ENAM

37 4 0
                                    

Aku melihat Nina bergerak mendekat ke mejaku; menampilkan ekspresi wajah ceria yang justru membuatku khawatir dengan pendengaranku nantinya. "Beres?" tanyanya setelah tiba di area sekitar meja kerjaku.

"Yup!"

"Ke kafe baru di pertigaan sono yok!" suara yang dikeluarkan Nina saat sedang ada maunya memang membahayakan; terdapat lengkingan disertai nada suara menyerupai anak anak yang menjijikan. Apa ia selalu melakukan ini di depan Egi? dan apa Egi baik baik saja?

"Re!"

Aku melirik jam tanganku. 15 menit lagi menuju pukul 13.30- waktu yang ditentukan Piu untuk menjemput dan membawaku ke sebuah butik yang notabene merupakan tempat yang paling kubenci. "Aku ada janji, Nin."

Nina membuat wajah ah elah! yang memaksaku untuk mengatakan "Lagian tumben mau ke kafe baru. Kan kamu gak doyan ngantri lama-lama."

"Baristanya temen sekolah gue dulu, and believe me; Theo James versi indonesia itu nyata." jelas Nina sembari menarik kursi milik Herman untuk ditempati; memilih berdekatan denganku agar Egi tidak mendengar pembicaraan kami jika ia tiba tiba muncul hanya untuk melihat keberadaan Nina.

"Temen aku Julian juga pernah kamu bilang Theo James versi Indonesia waktu itu, kan." balasku sembari terkekeh.

Nina menyandarkan kepalanya di atas meja kerjaku; membuat tampang super sedih yang tidak akan mempan padaku jika dihantui bayang-bayang wajah marah Piu ketika aku tidak hadir dalam fitting baju untuk acara resepsi pernikahan Nia.

Di tengah omelan Nina dan celotehan lain seperti cara berpakaian Fira- si anak magang- yang menyerupai oma-oma berusia 80 tahun, aku melihat seorang perempuan dengan potongan rambut pendek yang memasuki daerah ruang kerjaku; sedang menoleh kanan kiri seperti sedang mencari seseorang.

"Ki?" tegurku ketika merasa perempuan tersebut dapat mendengar suaraku. Benar saja, yang dipanggil menatapku sejenak untuk kemudian mendekat. "Re, Mas Duta di kantor kan?" tanyanya langsung pada inti.

Aku melirik Nina sejenak; mendapati dirinya setengah menganga karena takjub. Sedangkan aku lebih pada perasaan lega karena hari ini Kiara tidak menarik rambutku kasar dan menuduhku perebut suami orang seperti video amatir yang sering Nina tonton dari sosial media; atau mungkin belum? Namun yang ku tahu, ibu ibu rempong yang berada dalam satu perkumpulan dengan Kiara tersebut tidak membawa nama ataupun wajahku dalam laporannya.

"Di atas gak ada? ruangannya di atas."

"I know kalo ruangannya di atas. Kalo dia ada di meja kerjanya, sekarang gue gak kayak orang kebingungan gini!" respon Kiara disertai gerakan membersihkan peluh tak kasat mata pada daerah dahi; entah karena ia merasa benar benar terdapat peluh di daerah sana atau karena ingin memamerkan pouch besar bahan kulit buatan designer yang sebenarnya tidak membuatku tergiur.

"Mungkin lagi makan siang di luar. Mau titip pesan gak, Mbak? Nanti saya sampaikan karena saya istirahat di sini, kalau si Reva ini mau keluar dan mungkin gak balik." tawar Nina dengan sopan mengingat perempuan yang berdiri di hadapannya tersebut adalah istri dari atasannya.

"Emang gue keliatan kayak mau titip pesan? Kalau gitu mending gue WA aja laki gue, atau nitip ke resepsionis." Dan Kiara tetaplah Kiara; tidak melihat dengan siapa dia bicara atau dengan tata krama semacam apa lawan bicaranya memulai percakapan, ia akan selalu ketus.

"Ki." tegurku; merasa perlu mendinginkan Kiara sebelum Nina menjadi kesal dan terjadi perkelahian di tengah ruang kerja yang cukup sepi siang itu; maksudku, aku tidak ingin menjadi satu satunya yang terluka. "Coba dihubungin aja Mas Dutanya. Dan kamu nunggu di ruangannya aja, di sana lebih dingin."

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang