DUA BELAS

17 2 0
                                    

Aku dan Uyan berlari menuju toilet wanita dekat kantor administrasi rumah sakit serupa dengan yang ditempati Nina; rumah sakit tempat Piu biasa memeriksa keadaan buah hatinya secara berkala, mungkin itu pula yang dilakukan Piu kemarin dengan ditemani Uyan.

Keadaan koridor saat itu sedang ramai, namun belum cukup bising untuk menutupi suara tangis Piu yang lumayan keras dalam toilet wanita; membuatku dan Uyan langsung masuk tanpa berpikir apakah Piu dan Nia berada dalam toilet tersebut atau bukan.

"Piu." tegurku saat melihatnya duduk bersandarkan dinding tepat di bawah wastafel, ditemani Nia yang baru saja bangkit dari posisi jongkok. "Semalem dia ribut sama Gio, trus tiba tiba tadi pagi dia pendarahan banyak, buru buru ke RS ternyata udah hilang bayinya." jelas Nia yang merangkum semua jawaban atas pertanyaan di otak kami selama tujuh menit perjalanan tadi.

Uyan meletakkan lututnya pada lantai ruangan tersebut dan menggenggam tangan Piu yang masih terisak dengan berbalut kulot bergaris dan kaos putih polos. "Kita ke rumah gue, ya." ucap Uyan halus yang membuat tangis Piu perlahan lahan berkurang; bagaimana bisa ia diciptakan penuh kelembutan sedangkan aku dan Nia tidak pernah bisa menghapus tangis Piu.

"Biar Nia yang ngobrol sama dokter, dan biar gue sama Rere yang nemuin Gio. Lo istirahat dulu di rumah gue, ya. Ada Eca ntar yang jagain lo." jelas Uyan dengan masih menggunakan nada suara menenangkan, juga menambah kata Eca yang juga berarti teman akrab Piu jika berkenaan dengan fashion, kecantikan, dan lelaki.

Piu mengangguk, kemudian dibantu berdiri oleh Uyan dan Nia selagi aku menelpon Gio untuk bertanya posisinya saat ini.

---

Gio menarik sebuah botol minuman keras dari bagian terdalam lemari pakaiannya; seakan sengaja disembunyikan untuk dikeluarkan ketika keadaan sedang kacau seperti ini, lantas menuangkan sedikit ke dalam gelas transparan berukuran kecil dan meneguknya dalam satu kali tegukan. Aku dan Uyan berdiri berdampingan sembari memperhatikan suami sah Piu ini menenangkan pikiran dengan caranya sendiri; yakni dengan mengkonsumsi alkohol.

"So, tell us."

"Did you hit her?" suaraku dan Uyan bertabrakan; membuat Gio— pun Uyan— sedikit tersentak karena menangkap pertanyaan konyol yang kulontarkan sedetik lalu.

Gio menghembuskan nafas geli disertai gumaman berupa "Pffft..." yang disambung dengan "Gak lah. Gue gak mungkin mukul Piu." respon Gio sebelum memilih duduk di pinggir tempat tidur queen size miliknya dan sang pujaan hati.

Uyan maju beberapa langkah sebagai tanda akan memulai percakapan serius; jelas sekali bahwa lelaki ini sudah tidak memiliki banyak waktu dan harus segera ke kantor untuk menghadiri pertemuan penting. "Gue tahu, gak seharusnya gue dan Rere ikut campur rumah tangga lo, but kita harus tau masalahnya supaya kita bisa bantu."

"No, no, no, it's okay. Ini bukan soal gue ataupun Piu juga sebenarnya; ini soal Rere. Gue sama Piu semaleman ribut ngebahas Rere." balas Gio cepat tanpa perlu berpikir; seakan sah saja melontarkan kalimat itu selagi sosokku berada di sana.

Tentu saja Uyan langsung menoleh ke arahku dengan air muka bertanya yang hanya dapat kurespon dengan delikkan bahu walaupun sebenarnya aku 100% paham apa yang sedang dibicarakan Gio.

"Oke..." Gio menuangkan cairan berwarna cokelat tersebut ke dalam gelas untuk kedua kalinya, kemudian menatap lurus ke arah Uyan seakan sudah tiba waktunya sesi belajar-mengajar. "Anton Sanjaya yang terkenal nakal dan bangsat itu kemarin lusa berulah lagi."

"What do you mean berulah? dan apa hubungannya sama Rere?" sahut Uyan cepat tanpa dapat menahan rasa penasarannya sembari memeperhatikan Gio yang kembali meneguk alkoholnya.

"Dia suka main cewek, you know, 'main'." ucap Gio dengan menambah penekanan pada kata main di akhir kalimat. "Dan kemarin targetnya dia Rere. Sejauh yang gue tahu, dia gak niat gituin Rere, makannya sekarang keadaannya kacau banget. Biasanya dia pake pesona dia as a rich man dan pake gadis gadis kuliahan buat seneng seneng, then para gadis ini dikasih uang tutup mulut kalau si Anton ini udah bosen sama mereka. Oke, kesimpulannya Rere kena pelecehan seksual."

Uyan terpaku; tidak merespon kalimat lanjutan dari Gio dan hanya melakukan tolehan serta lirikan tajam tanda belum paham, atau bisa dibilang memaksa untuk diberi penjelasan lainnya. Sedangkan aku— pada sisi lainnya tidak mengerti mengapa masalahku ini menjadi penyebab keretakan dalam hubungan Gio dan Piu. "Aku gak paham, deh, Yo. Piu marah sama kamu gara gara Anton ngelakuin ini ke aku? Trus kalian berantem dan Piu stress berat? Tapi, kan, ini gak ada hubungannya sama kamu."

"Anton itu sepupu gue, Re. Gue masih pake nama Sanjaya, dan apapun yang berhubungan sama Sanjaya, gue pasti kena imbas." jawab Gio yang membuatku ber-oh ria dalam hati mengingat nama panjang Gio, yakni Gionino Putra Sanjaya. "The problem is.....gue nekat mau nyerang Anton kali ini. Mas Duta kalau gak salah— atasan lo, dia mati matian pengen bawa masalah ini ke jalur hukum, dan gue dengan senang hati mau bantuin karena gue udah punya usaha sendiri yang cukup maju dan gak selalu bergantung dengan nama keluarga, jadi fine fine aja kalau gue nyerang The Sanjaya."

Aku melangkah cepat untuk dapat berdekatan dengan Gio, "Aku gak mau! Kamu pikir gampang menghadapi pandangan orang orang setelah tau aku korban pelecehan seksual?" ucapku tegas yang membuat Uyan harus menarikku mundur; berjaga jaga jika saja aku akan menarik gelas Gio dan melemparnya tepat di atas kepala lelaki itu.

Gio tersenyum sembari mengangkat botol minuman kerasnya; tanda ingin berdamai sebelum melanjutkan pembicaraan ini lebih jauh. "Tenang aja, Re. Mas Duta juga gak mau lo terlibat, and lucky me karena tau catatan hidup enak ala Anton Sanjaya; korban dia udah banyak, pilih aja beberapa yang emang punya niat bikin jera si Anton ini, dan masalahnya kelar." jelas Gio yang ditutup dengan beberapa tegukan alkohol yang langsung ia nikmati dari botolnya.

"Kalau lo punya misi semulia itu, kenapa Piu bisa stress berat dan berakibat keguguran?"

"Gue gak masalah kalau mereka nyerang gue, even bokap gue mau nyoret gue dari keluarga Sanjaya pun gue gak apa-apa, tapi masalahnya Piu yang jadi target mereka. Gue gak mau Piu kenapa kenapa; i mean she was pregnant, man! jadi, gue bilang ke dia kalau gue mengurung niat buat nyerang Anton, dan begitulah awal mula kita ribut."

Aku akan melakukan yang sama dengan Gio ketika pihak lawan menargetkan Piu sebagai objek yang paling menderita dari perang ini mengingat catatan kriminal Piu yang dapat mengancam gaya hidupnya saat ini. Sesederhana pihak Anton yang membongkar kejadian pengeroyokan Piu pada usia awal dua puluh ke teman teman kumpul Piu saat ini yang notabene merupakan penggosip kelas tinggi saja sudah menghapus setengah lebih kebahagiaan Piu. 'Dasar preman!', 'Norak lo cuma gara gara masalah cowok bisa bunuh anak orang!', atau 'Kita gak usah temenan lagi, ya' dan kalimat kejam lainnya yang menanti untuk didengar Piu.

"Piu mau kamu tetap berada di samping Mas Duta buat jatuhin Anton, dan kamu mau Piu baik baik saja dengan berhenti sebelum membuat satu langkah pun." simpulku setelah menghadapi hening dalam ruangan tersebut, dan langsung disambut "Yap!" oleh Gio.

Ponsel milik Gio berdering di atas meja rias Piu; membuat pemiliknya berdiri dan mengangkat benda persegi panjang tersebut setelah meletakan minuman kerasnya. "May i?" izin Gio yang disambut anggukan oleh Uyan.

"Um, by the way, Yo, gue mau join buat diskusi lebih lanjut soal kasus ini. Gue bantu sebisa gue. Kita maju nyerang Anton sekaligus ngelindungin Piu; you know we can do both." ucap Uyan memotong kegiatan Gio sebelum mengambil tanganku dan membawanya dalam genggaman; menuntunku keluar rumah besar nan mewah tersebut dengan membisu. Hingga sampai di depan mobil miliknya, lelaki itu berhenti hanya untuk menanyakan "Are you okay? Kenapa aku gak tahu soal masalah ini?"

Nia tiba tiba saja muncul. Ia baru saja turun dari mobil silver kepunyaannya dan melangkah mendekati kami selagi mengikat rambutnya dengan model ponytail. "Aku mau cerita tadinya, cuma aku gak mau nambah beban kamu karena masalah hati kamu aja belum tamat. Selesaikan masalah itu, ya." ucapku sebelum melangkah ke arah Nia untuk meminta kunci mobilnya.[]

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang