SATU

36 4 1
                                    

Suara siaran berita pagi dari saluran televisi swasta beradu dengan bel kamar apartment ku yang dibunyikan berulang kali, ditambah ketukan pintu yang kurasa kata gedor lebih cocok untuk mendeskripsikannya.

Aku menjatuhkan guling tanpa sarung itu sembari mengerang. Maksudku, aku baru tidur jam tiga tadi setelah menyelesaikan film romansa yang tidak sempat kutonton di bioskop beberapa bulan lalu, jadi tak bisakah aku menikmati weekend pertamaku di bulan April plus hari ulang tahunku dengan tidur tenang tanpa gangguan setan pengetuk pintu atau semacamnya?

"Rere, bangun woy!"

Aku membuka mata dengan lebar ketika indra pendengarku menangkap suara berat kesukaanku. Lantas bangkit dari atas sofa untuk menuju pintu tanpa peduli pakaianku yang masih berbalut lingerie hitam.

"HAPPY BIRTHDAY!!! WUUU!!" teriak Piu, Nia dan Uyan bersamaan sedetik setelah pintu kamar terbuka, diikuti sentakan yang bertahan selama dua detik ketika memperhatikan setelanku pagi itu, dan kemudian ditutup dengan tawa.

Piu memimpin Nia dan Uyan untuk masuk ke dalam kamar apartment kecil milikku. Tidak seperti tamu kebanyakan yang memilih untuk duduk di atas sofa sembari menunggu diriku menyiapkan minum atau kudapan, ketiga sahabatku sejak masa putih abu itu langsung menuju kamarku dan menerjang kasur kesayanganku sembari membuka laci laci maupun storage box di sekeliling kamarku; "Lo pasti pindah dari rumah supaya bisa masturbate dengan aman dan tenang kan? Jadi lo pasti nyembunyiin sex toys di kamar ini!" kata Nia beberapa tahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di ruangan tersebut.

"Stop it, guys!" tegurku setelah menerima sodoran kaos putih kedodoran dari Uyan dan langsung mengenakannya; aku tahu Uyan kurang nyaman melihat detail tubuhku dibawah lingerie hitam yang cukup terawang tersebut.

"Thank you, by the way, udah ngerusuh pas ultah aku." lanjutku.

Nia bergerak mendekatiku yang juga duduk di atas kasur, kemudian melingkarkan lengan kecilnya di leherku dan mendaratkan belasan ciuman di pipiku; "You're our best friend, Re! No, i mean, we're like siblings, jadi of course kita bakalan ngerayain ulang tahun lo."

"Tapi aku jarang ada di ultah kalian, kan."

Uyan membuat desisan sstt panjang sebelum kalimatku berakhir, memaksaku untuk menoleh ke arah lelaki tersebut untuk kemudian melirik Piu yang sudah bermuka masam.

"Itu gak penting, Re. Yang penting lo masih mau jadi temen kita, dan here's your present!" ucap Piu setelah beberapa detik kami hanyut dalam hening.

Piu yang hari itu mengenakan dress floral berwarna cerah itu menyodorkan sebuah kotak ukuran sedang ke arahku; membuatku menggocangkan wadah tersebut setelah menerimanya. "Aku tau ini isinya apaan." ucapku diikuti senyum lebar.

Tebakanku benar.

"Thank you, guys!!" ucapku lagi ketika mengeluarkan sepasang Vans SK8-Hi Black and White dari kotaknya; well, ini merupakan SK-8 ketiga dari mereka bertiga sejak lima tahun terakhir.

"Kenapa sih kalo kita beliin yang lain gak mau dipake, Re? Tapi kalo SK8 dipake sampe bulukan, jebol, bau gitu." tanya Piu dengan posisi bersandar pada tumpukan bantal di atas kasurku.

"Ya lagian kamu ngasihnya heels, i mean, buat apa aku pake heels?"

"Ya simpen aja siapatau butuh suatu saat nanti."

"SK8 juga bisa dipake buat acara formal, kok."

"Ya dalem kamus hidup lo aja yang begitu!" ucap Piu sewot yang kemudian disambut tawa dari Nia dan Uyan.

Uyan akhirnya meletakan bokongnya pada salah satu kursi di pojok kamarku, tepat di sebelah lemari pakaian yang isinya setelan baju tak senonoh koleksiku yang biasanya kukenakan untuk mengatasi kegerahan hidup; semoga ia tidak membuka pintu lemari bagian tersebut.

"By the way, udah kepala tiga, Re. Gimana calon?" tanya Uyan yang membanting setir pembahasan ke arah yang lebih serius; atau ke arah bahasan yang paling kubenci.

Aku mendelikkan bahu, "Calon apa?"

"Gak usah pura pura bego!" sahut Piu.

Aku mendengus sebal. "Gak usah nodong pertanyaan gitu ke aku, dong, Yan! Kamu juga sebulan lagi kepala tiga and where's your calon?" tanggapku sedikit hilang kendali.

Keadaan menjadi hening setelahnya. Uyan tidak pernah berani melawanku, juga Piu dan Nia; terlebih ketika nada bicara kami sudah meninggi seperti yang kulakukan beberapa detik lalu. Ia memang satu satunya lelaki dalam pertemanan ini, tapi jika ditanya siapa diantara kami yang memiliki hati dan pemikiran paling lembut, jawabannya adalah Uyan.

"Oh iya, Re!" Nia berucap dengan setengah berteriak, membuat kami semua menaikan pandangan dan saling bertatapan.

"Gue masih punya kado buat lo." ucap Nia.

"Gue juga." sambung Piu sebelum kalimat Nia berakhir.

Nia dan Piu sama sama menyodorkan hadiah tambahan tanpa balutan kertas apapun tersebut ke arahku.

Dan setelahnya aku berteriak girang.

Aku memeluk kedua sahabat perempuanku itu. Ikut berbahagia atas pernikahan Nia dan Marco yang akan diselenggarakan sebulan lagi.

Juga turut bahagia menyambut kehadiran calon anggota geng kami yang masih berada dalam perut Piu.[]

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang