PROLOG

67 5 0
                                    

"Lo kemana sih?" tanya seseorang di seberang telepon; dengan teriakan yang selalu dikeluarnya- kadang aku bertanya tanya bagaimana tenggorokannya bisa sehat walafiat dengan kebiasaannya yang satu itu.

"Ada-" balasku sembari mengeluarkan uang pecahan berjumlah sepuluh ribu untuk kuberikan pada lelaki paruh baya, "-ada urusan pokoknya, bentaran doang kok. Abis itu, aku langsung gercep ke kantor."

"Jangan sampe satu jam ya. Mukanya Mas Duta udah kacau banget. Gue gak mau jadi tong sampah makiannya dia."

Aku mengangguk diikuti kata "Oke." sebelum Nina- teman kantorku- memutuskan panggilan. Setelahnya, tanganku mendorong pintu kaca sebuah kafe yang menjadi tempat kumpul andalan dengan teman SMA sejak lima tahun terakhir.

"There she is! Yang sekarang super sibuk!" tegur salah satu kawanku yang entah sejak kapan mulai mengoleksi tas cantik buatan designer ternama- yang bahkan untuk menyebutkan nama perancangnya saja, lidahku masih sering keseleo.

Aku tersenyum kikuk sembari membuang peluh dengan usapan punggung tangan, lantas menarik salah satu kursi di sebelah Piu- Violet panjangnya, ia perempuan yang mencintai tasnya daripada pujaan hatinya, ituloh.

"Darimana aja? Pesen minum, gih, atau makan." sambut seseorang yang duduk di hadapanku; yang kali ini bersetelan santai dengan kaos lengan panjang dan ripped jeans, namun tetap saja ada jurang pemisah antara sosok Nia- atau yang kau kenal dengan Alnira- dengan diriku; dilihat dari susunan kartu dalam card holder yang ia selipkan dalam kantong bajunya.

"Abis liputan. Gak, deh, aku gak ada uang, hehe"

"Really, Re? Tahun lalu juga gitu, ntar tahun depan juga gitu lagi? Uang gaji pada kemanaan? Makannya jangan tinggal di apartment deh, Re, kalau belum mampu finansialnya. Balik tinggal di rumah nyokap lo aja, atau numpang salah satu dari kita, rumah Uyan gede, noh. Atau, gak, cari kerja yang lebih baik lah." tembak Piu tanpa bisa dihentikan; mengangkat topik yang selalu hadir dalam pertemuan empat sahabat sedari SMA ini setelah aku mengatakan gak ada duit.

Aku hanya diam; enggan menyulut api yang dikeluarkan Piu karena percuma; konsep hidup dan pekerjaan yang aku yakini berbeda dengan milik Piu; juga Nia dan Uyan- atau Julian, satu satunya lelaki dalam lingkar pertemanan kami yang selalu membelaku, seperti sekarang, "Ya biarin aja kali, Pi. Rere kan emang pengen jadi jurnalis. Tugas kita sebagai sahabat ya harusnya support, termasuk pilihannya dia buat hidup mandiri."

"Tapi gak dengan bertahan di redaksi kecil semacam itu. She deserve so much better, Yan. Dia bisa ngelamar di redaksi besar" lanjut Piu.

Aku menggeleng dengan mengeluarkan senyum miring "Redaksi besar jarang ada yang mau nerima lulusan SMA"

"Ya pokoknya aku akan sangat bahagia kalau kamu keluar dari redaksi abal tersebut"

"Me too!" sahut Nia yang setuju atas pendapat Piu. Namun Uyan justru menyodorkan menu kafe tersebut, "Pesen aja, aku yang bayar."

"Gak usah." jawabku dengan tersenyum. "Ntar lagi aku juga balik ke kantor"

"As always" sembur Piu; seakan tidak pernah puas menertawakan jalan hidupku yang masih dalam level rendah jika diukur dengan penggaris miliknya; dimana standar kebahagian versinya adalah dengan memiliki uang banyak tak terhitung, ditambah sebuah ruang khusus untuk koleksi tas super banyak.

Yang tidak mereka tahu adalah; di perempatan jalan tadi aku membeli kerupuk udang ukuran besar dari lelaki paruh baya yang kehilangan penglihatannya dengan uang terakhir yang kumiliki.

Aku merasa kaya, pun bahagia dengan melakukan itu.

Dan aku juga tidak sabar mencicipi kerupuk ini dengan diolesi sambal ijo kemasan yang selalu ada di pantry kantor.

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang