SEPULUH

21 3 0
                                    

Mas Darma menyodorkan pakaian bersih yang entah ia dapat darimana; menyuruhku untuk segera membersihkan diri setelah berinteraksi cukup lama dengan salah satu petugas kepolisian untuk membahas Egi serta mengorek informasi sedalam-dalamnya.

"Beres?"

Aku memberi anggukan tunggal, "Beres."

Lelaki dengan kacamata tebalnya tersebut meletakan telapaknya di belakang punggungku sembari menuntunku untuk duduk di salah satu kursi dekat ruangan Nina. "Masih ada satu operasi lagi yang harus dijalani Nina, dan setahu gue, Nina gak ada asuransi. Pihak rumah sakit gak bakal tindak lanjut operasinya kecuali kita bayar, ya, seenggaknya setengahnya, lah." ucap Mas Darma tanpa basa-basi sedikit pun setelah melihatku mendarat di atas kursi hitam berbahan besi tersebut.

Aku menampilkan air muka frustasi yang diikuti gerakan menyapu area wajah menggunakan telapak tangan, "Seberapa mahal biayanya?" tanyaku langsung yang juga tanpa ba-bi-bu karena beberapa tahun lalu, Nina juga pernah membantuku melunasi biaya rumah sakit ketika operasi usus buntu; walau sebenarnya bantuan lebih dulu datang dari Uyan, Piu dan Nia yang dengan ringan mengeluarkan benda bernilai tersebut tanpa mengharap balasan apapun.

Mas Darma mengeluarkan secarik kertas berisikan detail biaya rumah sakit Nina; membuatku menghela nafas berat diikuti mata berkaca, "Gue bantuin, Re. Tapi, ya, duit gue seadanya juga."

"Mas, tabunganku aja gak nyampe setengahnya, loh." balasku dengan nada bingung, pun penuh harap.

"Kita kabarin anak anak kantor?" saran Mas Darma yang ku respon dengan gelengan singkat.

"Aku coba ngomong ke Mas Duta dulu."

Mas Darma setuju dengan pendapatku dilihat dari gerakan mengangguk dan menyandarkan punggung yang ia lakukan tanda pasrah. Setelahnya, aku bangkit dan berniat membersihkan diri; mengganti pakaian dan sedikit membenahi tatanan rambut karena label wanita frustasi sudah benar benar terlihat dari penampilanku siang itu.

Aku tanpa sengaja melihat Uyan berjalan dengan blazer biru gelap yang ia letakan di atas pundak secara asal, ditambah rambut acak dan wajah teler akibat kurang tidur. Ia mengikuti langkah perempuan yang terlihat sama kacaunya denganku namun masih berbalut kain mahal, juga menjinjing tas rancangan designer favoritnya; dan dari potongan rambut pendek disertai kacamata bulat yang hanya ia kenakan ketika malas merias wajah itu aku mengetahui bahwa perempuan itu adalah Piu.

Aku masih membuat langkah kecil-kecil tanpa keinginan untuk menyapa Uyan lebih dulu; tidak ingin bayangan dini hari tadi terulang kembali di otakku dan membuatku kembali mual, maksudku, cukuplah tidak sarapan hari ini saja yang membuatku mual, bukan bentuk Uyan yang telanjang tanpa sehelai kain yang bersentuhan dengan Nia.

"Re? Ngapain?" tegur Uyan pada akhirnya ketika hanya tersisa lima langkah di antara kita; setelah lelaki itu berhasil melepas pandangan dari ponselnya, tentu saja.

"Temen kantor aku si Nina sakit." jawabku dengan sedikit nada gelisah yang kurasa berhasil ditangkap dengan jelas oleh Uyan; membuat lelaki di hadapanku tersebut mengelus pelipisnya disertai senyum penuh rasa bersalah, "Gue harus nemenin Piu, Re. Um.....bye?" ucapnya yang kusambut dengan anggukan sebelum memutuskan untuk memutar badan ke arah kanan.

"Ups!" reflekku ketika menabrak seorang lelaki dengan scarf abu gelap untuk menutupi sesuatu pada lehernya. Uyan sempat menangkap lenganku; menahan agar sosokku tidak benar benar jatuh hanya karena tubrukan kecil yang terjadi cukup cepat tersebut.

"Oh my god, Arya?!"

Aku menoleh ke arah Uyan terlebih dahulu; memastikan jika kalimat yang ditangkap indra pendengarku merupakan suara Uyan, kemudian barulah menatap lelaki dengan luka pada lehernya tersebut.

RERETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang