EPILOG

27 3 0
                                    

Pernikahanku dan Uyan berlangsung sebulan kemudian; tepat pada tanggal 5 Mei yang merupakan hari ulang tahun Uyan.

Aku duduk di sebuah ruangan khusus mempelai wanita yang disediakan pihak wedding organizer dengan riasan wajah yang sudah rampung— bahkan sudah siap untuk melangkah keluar untuk duduk bersama Uyan di meja ijab.

Nia, Piu, juga Nina masuk secara bersamaan dengan wajah bahagia yang tidak dapat mereka sembunyikan; "Di luar panas, gak?" mengeluarkan pertanyaan konyol dapat membunuh ketegangan, mungkin?

"Adem kok, nyonya." balas Piu sekenanya sebelum membenahi hiasan kepala adat sunda yang sedang kukenakan.

Aku dan Uyan sepakat untuk mengadakan pernikahan dengan konsep outdoor beradat Sunda yang ternyata sudah disiapkan Uyan jauh-jauh hari sejak usia 31— begitupun keperluan lain seperti catering, dekorasi, dokumentasi, dan hal hal kecil lainnya. Yang membuat tanggal pernikahannya terus mundur adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencari keberadaan Ayah kandungku; bagaimana pun juga, ialah yang harus menjadi wali nikah.

"Lo mirip Sara Canning parah, deh, Re!" tegur Nia yang merapatkan tubuhnya dengan Nina; keduanya sama sama tersenyum ke arahku yang justru membuatku ingin mengusir mereka dari ruangan ini.

"Believe me, Uyan ngomong gitu udah ratusan kali."

Pihak WO masuk ke dalam ruangan untuk memberi informasi bahwa prosesi akad nikah akan segera berlangsung. Dan beberapa menit setelahnya— dari ruangan yang didominasi kayu ini— aku mendengar suara Uyan.

"Saya terima nikahnya Revalina Anjasmoro binti Mohamed Adrian dengan mas kawin perhiasan emas 24 karat sebesar 10 gram dibayar tunai."

Rasanya air mataku ingin tumpah sedetik setelah kalimat tersebut berakhir yang disambut dengan teriakan Sah! dari berbagai arah. Ketiga sahabat perempuanku itu mendekat untuk memberikan pelukan terakhir sebelum bersama-sama keluar ruangan; mengungkapkan kata kata turut bahagia sebanyak yang mereka mampu dalam kurun waktu satu menit.

Piu keluar lebih dulu dengan mengenggam buket bunga berwarna biru pastel; senada dengan dekorasi pernikahan hari itu yang serba putih-biru-hijau, lantas diikuti sosokku di antara Nia dan Nina yang berjalan berdampingan.

Aku melihat Arya pada baris kursi paling belakang; hampir tidak kukenali karena perawakannya yang sudah menyerupai wanita tulen. Aku juga mendapati Mas Duta bersama Kiara yang tengah mengandung anak pertama mereka. Dan kemudian memilih untuk menatap lurus ke arah Uyan yang berdiri di dekat meja ijab— berdampingan dengan Ayahku yang rambutnya mulai memutih.

"Hello, Sara Canning!" ucap Uyan dengan nada suara kecil setelah berhasil menggenggam tanganku cukup erat sampai aku merasa akan terus aman jika menjalani hidup bersama lelaki ini. "I mean, my Sara Canning." koreksinya.

---

Seperti layaknya pena yang jatuh dari ketinggian, aku pernah merasakan kerasnya lantai kehidupan— kadang hangat, dan bisa juga menyiksa jika permukaannya sedang dingin.

Seperti layaknya pena yang jatuh dari ketinggian, aku hanya perlu terhempas agar tahu rasanya menjadi manusia; maksudku aku tidak akan pernah beranggapan bahwa aku ini malaikat yang terus menerus berada di ketinggian jika sudah pernah merasakan jatuh.

Dan seperti layaknya pena yang jatuh dari ketinggian, aku hanya perlu diangkat kembali oleh orang yang membutuhkanku; menggunakan tintaku dengan sebaik baiknya dan berjaga agar tidak jatuh lagi.

Karena sejatinya...

...tidak ada yang menyukai jatuh. Terlebih ketika kau terus jatuh berkali kali tanpa pernah mencoba bangkit.

Namun percayalah, ada bahagia yang berlipat lipat ketika seseorang hadir untuk membantumu berdiri; ketika seseorang mengulurkan tangan dan mengajakmu berlari bersama di hari hari ke depan.

Seperti yang dilakukan Uyan.

Terima kasih karena sudah memungut pena jatuh itu, Julian.
    — ur 'Sara Canning' wife.[]

[TAMAT — 22 Juli 2018]

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang