"Sini biar gue aja." Nia membantuku memindahkan wadah berisikan daging blackpaper dari dapur ke ruang tamu. Lantas Uyan ikut bergerak untuk memindahkan beberapa soda kaleng yang tercecer di area dapur; entah karena ulah siapa. Sedangkan Piu hanya duduk dekat jendela besar di apartemenku sembari memangku Disa yang saat itu sudah memasuki usia kedua.
Ponselku sudah berdering untuk yang ketiga kalinya, membuatku harus berlari lagi ke arah dapur dan menerima panggilan dari Nina tersebut, 'Mau dibawain apa aja?' tanya Nina tanpa basa basi di seberang telepon; mengingat tiga puluh menit lalu aku kekurangan gelas dan menyuruh Nina untuk membelinya di supermarket dekat kediamannya.
"Udah lengkap, sih, semuanya. Kamu aja sini buruan."
"Nunggu Mas Darma masih beli kopi." Yap! Nina sudah menikah dengan Mas Darma setahun lalu; diadakan kecil kecilan dengan hanya mengundang keluarga serta teman dekat, anggap saja kejadian mengerikan yang berkaitan dengan Egi saat itu juga membawa hal positif untuk perasaan terpendam Mas Darma untuk Nina. "Oke ya berarti gak ada yang kurang?" Aku mengangguk, lantas sadar kalau Nina tak akan bisa melihat anggukanku sehingga aku harus mengeluarkan balasan "Semua aman." sebelum ia mengakhiri panggilan.
"Ganti baju dah lo, Re. Bentar lagi Gio sama Marco datang." tegur Nia ketika berpapasan denganku; membuatku sontak meneliti detail pakaianku saat itu. "Ah, ya!" balasku sebelum melepas celemek dan berjalan cepat ke arah kamar, menarik dress hitam polos tanpa corak dari dalam lemari sebagai pengganti kaos putih polos yang dipadu celana pendek motif flamingo; outfit menyiapkan pesta kecil kecilanku sejak siang hari tadi.
Aku melangkah menuju cermin full body dekat tempat tidur; menata rambutku agar sedikit lebih rapi juga menambahkan sedikit riasan wajah. Tidak banyak, hanya membubuhkan bedak dan memoles bibir dengan lipstick berwarna peach sedikit cokelat.
Hari ini usiaku 33. Aku harus mengucapkan seribu terima kasih pada Bang Marco karena pekerjaanku yang sekarang cukup mendukungku untuk mengadakan pesta ulang tahun pertama dalam hidupku— walaupun tamunya tak lebih dari sepuluh orang, tapi setidaknya dekorasi khas ulang tahun, makanan lezat dan kue ulang tahun besar hasil pemberian Nia sudah cukup membuatku bahagia.
Seseorang mengentuk pintu kamarku dan mendorongnya. Aku tidak perlu membalikkan badan untuk tahu siapa yang melakukan itu karena refleksi sosoknya sudah terlihat di cermin kesayanganku. "Lo dicariin Piu" ucap Uyan yang berdiri dekat pintu dengan setelan pulang kerja khusus hari senin; kemeja putih dan celana bahan hitam, entah dimana ia meletakan tuxedo hitamnya.
Aku mendekat ke arah Uyan, "Tolong kancingin, dong, Yan." pintaku selagi menghadapkan bagian punggung pada sosok Uyan; yang langsung ia respon dengan menyingkirkan beberapa helai rambutku untuk melakukan apa yang ku perintahkan.
"Dah." ucap lelaki tersebut sebelum aku membalikkan tubuh dan berniat keluar untuk bertanya 'Ada apa?' pada Piu; namun semuanya terhenti ketika Uyan membuka kotak cincin dengan tulisan tangannya; Jadi temen hidupku, yuk! tepat di hadapanku.
Aku menghela nafas diikuti gerakan tangan yang memijat leher; takut akan sosok Uyan yang serius seperti ini. Maksudku, di usia 31 kemarin ia mati matian ingin menikah denganku; menawarkan menikah di KUA saja mengingat kondisiku yang semakin kacau saja tiap harinya. Dilanjut pada usaha kedua saat usia 32 mulai mendekat dan kutolak mentah mentah karena seseorang lebih membutuhkanku daripada Uyan saat itu. Dan kemudian hari ini; saat aku mulai nyaman dengan peranku sebagai wanita mandiri, aku tidak tahu harus merespon bagaimana, jadi yang dapat kukeluarkan hanya; "Jangan bercanda deh, Yan!"
"Bercanda apanya, sih? Gue serius mau nikah sama lo."
"Dan menerima Disa sebagai anak kamu?" tanyaku cepat hingga membuatnya bungkam.
Adisa Putri Revalina— atau kau bisa memanggilnya Disa— merupakan putri hasil hubungan gelapku dengan Mas Duta. Sebut saja aku bodoh karena tidak membahas perihal kehamilanku dengan Ayah Disa, namun percayalah, ini yang terbaik untuk Disa; akan aman baginya jika ia tidak tahu menahu siapa Ayahnya, dan akan aman pula bagiku jika Disa hanya dikelilingi oleh orang orang yang mencintainya seperti Piu, Gio, Nia, Bang Marco, Nina, Mas Darma, juga Uyan— orang orang yang juga mengasihi Mamah Disa disaat paling buruk sekalipun.
"Kita udah pernah bahas ini, Re. Lo tahu, gue udah menganggap Disa sebagai anak gue sendiri dari hari dimana dia lahir di dunia ini." Benar. Bahkan Uyan lah yang meng-adzani Disa di hari pertama putriku itu hidup di dunia.
Uyan mengeluarkan cincin dengan permata kecil di tengahnya, kemudian mengambil tangan kiriku untuk menyematkan benda berharga tersebut pada jari manisku. "Gue anaknya emang gak bisa romantis, Re. But, gue sayang sama lo, gue gak mau lo disakitin bajingan manapun lagi, gue mau jagain lo. I do love you..." ucap Uyan cukup panjang disertai senyum malu-malu yang membuatku ikut tersenyum. "...and Disa too, of course."
Aku tak menjawab; takut mengatakan iya dan menghapus status teman di antara kami yang bisa saja dimanfaatkan Uyan untuk memberikan kecupan bibir detik itu juga. Namun aku lebih takut mengatakan tidak untuk yang ketiga kalinya; bisa saja ini usaha terakhir Uyan dan setelahnya ia tidak lagi mengharapkan wanita tua dengan satu anak sepertiku lagi.
"Yan." panggilku setelah keheningan selama kurang lebih satu menit.
"Hmm..."
Aku mendekatkan diri ke arah Uyan; melakukan pelukan sembari menyandarkan kepala pada dada bidang milik calon lelakiku. "Is this a yes?" tanyanya.
"Maaf udah ngulur ngulur mulu." balasku.
"Rere ngapain sih, ah!" Piu tiba tiba saja mendekat ke area kamar; mendapatiku sedang berpelukan dengan Uyan yang membuatnya berteriak bahagia "Wow! Kayaknya Disa bakalan punya Papah, nih."[]
KAMU SEDANG MEMBACA
RERE
General FictionRere- Revalina panjangnya- baru saja berulang tahun yang ke 30. Ia membeli kue ulang tahunnya sendiri, lantas bersiap untuk menaburkan harapan di atas lilin yang sedang menyala. Beberapa detik setelahnya, ia terburu buru untuk cepat meniup tiga lili...