SEBELAS

22 3 0
                                    

Mas Duta menyodorkan secangkir kopi sembari menjatuhkan diri di salah satu sisi kasur; tepat di sebelahku, lantas ia menyesap kopinya perlahan sebelum tersenyum ke arahku untuk meminta izin bermain ponsel sebentar; menghentikkan sementara pembicaraan kami sebelumnya yang sudah berlangsung setengah jam lamanya, sebagian besar membahas tentang Nina yang berniat mengundurkan diri karena malu setelah seisi kantor telah mengetahui hubungan gelapnya dengan Egi, dilanjut dengan cerita pertemuanku dengan Arya siang tadi.

Aku mengangkat cangkir berwarna putih polos tersebut hingga mendekati hidung, kemudian menghirup aroma kopi yang kutebak merupakan mocca dengan sedikit tambahan hazelnut syrup. Sudah lama aku tidak menikmati campuran mocca dan hazelnut kesukaan Mas Duta yang selalu kusebut aneh ini.

Lelaki yang sedari tadi berbicara dengan seseorang dalam panggilan telepon itu memilih bangkit dan menempatkan diri di meja kerjanya sembari mengutak atik lembaran kertas yang tersuguhkan di atasnya. "Okay. Sip. Thank you." tutupnya setelah aku meletakan gelas di atas bedside table yang hanya diisi lampu tidur dan beberapa karet rambut milik Kiara.

"Sorry."

"No, it's okay."

Aku selalu suka bagaimana cara Mas Duta meminta maaf setelah mengabaikanku sebentar karena masalah pekerjaan; seakan ia benar benar menempatkanku pada posisi penting. Pernah satu kali ia membentak seorang rekan kerja yang baru menghubunginya sebanyak dua kali hanya karena sedang makan malam di luar bersamaku.

Ditambah kebiasaannya setelah mengatakan maaf; mendekatiku untuk mendaratkan beberapa kecupan, kemudian tersenyum disertai tawa kecil, seakan hanya dengan menciumku bisa membuatnya berada pada puncak kebahagiaan.

"So, lanjut ke ceritamu tadi—" Ia merebahkan kepalanya di atas pahaku; mengisyaratkan agar aku mengelus puncak kepalanya sembari bermain dengan rambut gelombangnya. "—jadi, your ex udah bener bener berubah jadi cewek?"

Aku mengedikkan bahu, "Well, aku gak bener bener ngecek kelaminnya, but dia bilang seperti itu, dan kelihatannya juga dia seperti perempuan."

"You okay with that?"

"Emangnya kenapa? Hubunganku sama dia udah berakhir...." Aku kembali mengedikkan bahu; kali ini bermakna pasrah. "...lima tahun lalu."

Mas Duta tiba tiba saja bangkit dari posisinya; menatapku dengan tatapan paling bahagia seakan berhasil menemukan sesuatu yang berharga dalam diriku. "Padahal lo udah pernah ngomong gitu; udah-berakhir-thing. But barusan, it sounds real; kayak lo benar benar ngelepas mantan lo itu."

Aku terdiam. Apa benar begitu? Apa terlihat senyata itu ketika aku mengatakan 'aku sudah melupakan Arya' yang baru kusadari bermakna 'andai saja aku bisa memperbaiki semuanya dengan Arya'?

Apakah Uyan, Piu dan Nia merasakan hal yang sama? pun Mama?

Apa hanya aku yang menyangkal semuanya; berlagak mencintai Mas Duta dengan segala sifat maskulinnya, namun dalam hati kecilku merindukan sosok manis Arya?

"Hey." Mas Duta menyentuh pipiku dengan tangan kanannya, mengelus area tersebut pelan hingga pikiran mengenai Arya memudar secara perlahan.

"I love you, gue gak peduli tentang perasaan lo ke Arya. You're mine now, and i'm yours."

Wajah lelaki itu mendekat hingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang seirama denganku; "So, marry me and i'll make you the happiest woman in the world." bisiknya yang membuatku langsung melumat bibirnya.

Aku tidak mengeluarkan jawaban. Sejujurnya, aku tidak ingin menjawab; jadi aku membiarkan Mas Duta menebaknya lewat sentuhan yang kuberikan. Tak masalah jika ia salah menebak, masih ada malam esok, esoknya lagi, esoknya lagi, dan esok untuk ia mencari jawabannya.

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang