TIGA BELAS

24 2 0
                                    

Sudah lewat seminggu dari hari dimana Piu berpisah dengan janinnya. Sudah lewat tiga hari pula dari rangkaian acara pra-menikah yang diadakan keluarga Nia, juga Bang Marco. Dan saat ini aku berada di rumah Uyan; berkumpul bersama keluarga besarnya— plus Piu— sembari membicarakan masa remaja Bang Marco yang dipimpin oleh Ibu Ningrum; ibunda Bang Marco, Uyan, juga Eca.

Hari itu— saat Uyan kuberi waktu untuk berbicara empat mata dengan Nia, ia tidak mengucapkan satu kata pun. Katanya, akan lebih baik untuk Nia menjalani kehidupan berkeluarganya jika Uyan tidak menyuarakan isi hatinya sama sekali. Responku? biasa saja; aku juga tidak berharap Uyan akan pasang badan untuk membatalkan pernikahan cinta pertamanya dengan Bang Marco yang notabene adalah kakak kandungnya sendiri. Aku hanya memberikan pelukan cukup lama malam itu untuk Uyan yang harus melupakan Nia sepenuhnya.

Sedangkan Piu masih menginap di rumah Uyan; ia berbagi kamar dengan Eca selama seminggu terakhir ini. Sebenarnya, Piu sudah dua kali bertemu Gio di teras rumah Uyan; lelakinya itu menjelaskan tentang Anton yang berhasil terperangkap dalam rencananya yang dibuat bersama Uyan juga Mas Duta, dan hanya butuh beberapa langkah lagi sebelum berhasil mengunci Anton dalam Lembaga Pemasyarakatan. Namun Piu belum juga memutuskan untuk kembali ke rumahnya— entahlah, usai resepsi pernikahan Bang Marco dan Nia, mungkin?

Aku menghabiskan pagi hingga siang hari mengurus pekerjaan; keluarnya Nina dari kantor membuat pekerjaanku sedikit lebih berat dari biasanya. Dilanjut dengan merawat Nina di rumahnya seusai makan siang hingga Mas Darma menggantikan waktu jagaku menjelang pukul 4 sore, lantas menyelesaikan pekerjaan lagi dan kemudian pulang untuk berganti pakaian ditambah bercengkrama dengan Mas Duta via telepon sebelum pergi bertamu ke rumah Uyan untuk bersantai dengan seluruh anggota keluarganya.

"Re, tidur sini atau pulang?" tanya Uyan secara tiba tiba yang entah datang dari arah mana dengan mendekatkan wajahnya ke arahku. "Aku sama Piu nginep di hotel." balasku yang kemudian mendapat respon berupa anggukan sebanyak beberapa kali.

Piu datang dari arah dapur bersama dengan Paman Uyan yang merupakan warga negara asing; mereka sama sama membawa pudding cokelat dengan fla krim keju buatan tante tertua dari garis keturunan Ibu Ningrum. Melihat kudapan di tangan keduanya membuatku memukul lengan Uyan yang masih berdiri di atasku dengan meletakan kedua siku pada kepala sofa; "Yan, mau pudding dong."

Lelaki itu tidak menjawab, memilih langsung pergi ke dapur dan kembali dengan membawa dua buah gelas plastik berisikan kudapan manis berwarna cokelat gelap tersebut. "Silahkan, nyonya!" ucapnya sembari menyodorkan salah satunya padaku.

"Abis ini Uyan sama Rere, ya?" tegur salah satu tante Uyan dari seberang sofa setelah menghabiskan belasan menit untuk memperhatikan gerak-gerikku dan Uyan yang lebih banyak tertawa sembari berbincang mengenai dress yang akan kukenakan esok hari pada hari pernikahan Bang Marco dan Nia; membuat beberapa orang di ruangan tersebut menoleh ke arah kami untuk memeriksa keintiman kami di atas sofa.

"Loh, kalian pacaran?" sambung Ibu Ningrum dengan nada bicara halus khas perempuan jawa yang justru membuatku tak nyaman.

"Enggak."

"Yep!" jawabku dan Uyan hampir bersamaan; namun sayangnya, suara lelaki yang duduk di sebelahku itu lebih keras hingga menutupi jawabanku.

Aku mendekat ke arah Uyan ketika Ibu Ningrum mengalihkan perhatiannya pada Tante Tina yang tengah kesulitan akan sesuatu di dapur. "Sorry kalau ini nyakitin, but aku udah punya pacar and you know that." bisikku yang disambut kekehan dari pihak Uyan.

"Baru pacar kan statusnya, bukan suami." balasnya enteng.

Uyan tahu mengenai keberadaan Mas Duta yang notabene merupakan kekasihku. Hanya sebatas itu ditambah fakta bahwa Mas Duta adalah atasanku; ia sama sekali tidak tahu perihal Kiara yang merupakan istri sah Mas Duta.

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang