"Lo tau kabar dia sekarang?"
Aku menaikkan pandangan dan menatap Uyan cukup lama setelah pertanyaan tersebut keluar dari mulutnya; memastikan apakah lelaki tersebut sedang dalam keadaan sadar atau tidak, karena tidak ada yang berani mengangkat pembahasan mengenai Arya sejak lima tahun lalu, tidak Piu dan Nia, tidak pula Mamaku.
"Kalau lo mau maju ke masa depan, lo harus berdamai dengan masa lalu dulu, Re." lanjut Uyan; merasa perlu menambahkan penjelasan itu agar aku bersedia membuka diri.
Aku menghisap rokokku terlebih dahulu dan menghembuskan asapnya perlahan lahan, "Yang aku tahu, sekarang dia menetap di Boston."
"So kalian masih in contact?"
"No. Dia yang try to reach me, you know, minta maaf atas semuanya and stuff, tapi aku gak pernah respon."
Sekarang giliran Uyan yang menghisap rokoknya, mengambil jeda selama beberapa detik sebelum mengeluarkan pertanyaan "Dia udah nikah?" yang membuatku tersedak asap rokok.
Aku sadar situasi saat itu; situasi dimana Uyan bersikap dewasa dengan menyeret kembali masalah masa lampau untuk kuhadapi dan kuselesaikan, jadi jika berniat menghindar dengan melakukan batuk yang dipaksakan pun akan sia-sia. "Udah." balasku yang masih direspon dengan tanda tanya pada air muka Uyan.
"Sama bule sana, kalau itu yang pengen kamu tahu, karena temen kantornya itu ternyata udah punya istri. Can you believe that? Aku hampir bernasib sama dengan istri gigolonya Arya itu?!" lanjutku yang tanpa kusadari menuangkan sedikit emosi dalam kata-kata yang kulontarkan.
Uyan mengangguk angguk; campuran antara paham dan ikut prihatin atas apa yang telah menimpaku lima tahun lalu. "Kalau dia datang ke sini; menghadap lo, dan minta maaf atas semua kesalahan dia, lo mau maafin dia?"
Lagi lagi aku menatap Uyan sedalam yang ku bisa; mencoba menyelami isi pikiran Uyan dan malah mendapati diriku ketakutan jika apa yang direncanakan Uyan itu benar terjadi, maksudku, kepulangan Arya tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya sejak empat tahun lalu ketika menerima email darinya yang mengatakan ia sudah menikah dan menetap di Boston. Dan aku tidak tahu sama sekali mengenai sosok Reva saat berhadapan dengan mantan kekasihnya yang seorang gay tersebut.
Bayang bayang masa lalu itu masih sangat jelas di pikiranku; mengenai bagaimana seorang Arya yang selalu menghindari ciuman bibir ketika semua temanku sudah menceritakan adegan ranjang bersama kekasih mereka saat itu, mengenai bagaimana kontak fisik kita yang paling jauh hanya sebatas kecupan pada pipi dan dahi, serta bagaimana mulusnya mantan kekasihku itu membujukku melakukan hal-hal tabu tersebut setelah menikah.
Andai Nina mengetahui cerita tentang Arya, dan andai Uyan mengetahui hubungan terlarangku dengan Mas Duta, aku pasti bisa menjelaskan mengapa aku begitu menikmati ciuman dan sentuhan yang diberikan lelaki itu hanya untuk memastikan aku tidak lagi jatuh pada pelukan seorang lelaki penyuka sesama jenis.
"Mending kamu anterin aku sekarang." responku sembari mematikan rokok yang sudah mengecil ukurannya; menyampirkan tas punggung pada salah satu bahu dan melangkah mendekati mobil Uyan.
"Mau kemana? Belum pamit sama Nia Piu, loh."
"Hotel Jaya. Mereka bakal paham, kok. Text aja kalo Rere menggila trus nangis gaje gitu gitu, lah. Mereka suka kasian kalau aku mulai bego, hahaha."
Uyan terlihat berpikir sejenak sebelum menurunkan batang rokoknya untuk dimatikan, lantas menuju mobil miliknya dan menuruti perintahku. "Wawancara?"
"Yep!"
---
Fortuner yang dikendarai Uyan berhenti tepat di depan pintu masuk hotel; membuatku bersiap untuk turun sembari mengatakan "Thank you."
KAMU SEDANG MEMBACA
RERE
General FictionRere- Revalina panjangnya- baru saja berulang tahun yang ke 30. Ia membeli kue ulang tahunnya sendiri, lantas bersiap untuk menaburkan harapan di atas lilin yang sedang menyala. Beberapa detik setelahnya, ia terburu buru untuk cepat meniup tiga lili...