TIGA

23 4 0
                                    

Uyan menyodorkan kopi kemasan botol setelah aku berhasil menempati salah satu kursi yang mengelilingi meja makan; Uyan tau persis rasa benciku terhadap kopi handmade setelah berpisah dari Tuan Kopi lima tahun lalu.

"Pagi, Bang Marco" sapaku pada seorang lelaki bercelemek abu yang sedang menyediakan sarapan. Yang kusapa menoleh cepat; membuat gumpalan rambut yang ia ikat di belakang kepalanya ikut tergerak, lantas tersenyum memperlihatkan giginya yang rapi.

"Gue kira lo Eca, Re" jawabnya.

Aku hanya tersenyum miring; tak ingin menyalahkan penglihatan Bang Marco yang kacau karena memang perawakanku yang terbilang mirip dengan Eca- adik kecil Uyan dan Bang Marco yang tidak jelas kehidupannya, bahkan untuk tempat berpulang saja dia tak dapat ditebak; kadang bersama Ibunya, atau suatu pagi mendarat di rumah ini, bahkan pernah ditemukan di sebuah guest house dekat kantorku.

Terlebih, pagi ini Uyan memaksaku untuk mengenakan dress hitam tanpa lengan super ketat milik Eca. Semakin miriplah diriku dengan perempuan aneh bin ajaib tersebut.

"You look like a hot lawyer than a journalist" ucap Bang Marco setelah meletakan tumpukan pancake di tengah meja makan, lantas melepas celemek abu yang sudah ternodai di beberapa daerah dan ikut bergabung di meja makan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"You look like a hot lawyer than a journalist" ucap Bang Marco setelah meletakan tumpukan pancake di tengah meja makan, lantas melepas celemek abu yang sudah ternodai di beberapa daerah dan ikut bergabung di meja makan.

"Well, thank you?" balasku.

Ada sedikit cemas mengenai bayangan hari ini yang rencananya akan kuiisi dengan wawancara dengan beberapa narasumber yang notabene merupakan pengisi acara event ulang tahun sebuah komunitas; yang artinya aku akan berpanas-panasan ria dan mandi peluh dalam pakaian norak milik Eca ini.

"Gue pergi duluan ya." Bang Marco berdiri dari kursinya sembari membersihkan kemeja biru terangnya, lalu menarik jas hitam yang berada di dekatnya. "Re, mau nebeng ke kantor?" tawarnya.

"Rere sama gue aja, Co" sahut Uyan yang masih menikmati pancake selai cokelat dan parutan keju kesukaannya.

Aku melempar anggukan tunggal pada Bang Marco yang menunggu keputusanku, "Yap! Aku ikut Uyan aja, Bang."

"All right."

"Ke rumah aku dulu, ye. Ambil tas kerja sekalian ganti baju" ucapku yang ditujukan pada Uyan setelah terdengar suara pintu ditutup yang menandakan Bang Marco sudah benar benar keluar dari rumah.

"Don't you dare!"

"Apaan?"

Uyan menelan suapan terakhir, meneguk kopi racikan sendiri secara perlahan lahan, lantas "Kita musuhan kalo sampe lo ganti baju."

"I looks like a whore!" ucapku dengan nada tinggi yang langsung disambut gumaman panjang dari mulut Uyan. "Apaan, sih, you are beautiful."

Revalina usia 17 tahun mungkin akan terbuai dengan kalimat semacam itu. Revalina usia 20 tahun juga mungkin masih bersemu ketika bertemu susunan kata tersebut; bahkan ketika tahu fakta bahwa yang mengucapkannya adalah sahabat lelakinya. Namun aku- Revalina usia 30 tahun- tidak lagi nyaman mendengarnya. Jadi aku hanya mengambil potongan buah kiwi dengan tangan kanan dan melemparnya ke arah Uyan, "Basi!"

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang