EMPAT

25 4 0
                                    

Aku menarik anak rambut yang menutupi penglihatanku; membawanya ke belakang untuk disatukan menggunakan ikat rambut biru polos. Nina berjalan di belakangku dengan masih berbincang via telepon bersama Egi, sedang merencanakan makan malam romantis yang kutebak hanya selevel warung makan ayam bakar cukup besar di pusat kota.

"Egi bentar lagi nyampe. Lo mau ikut kita gak?" tawar Nina ketika berhasil menyamakan langkah denganku. Aku menggeleng dan mengedikkan bahu secara bersamaan, "Ntar aku jadi nyamuk."

"Yang penting lo makan. Kan today Egi dapat bonus, bisa ditraktir lo."

Aku menggeleng lagi, kali ini dengan senyum ke arah Nina. "Aku duluan, yo!" ucapku diikuti gerakan berlari kecil ketika menyebrang jalan; berniat menghentikkan angkutan umum untuk dibawa kembali ke area apartemen.

Namun ketika tanganku akan bergerak maju; membuat lambaian kecil sebagai tanda ingin naik sebuah angkutan umum, ponselku berdering. "Udah makan?" tanya pria di ujung telepon sebelum aku berhasil mengucapkan halo.

"Um, belum, kenapa?"

"Ke rumah, ya. Aku nyoba buat masakan baru hari ini." balasnya dengan nada antusias yang membuatku menarik ujung bibir; tersenyum. Memang sesayang itu aku dengan pria ini hingga suara bahagianya saja membuatku ingin cepat berada di tempat yang sama dengannya.

"Gue tunggu, ya. I miss you." ucapnya lagi sebelum memutuskan panggilan tersebut secara sepihak.

Kakiku harusnya bergerak menuju pangkalan ojek yang berada di tikungan dekat tempatku berdiri. Namun yang kulakukan justru membuka zipper tasku untuk menarik kado yang diberikan Mas Duta pagi tadi. Jemariku membuka pitanya perlahan lahan; seakan menyentuh benda apa saja dari pemberian Mas Duta dapat menimbulkan kebahagiaan untukku.

Ibu jari pada tangan kanan kugerakkan sedikit untuk membuka tutup kotak; mengintip isinya sembari tersenyum lebar. Setidaknya, sebelum berhadapan dengan lelaki pemilik dada ternyaman itu, aku sudah mengetahui apa yang berada dalam kotak kado ulang tahun kedua yang kudapati tahun ini.

Sebuah sandal dengan pernak pernik warna cerah yang kutaksir dua bulan lalu saat kami berjalan jalan ke pantai; iseng memasuki sebuah toko oleh oleh dekat situ dan mengeluarkan celetukan "Ih...sepatunya lucu!"

Senyumku kembali terbentuk.

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

"Hei, babe!" ucap Mas Duta saat melihatku datang memasuki area ruang makan, kemudian menyerangku dengan banyak kecupan yang kurespon dengan tawa bahagia.

"Masak apa sih, Ta?" tanyaku yang menanggalkan Mas saat berada di rumah Mas Duta; menuruti peraturan yang kami buat dan setujui di kamar Mas Duta dua tahun lalu.

Lelaki yang hanya mengenakan kolor beserta kaos hitam polos itu menuntunku ke meja makan; memperlihatkan mie kuah yang kutebak merupakan ramen instan, namun ia racik sedemikian rupa hingga terlihat seperti noodle mahal dari restoran asia.

Aku melempar senyum kepada Mas Duta setelah ia menarik kursi tempatku akan mendaratkan bokong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melempar senyum kepada Mas Duta setelah ia menarik kursi tempatku akan mendaratkan bokong. "Btw, gue lupa ngomong ini, Re, padahal udah nyadar dari tadi pagi."

"Apaan?"

"Lo cantik pake baju cewek kayak gitu."

Kegiatan mengambil sumpit dari tumpukan alat makan di tengah meja terhenti seketika setelah Mas Duta mengakhiri kalimatnya dan membuat senyum super manis di hadapanku.

Bukan.

Aku terpaku bukan karena senang atas pujian yang dilontarkan Mas Duta; ini lebih mengarah pada khawatir akan perasaan aneh yang menghampiriku tiap kali ada lebih dari satu pujian yang mengatakan diriku cantik. Kau tahu, pertama Uyan, dan sekarang Mas Duta.

Kata kata tersebut membuatku ingin selalu dipuji, tidak pernah puas, dan pada titik tertentu akan membuatku membenci diri sendiri seperti yang kulakukan pada Revalina remaja.

"What's wrong?" tanya Mas Duta memastikan keadaanku yang sudah mematung selama satu menit.

Aku membuat gelengan tunggal sebagai jawabanku, lantas menerima sodoran mangkuk mie ramen ala Mas Duta dan bersiap menyantapnya; maksudku, masakan Mas Duta tidak pernah mengecewakan. Aku bahkan pernah bertanya mengapa ia tidak menjadi chef saja.

"Ta, makasih, loh, sandal pantai lucu yang rame banget itu." ucapku setelah tiga suapan; diikuti senyum cukup lebar yang justru dapat membulatkan mata teman makanku malam itu.

"Wow. Udah dibuka ya?"

Mas Duta meneguk sedikit air mineral sebelum "Maaf cuma bisa kasih itu, babe."

"No, no, no. Itu udah cukup buat aku."

"Well, ada satu hadiah lagi, actually." Aku memperhatikan gerak gerik Mas Duta; membuatku paham kado lain yang akan dia berikan tanpa ia suarakan sedikitpun.

"But, ini bukan malem jumat, Mas." responku sebelum menarik gelas dan meneguk seperempat isinya; merasa kenyang walau baru memakan kurang dari setengah porsi.

"Um... malam jumat gue main sama istri gue. You know, program buat anak blahblahblah; perintah dari mertua." balas Mas Duta yang membuat sedikit bagian di hatiku terluka; pasalnya, setahun yang lalu, Mas Duta tidak menginginkan lagi ritual malam jumat dengan istrinya yang super sibuk itu. Ia juga tidak menginginkan perempuan pinggir jalan. Ia hanya menginginkanku. Dan ia berjanji hanya menginginkan diriku.

Akupun begitu.

Tapi untuk pertama kalinya, ia melanggar janjinya.

"At least gue ijin sama lo, Re. Gue gak asal main sama istri tanpa ngabarin lo. I promised you, dan aku ngancurin janji itu, yes, gue sangat sadar. But i want to promise you one thing..." jelas Mas Duta panjang lebar seakan mendengar suara dalam pikiranku; membuatku menatap lurus ke arahnya yang juga sedang dalam mode serius.

"Setelah istri gue ngelahirin anak pertama. Tunggu gue sampai saat itu, Re sayang. I promise. We'll make it official."

Aku terdiam. Tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Maksudku, aku senang hubunganku dengan Mas Duta tidak lagi sembunyi sembunyi nantinya; bahkan aku bisa menceritakan tentang lelakiku pada Piu, Nia, dan Uyan. Tapi sebagian dari diriku menolak sebuah pernikahan; seakan pernikahan dan sesuatu yang pasti bukan tujuan yang kucari.

Aku hanya ingin Mas Duta.

Menginginkan Duta Atmadja sebagai Duta, bukan sosok suami, ayah dari anakku, atau kakek dari cucuku kelak.

"Mau, kan, Mrs. Atmadja?"

Aku tak menjawab. Hanya berdiri dan mengambil orange juice dari kulkas di dapur, lantas kembali ke ruang makan hanya untuk melakukan tiga tegukan dan "I wanna take a shower. Abistu kita main. Okay?"

"Right. Can't wait, babe!"[]

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang