Gadis itu pergi bergegas menemui bu Allysa. Pelatihan olimpiade dilakukan di aula. Aula kanan tempat biologi, aula tengah kimia, dan aula kiri untuk fisika. Sementara ekomoni dan geografi di aula atas. Zie menuju ruangan itu. Hanya ada dua orang yang mengikuti olimpiade biologi. Satunya lagi laki-laki, gadis itu tidak mengenalnya sebelumnya. Kemudian di sampingnya sudah ada ibu Allysa.
Gadis itu mulai belajar dengan bu Allysa sebagai mentor. Mereka membahas materi dan soal bersama. Sesekali Zie berdebat dengan laki-laki itu dan bu Allysa karena jawabannya berbeda.
Setelah selesai belajar dan berdiskusi, mereka pun pulang. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat. Zie tidak meminta papa menjemputnya karena papa juga baru pulang dari kantornya. Ia memutuskan untuk naik bus.
"Nih catatan lo tinggal di aula," Zie menoleh ke arah samping. Ternyata ada laki-laki tadi di sebelahnya. Zie kemudian mengambil buku itu dari tangan laki-laki itu.
"Oh ya, kenalin Zieva nama Gue Rian," ucapnya sambil menyodorkan tangannya.
Gadis itu tersenyum kemudian sebuah motor datang sebelum Zie menjabat tangannya. Ia menoleh ke arah motor itu dan ternyata pengemudinya Devin.
"Devin," sapa gadis itu.
Laki-laki itu menurunkan tangannya karena ada Devin.
"Zie, ayo pulang." ajaknya. Tidak seperti biasanya, nadanya sedikit dingin.
Gadis itu menatapnya heran. Tapi juga menuruti permintaannya.
"Rian, Aku duluan ya," ucap gadis itu.
"Iya, hati-hati ya." sahutnya.
"Kenapa ajak pulang bareng?" tanya Zie pada laki-laki itu.
"Kan udah janji antarin pulang, lagi pula jam segini udah gak ada bus tahu Zie," ucap Devin.
"Oh iya, Aku lupa," lirihnya.
"Aku nunggu kamu di parkiran tau, dari pulang pelatihan tadi. Eh tahunya di halte. Sama cowok lagi," ucapnya dengan nada menekankan pada kata cowok.
"Aku kan lupa. Yang tadi itu dia juga ikutan pelatihan biologi," sanggahnya.
Laki-laki itu hanya diam. Kemudian Devin mengeluarkan suara lagi.
"Ya sudah. Aku cuma gak mau kamu kenapa-napa," ucapnya kemudian setelah itu mereka hanya diam menikmati angin yang berdatangan di atas motor itu.
"Udah sampai Zie," katanya pada Zieva.
Zie kemudian turun dari motornya.
"Makasi Apin," ucap Zie tersenyum manis.
"Jangan panggil Apin ih," sahutnya memalingkan muka.
"Lucu deh kalau Apin gitu,” goda gadis itu sambil tertawa tipis.
Kemudian mama datang menghampirinya
"Eh ada nak Devin. Ayo masuk dulu," ajak Mama.
"Gak usah Ma, udah hampir gelap." jawab Devin.
"Udah magrib nak. Gak baik jalan magrib-magrib begini. Salat sama makan malam dulu ya," sahut mama.
"Ya udah deh Ma," ucap Devin.
Selepas salat, mereka makan malam bersama.
"Devin kok pulang lama juga? Nungguin Zieva pulang pelatihan?" tanya Mama.
"Enggak Ma, Devin juga ikut pelatihan." sahut Devin.
"Pelatihan olimpiade juga?" tanya Mama menatap Devin kemudian dibalas anggukan olehnya.
"Olimpiade apa?" tanya Papa yang kini ikut berbicara.
"Kimia Om," sahut Devin.
"Kimia? Jago kimia dong?" tanya Papa lagi. Kini matanya berbinar-binar. Antusias dengan obrolan itu.
"Tahun lalu sih juara 3 nasional om," ucap Devin.
Ada rasa bangga di mata papa yang dapat gadis itu lihat. Zie pun merasa takjub mendengar ucapan Devin. Ternyata Devin pintar juga.
"Wihh kereen kak," Rehan menimbrung.
"Devin," panggil papa.
"Iya om?" tanya Devin.
"Tau gak, Om dulu nembak mamanya Zie pakai kata-kata romantis dari kimia loh," Papa kini mulai antusias berbicara dengan Devin.
"Ini nih, gombal yang paling papa ingat. Ditha, kamu tahu tidak? Dalam kimia itu, gak ada bilangan kuantum mana pun yang bisa mengukur cintaku padamu." ucap papa tertawa kecil.
"Papa masih ingat tuh, waktu itu pipi Mamanya Zie ini bersemu merah," ucap Papa.
"Papa ih," mama mencubit lembut lengan papa. Seperti anak muda yang lagi marah dengan sang kekasih.
Kemudian diikuti tertawa kecil oleh semuanya.
Usai makan malam, Devin pamit pulang. Lalu, gadis itu membereskan piring-piring kotor di meja makan.
"Devin jago kimia ya mirip dengan papa," papa tersenyum lembut pada gadis kecilnya itu.
"Jago Papa lah. Papa kan jagoannya Zie," ucap Zie tertawa.
"Pada waktu yang tepat, jagoan itu akan beralih menggantikan papa," sahut laki-laki paruh baya itu.
Seketika gadis itu terhenti membersihkan meja makan.
"Papa kok ngomong gitu sih? Gak ada yang bisa menggantikan jagoannya Zie, Pa." Balasnya.
Papa hanya tersenyum lembut mendengar balasan putri kecilnya itu. Ia pun naik ke lantai atas.
Zie merebahkan badannya di kasur sambil memikirkan perkataan papa yang tidak mau ia dengar. Ia bahkan tidak pernah berpikir ada seorang pun yang menggantikan papa sebagai jagoan pertamanya. Sesaat setelah itu, ia mendengar notifikasi di telepon miliknya.
“Udah sampai nih cantik, salam buat orang rumah yang lucu tadi. Balas ya, jangan lama-lama balasnya. Tapi gak papa kok hehe, tunggu reaksi atom Natrium dengan atom Klorida menghasilkan NaCl aja Aku sanggup. Apalagi tunggu kamu, send a love”
Zieva membaca pesan itu dengan saksama. Kini, ia merasakan ribuan kupu-kupu menari di hatinya. Gadis itu kemudian membalas pesan dari sosok yang membuatnya tak karuan itu sambil tersenyum dan sesekali tertawa kecil.
Gadis itu terbangun pukul tiga dini hari karena merasakan dingin pada ruang kamarnya. Ternyata dari tadi malam, ia ketiduran di lantai bersama soal-soal biologi. Usai bangun, ia tidak tidur berniat melanjutkan tidurnya. Ia bergegas melaksanakan salat tahajud dan langsung membaca buku biologinya lagi. Kemudian fajar datang dengan sinarnya.
Gadis itu bergegas berangkat menuju sekolah. Kali ini ia pergi bersama adiknya. Papa sudah berangkat karena ada rapat penting dengan rekannya. Ia sampai di kelas. Suasana pagi itu masih sepi. Hanya ada ia dan Lina, anak kutu buku berkaca mata di kelasnya. Dia juga sering terkena bullying karena penyendiri, sama dengan Zieva. Ketika jam menunjukkan pukul 7 barulah teman sekelasnya berdatangan. Mereka duduk rapi di bangkunya masing-masing. Ada yang baca buku, baca novel, baca wattpad, main handphone, selfie dengan sinar matahari pagi, main game, dan juga bergosip ria dengan teman sebangkunya. Gadis itu memilih untuk membaca novel sambil menunggu guru tiba. Karena hari itu adalah pelajaran yang cukup seru menurutnya. Hanya ada Bahasa Indonesia, Seni Budaya, dan Biologi.
Bu Ranti guru Bahasa Indonesia berjalan masuk ke kelas XII MIPA 2, guru dengan perawakan berkaca mata, langsing, umur kisaran lima puluhan dengan gaya jilbab yang khas. Seisi kelas belajar dengan tenang bersama ibu itu. Kali ini mereka membahas soal saja. Hingga ibu Ranti membacakan sebuah cerita rakyat yang cukup panjang.
"Ngantuk Gue, kayak baca dongeng mau tidur," suara pelan salah satu murid di kelas itu yang dapat terdengar.
"Gini amat ya bahasa Indonesia. Mata gue susah melek nih," tambah murid yang lain.
Ibu itu berhenti membaca. Dan melirik ke arah sekeliling kelas.
"Junoo!!" sorak bu Ranti dari tempat duduknya.
Juno masih asik tidur bersama mimpi-mimpinya. Ia bahkan tidak mendengar panggilan bu Ranti.
"Tryan, bangunin teman kamu tuh," suruh bu Ranti sambil mengeluarkan handphone nya yang berdering.
"Hallo,-" bu Ranti mengangkat handphone nya.
"Juno bangun woi!! Bu Ranti mati mendadak tuh, Woi Junoo keboo!!" ucap Tryan yang sedikit dilambatkan karena takut terdengar bu Ranti.
Juno langsung mengangkat kepalanya.
"Hah! Mati mendadak? Innalilahi wa innailaih irajiun," sorak Juno.
Bu Ranti mematikan handphone nya. Teman sekelasku sudah susah payah menahan tawa.
"Siapa yang mati mendadak?" ucap Bu Ranti cemas.
"Ibu Bu," sahut Juno yang masih setengah sadar.
"Apa? Kamu doain Saya mati mendadak?!" pekik Bu Ranti.
"Tapi Tryan yang bilang Bu," sanggah Juno.
"Enggak kok Bu. Saya bilang ayam saya yang namanya Kinanti. Tadi pagi dia mati mendadak Bu, kasihan saya," sahut Tryan yang pandai mencari alasan.
"Dia bilang Bu Ranti mati mendadak Bu. Sumpah, Saya gak bohong." Juno meyakinkan bu Ranti.
"Sudah-sudah. Kalian berdua sama saja. Sekarang kalian yang baca cerita ini," suruh bu Ranti.
Bu Ranti memilih untuk melanjutkan pelajaran daripada berdebat dengan murid yang membuat emosinya naik turun itu. Ia meminta Tryan dan Junon membaca cerita dengan berdialog. Masih baik mereka dimaafkan, akan berbeda jika ini berurusan dengan bapak Aldi guru fisika di kelas itu, mungkin mereka berdua sudah disuruh lari delapan keliling.
Saat yang menegangkan bagi murid unggulan di sekolah itu datang. Olimpiade sudah di depan mata, Zie berangkat dengan bus sekolah untuk pergi ke tempat pelaksanaan lomba. Banyak sekolah lain yang sudah berdatangan di sana. Dia dan Rian sebagai tim biologi sudah masuk ruangan dan siap untuk bertempur.
Semua peraturan lomba sudah siap dibacakan. Para peserta dipersilakan untuk menjawab soal itu dengan sebaiknya. Hingga akhirnya ujian pertama selesai. Usai itu, mereka diberi waktu istirahat untuk mendengar siapa yang maju di babak selanjutnya. Kini, Zie dan Rian duduk di bawah pohon SMA Nusantara sambil memakan makanan kotak yang sudah diberikan saat di ruangan tadi.
"Eh Kamu jawab soal tadi semuanya?" tanya Rian.
"Ya tergantung sih. Kalau menurutku benar ya Aku isi. Kalau ragu dan gak tau Aku tinggalin. Kan sistem minus," sahut gadis itu.
"Iya Aku juga," balasnya.
"Ngomong-ngomong, kamu sama yang ikut olimpiade kimia di sekolah kita, dekat ya?" tanya Rian.
"Ya dibilang dekat sih iya. Tapi cuma teman," jawabnya.
"Oohh," balas laki-laki itu tersenyum.
Tiba-tiba Devin datang dan langsung duduk di samping gadis itu. Kini, Zie berada di tengah-tengah Devin dan Rian.
"By," sapa Devin.
“By?” sahut gadis itu bingung.
“Sayang aku kok bingung gitu,” ucap Devin tersenyum.
“Gimana tadi, By? Aman?” tanyanya menoleh ke arah gadis itu, memberikan senyumnya yang begitu manis dilihat.
"Ya ga gimana-gimana. Susah-susah gampang," sahutnya yang masih bingung dengan sifat Devin yang menurutnya lucu.
"Kamu gimana?" balas Zie.
"Ya ga gimana-gimana sih. Susah-susah gampang," balas laki-laki itu tertawa kecil menatap dalam gadis yang berada di sebelahnya.
"Eh ada orang lain ya di sini," ucap Devin.
"Kenalin Gue Devin," ucap Devin menyodorkan tangannya pada Rian.
"Gue Rian," balasnya menjabat tangan Devin.
"Ya gue saranin aja gak usah terlalu dekat. Udah ada gue soalnya," ucap Devin.
Rian hanya tersenyum mendengar ucapan Devin. Zie yang mendengar percakapan dua orang di sampingnya hanya diam tak bersuara. Matanya melirik pada sosok Devin yang membuatnya terkagum-kagum. Antara kesal dan bahagia mendengar ucapan dari laki-laki itu. Hingga akhirnya percakapan itu terhenti ketika suara speaker berbunyi.
"Diharapkan tenang semuanya. Panitia akan menyebutkan nama-nama yang akan maju ke babak berikutnya. Bagi nama yang disebut, silakan masuk ke Aula atas. Pada tim biologi ada Raysa Khaira dengan nomor 237, kemudian Kayla Maharani dengan nomor 096, Febby Latifah dengan nomor 495, kemudian Hasan Bahri dengan nomor 369, dan Zieva Ranaya dengan nomor 197," panitia berhenti sejenak.
Devin yang di samping gadis itu kegirangan mendengar nama Zie disebut.
"Zie nama kamu disebut Zie. Duh pintar selamat yaaa," ucap Devin mengelus-elus rambut gadis itu.
"Iya, Makasi vin," ucap gadis itu bahagia.
"Selamat ya Zie, buat bangga sekolah kita," ucap Rian.
"Iya, Makasi Rian," sahutnya lagi.
"Selanjutnya pada tim Fisika ada Rio Aldiro dengan nomor 086, Geraldy Safyan dengan nomor 132, Vino Frebyan dengan nomor 200, Salamah dengan nomor 210, dan Aisha Humaira dengan nomor 079,"
"Pada olimpiade kimia ada Fahri Aized dengan nomor 318, kemudian Fakhrul Kurnia dengan nomor 155, Serly Donna dengan nomor 468, Devin Anggara dengan nomor 182, dan Rayni Hayati dengan nomor 331,"
"Wah selamat ya Apin," ucapnya Zie bahagia pada laki-laki di sampingnya.
"Iya, hehe," balasnya malu-malu.
"Selamat bro," ucap Rian.
"Makasi bro," sahut Devin.
"Diharapkan pada yang telah disebutkan agar masuk ke aula atas untuk melanjutkan babak penentuan, sekian terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," Panitia menyelasaikan pembicaraan.
Zie dan Devin berbarengan menuju aula atas untuk babak terakhir. Mereka mengerjakan soal di babak terakhir dengan hati-hati. Hingga babak terakhir berakhir. Sekarang mereka tinggal menunggu hasil. Ia menyerahkan segalanya pada Tuhan Yang Maha tahu.
Setelah beberapa jam menunggu, hasil yang ditunggu oleh peserta pun keluar. Devin mendapat juara dua, dan gadis itu meraih juara 3. Mereka membawa piala pulang dengan rasa bangga dan penuh haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]
Teen FictionZieva Ranaya, gadis manis yang selalu berpikir kehidupan SMA menyebalkan. Masa SMA gadis itu hanya ditemani oleh ketiga sahabat yang ia punya. Tak ada hari-hari spesial dalam hidupnya sebelum ia mengenal sosok laki-laki yang mampu mengubah dirinya. ...