiga jika aku terlalu lama membukakan pintu!"
"Ck! Diamlah. Lihat! Selesai! Dasar cerewet!"
Sasuke pun mendelik galak saat Naruto mengatainya dengan sebutan cerewet.
.
.
.
CEKLEK!
"Ada apa Dei-nii?"
"Makan malam untukmu, Sasuke-kun." Jawab Deidara girang. Wajah riang nya memang selalu tampak menggemaskan. Bahkan terkadang Sasuke sampai lupa kalau Deidara adalah lelaki.
"Kenapa ada dua?"
"Satunya untuk Naruto-kun. Oh iya, dimana Naruto-kun? Apa dia di dalam, un?"
Deidara berusaha melihat ke dalam sana. Sedikit berjinjit demi bisa menemukan sosok Naruto yang di duga ada di dalam kamar Sasuke.
"Dia sedang ke toilet."
Sasuke kemudian menerima nampan itu, berharap agar Deidara segera menyingkir dari sana.
"Baiklah, terima kasih. Kau bisa tutup pintunya untukku." Ucap Sasuke, lalu berbalik dan hendak melangkah semakin masuk ke kamarnya.
Dan Deidara pun mengangguk mengiyakan.
.
.
.
"Eh!! Tunggu Sasuke-kun!"
Sasuke spontan menoleh karena Deidara memanggilnya dengan nada terkejut.
"Apa lagi, Dei-nii?"
"Itu, di lehermu. Ada bekas merah disana, un! Apa itu, Sasuke-kun!?"
Sasuke tentu saja membatu di tempat. Bagaimana bisa dia tidak sadar jika Naruto itu tadi menandainya disana? Dan sekarang, bekas itu dilihat oleh Deidara.
"I-ini hanya alergi debu!"
.
.
.
BRAK!
Sasuke menutup pintu kamarnya dengan menendangnya. Tentu saja itu membuat suara pintu yang tertutup menjadi sangat keras. Membuat Deidara berjengit kaget. Dan cengo seketika di depan pintu yang sudah tertutup itu. Alasan Sasuke tidak masuk akal.
"Kamar Sasuke-kun kan tidak ada debunya, un!"
.
.
.
.
.
To Be Continued.
NB : Mohon maaf apabila masih ada typo dalam penulisan fanfiction ini. Saya akan berusaha untuk lebih teliti lagi ke depannya. Terima kasih!

STRAWBERRY UNDERAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang