Uyan membuka pintu mobil dari arah luar; diam selama beberapa detik hingga aku memutuskan untuk turun tanpa alas kaki. Aku tidak ingat dimana aku melepas sepasang sepatu milik Eca tersebut, juga tidak peduli terhadap tatapan marah Eca ketika hampir separuh ruangan sudah menatapku jijik.
Lelaki yang sedang bersamaku saat itu sudah beberapa kali menawarkan sepatu yang memang selalu ada dalam bagasi mobilnya, namun aku selalu menolak, maksudku rasanya tak akan nyaman memasukkan kaki ukuran 40 dalam sepatu berukuran 44.
"Don't look at me like that." tegurku sembari melangkah menuju pintu masuk rumah tahanan.
"What?"
"Kamu ngeliat aku kayak aku ini barang rusak." Uyan menyentuh tanganku untuk dibawa masuk dalam genggamannya, namun aku menolak secara kasar. Terakhir kali aku membiarkan seorang lelaki melakukan itu, aku mendapat tamparan fisik— pun mental.
"Lo serius mau ketemu dia?" tanya Uyan untuk yang kesekian kalinya; merasa kurang yakin dengan keputusanku dua puluh menit lalu untuk mengunjungi salah seorang penghuni rumah tahanan, mengingat pertemuan terakhirku dengan beliau tidaklah baik.
Aku melakukan anggukan tunggal sebelum Uyan berjalan mendahului untuk berbicara dengan penjaga rumah tahanan hari itu. Satu menit, dua menit, hingga tujuh menit berlalu tanpa mendekati kesepakatan; memaksaku untuk maju mendekat hingga dua orang petugas melihat penampilanku yang kacau, baru lah setelahnya mereka mengizinkanku masuk untuk bertemu Mama.
Mama muncul lima menit setelah aku tiba di sebuah ruangan yang kurasa merupakan ruang kunjungan. "Reva...." Perempuan dengan bobot tubuh dibawah rata rata itu mendekat untuk menyentuh lenganku, "...kamu kenapa, nak?" tanyanya dengan mata berkaca saat melihat rambut acak disertai riasan wajahnya yang sama kacaunya; seakan sedang melakukan kompetisi menangis denganku yang sudah lebih dulu menitikkan air mata.
"Mah..." Mama mengusap lenganku lembut seperti yang sering ia lakukan saat masa kecilku; saat dimana ia masih sering berada di rumah untuk menemaniku bermain. "Mah, Rere ngelakuin kesalahan yang sama kayak Mamah." ucapku yang balas mengenggam tangan Mama; merasakan kulitnya yang mulai kasar entah karena apa.
"Maafin Rere."
Mama menggeleng beberapa kali. "Mamah yang harusnya minta maaf, sayang. Maaf karena kamu yang harus nanggung dosa Mamah." ucapnya dengan menahan tangis yang justru membuat keadaan menjadi semakin sendu.
"Nak, lepaskan, ya."
Aku merespon kalimat Mama dengan gelengan kuat, "Rere cinta, Mah, sama dia. Apa cinta aja gak cukup?" balasku disertai isakkan. Mama tak membalas; ia juga terlihat enggan menasihatiku dengan strategi pintar apapun karena toh, dia tidak pernah lulus dalam fase melepaskan pria yang berstatus sebagai suami wanita lain.
"Kenapa cinta gak pernah cukup, Mah? Rere cinta sama Arya, dan Arya malah nyakitin Rere. Rere juga cinta sama Mama, tapi Mama malah ninggalin Rere dua kali...."
Kenangan itu kembali terputar dalam pikiranku; ketika Mama mengenalkanku pada seorang pria usia separuh abad dengan pakaian rapi nan mahal. Saat itu, aku yang berusia lima belas tahun cukup terbuai dengan barang barang mahal pun cantik yang diberikan calon ayahku— seperti yang selalu disebut Mama. Tiga minggu setelah perkenalan sederhana di rumah makan dekat komplek, Mama pergi bersama lelaki itu, meninggalkan aku di rumah Kiara yang saat itu masih mengenakan seragam merah-putih. Mama pergi sebulan, dua bulan, tiga bulan, hingga satu tahun lamanya tanpa kabar. Yang kutahu, Mama sedang bekerja, namun barulah kusadari pekerjaan Mama adalah sebagai simpanan seorang lelaki beristri.
Tenang saja, Mama kembali di tahun kedua sejak kepergiannya. Ia bersujud di kakiku sembari menangis dan meminta maaf. Namun nyatanya, maaf yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata tanpa makna; karena selang beberapa bulan, Mama berulah lagi dengan lelaki lain yang jauh lebih kaya. Ia kembali menekuni pekerjaannya favorite nya sebagai pelacur pribadi lelaki hidung belang yang tidak puas dengan permainan istri sahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RERE
Fiction généraleRere- Revalina panjangnya- baru saja berulang tahun yang ke 30. Ia membeli kue ulang tahunnya sendiri, lantas bersiap untuk menaburkan harapan di atas lilin yang sedang menyala. Beberapa detik setelahnya, ia terburu buru untuk cepat meniup tiga lili...