9

2.4K 192 9
                                    

Mereka mendengar pengumuman agar masing-masing tim segera bersiap. Gadis itu menatap Devin yang  tidak menghiraukan panggilan yang masuk pada ponselnya sedari tadi.
 
"Kalau kamu masih kayak gini, aku gak bakalan ikut turnamen hari ini," ucap Devin serius.
 
Zie yang tidak mau bertemu kedua sahabatnya karena tidak mau membuat mereka sedih, namun  akhirnya ia mengalah demi pertandingan basket itu.
 
"Ayo Devin," ajaknya.
 
                                         ***
Sekolahnya meraih juara dua turnamen tahun ini. Skornya hanya beda tipis. Namun, rasa haru dan bahagia belum muncul pada wajah gadis itu. Tatapannya kosong menatap pemain basket di lapangan yang sedang berlalu lalang. Ia mengetahui Devin meliriknya, laki-laki itu tahu benar keadaannya saat ini. Sesekali gadis itu menatap Devin lalu berpaling.
 
Mengetahui ada yang berbeda dari Zie, kedua sahabatnya terus saja bertanya sepanjang pertandingan dimulai, namun mereka tak mendapat jawaban. Gadis itu hanya diam tak bersuara. Usai itu, Devin dan Rasyid berjalan ke arah Zie dan sahabatnya.
 
"Zie, udah," ucap Devin padanya.
 
"Orang kayak gitu gak perlu dipikirin," ucap Devin lagi.
 
"Ada apa sih, Devin?" tanya Mecca.
 
"Tadi di jalan, Zie ketemu Rasyel. Gila, emang gak punya rasa bersalah itu anak. Kesal gue lama-lama! ya Gue marahin habis-habisan, udah gak tahan gue Ca," ucap Devin panjang lebar.
 
"Udah ya Zie, jangan dipikirin lagi. Masih banyak yang sayang sama lo. Gue, Mecca, Devin, Rasyid juga, apalagi keluarga lo. Masa lo sedih gitu aja karena satu orang yang mungkin hanya iri dengan kehidupan yang lo punya. Lo beruntung Zie," ucap Shena mengusap bahu Zieva.
Zie menatap mereka. Tak terasa air matanya jatuh begitu saja. Dia memeluk Mecca dan Shena dengan dekapan yang begitu hangat.
 
"Ca, Cen, aku bangga punya kalian," gadis itu bersuara dan tersenyum.
 
"Gue lebih bangga punya sahabat kayak lo Zie, sumpah lo kuat, lo hebat udah sampai sejauh ini! Gue salut sama ketegaran yang lo punya," ucap Mecca menatapnya dalam.
 
Gadis itu terenyuh mendengar ucapan Mecca. Dia bahkan tidak pernah mengapresiasi dirinya seperti yang disampaikan Mecca padanya. Gadis itu berpikir bahwa Ia tidak pernah mengucapkan kata ‘bangga’ bahkan dengan segala yang ia raih selama ini dan selalu saja merasa kurang atas pencapaiannya. Padahal bisa saja, kekurangan yang ia rasa adalah hasil dari  kurangnya apresiasi diri pada dirinya.
 
"Ayo Zie, gue anterin pulang," ajak Mecca pada gadis itu.
"Iya, Ayo," sahutnya tersenyum.
 
Sebelum pergi Rasyid bersorak pada Mecca.
 
"Ca, nanti malam minggu nih, nonton yuk," ajaknya.
"Enggak Syid, nonton mulu lu. Gue udah kebanyakan nonton. Nonton drakor," balasnya.
 
           Mecca memang sosok yang terkesan cuek namun ia penyayang. Dia selalu saja begitu dengan semua orang, termasuk Rasyid, pacarnya.
 
"Ya udah nonton aja noh drakor, nanti kalau gue gak ada kabar jangan dicari, gue mau nge-game sampai subuh," ucap Rasyid yang diikuti tawa oleh Devin.
 
Zieva tampak berpikir setelah mengingat bahwa hari ini adalah hari Sabtu. Dia melayangkan bola mata coklat miliknya pada sosok di depannya. Seakan tahu dilirik oleh gadis itu, Devin melihat ke arahnya dan  menaikkan bahunya sambil menatapnya.
 
"Devin sekarang hari Sabtu kan?" tanyanya mencoba mengingatkan Devin.
 
"Maaf-maaf nih Zie, si Devin orangnya gak suka nonton," celetuk Rasyid.
 
“Kalau lo mau nonton, ayo sama gue aja,” tambah laki-laki itu kemudian mendapat cubitan dari Mecca.
 
Zie melihat Rasyid sambil tersenyum. Dia masih kesal dengan penolakan Mecca tadi. Kemudian Devin melempar tatapan datarnya ke Rasyid agar Rasyid diam.
 
"Iya, aku pulang dulu ya, ganti baju. Nanti aku jemput ke rumah," ucapnya.
 
Setelah mendengar itu, Zie pamit pulang bersama sahabatnya.
 
"Mecca, beneran gak mau ya? Udah juara dua nih gue Ca, kasih apresiasi dong gue-nya," sorak Rasyid saat mereka sudah mulai berjalan.
 
Mecca membalikkan badan kemudian bersorak.
 
"Ya udah, nanti jemput gue," ucap Mecca kemudian kembali berjalan ke arah motornya.
Sejak pulang tadi, gadis itu sibuk mengacak-acak lemari baju miliknya. Ia mencari baju yang pas untuk dipakai hari itu.  Tidak beberapa lama, ia mendengar suara Rehan yang mengatakan ada Devin yang sudah menunggu. Gadis itu mengambil tas kecil miliknya kemudian turun dari kamar. Ia melihat Devin sedang berbincang-bincang ria dengan Mama, Papa, dan Rehan. Sosok tampan itu melirik ke arahnya. Rehan yang jail mulai menggoda Devin dan kakaknya.
"Hm, Kak Devin janjian ya sama Kak Zie?" ucapnya.
           Zie melirik ke arah laki-laki tampan yang kini ada  dihadapannya. Sosok itu bahkan persis seperti karakter pangeran yang ia tulis dibuku ceritanya. Laki-laki tinggi semampai mengenakan kemeja maroon dengan lengan yang dilipat hingga siku kemudian alis mata tebal hitam miliknya, hidung mancung, dan bola mata manis Devin yang  membuat sosoknya mirip dengan pangeran dalam cerita itu.
"Kebetulan aja kok," balas Zie sebelum ia tersipu  malu.
 
           Mereka berangkat dari rumah setelah berpamitan. Di perjalanan, sesekali gadis itu melirik ke kanan dan ke kiri. Mencium aroma angin yang kadang sejuk dan kadang panas. Menikmati macet yang kadang menyebalkan dan kadang menenangkan. Ini kali pertama ia dibonceng laki-laki yang bukan siapa-siapanya. Gadis itu hanya menikmati sepanjang jalan yang ia lewati meskipun dia tidak tau ke mana ia akan di bawa oleh sosok baik yang ia kenal itu. Dia pun sampai di tempat yang familiar dengannya, tempat pertama kali ia bertemu Devin dan adiknya.
 
"Zahwa ada di taman ya? Sama siapa?" tanyanya menerka-nerka.
 
"Enggak, mau beli es krim dulu untuk Zahwa," sahut Devin tersenyum.
 
Zie yang mendengar itu hanya tersenyum dan ber-oh ria.
 
Zieva dan Devin sampai di suatu tempat yang membuat gadis itu kebingungan dan bertanya-tanya. Dia menanyakan pada dirinya mengapa Devin ke tempat itu. Tempat serba putih dipenuhi lorong dan juga tempat yang mungkin saja tidak disukai anak kecil. Devin membawa gadis itu ke rumah sakit. Setelah memarkirkan motor di parkiran roda dua rumah sakit itu, mereka bergegas turun dari motor. Zie yang tidak mengetahui apapun, melirik ke arah laki-laki itu. Ada sesuatu yang disimpan dalam pikiran laki-laki itu, Zie tau benar itu. Di perjalanan, Zie yang semakin penasaran kemudian bersuara.
 
"Devin, adikmu sakit apa?" tanyanya penasaran.
 
"Zie, sebenarnya Zahwa itu bukan adikku," kata Devin lembut pada gadis itu. Gadis itu terdiam mendengarkan pernyataan dari Devin.
 
"Zahwa adalah seorang anak yatim piatu yang diasuh di panti asuhan," ucap Devin kembali. Zie hanya diam mendengar penjelasan Devin.
 
"Menurut cerita ibu panti, ayah dan ibunya Zahwa meninggal karena kecelakaan saat Zahwa masih bayi. Hanya Zahwa yang selamat dari kecelakaan itu, tidak ada yang tahu keberadaan keluarganya yang lain, karena itulah Zahwa dititipkan di panti asuhan," ujar Devin yang membuat mata gadis itu berkaca-kaca.
 
"Aku sering ke sana melihat anak-anak kecil Zie," lanjutnya. Kemudian laki-laki itu duduk di kursi rumah sakit itu. Dan diikuti Zieva yang duduk di sebelahnya.
 
"Melihat Zahwa itu seperti membuat hidup aku  lebih baik, Zie," kata sosok di sampingnya yang membuat dirinya semakin dikagumi oleh gadis itu.  Ternyata Devin juga sama seperti dirinya. Mereka menyayangi anak kecil.
 
"Apa yang terjadi pada Zahwa?" tanya gadis itu serius.
 
Devin terdiam. Ada perasaan sedih di hatinya. Zie tahu betul raut wajah itu.
 
"Satu tahun terakhir ini, Zahwa divonis mengidap kanker, kanker otak," ucapnya yang membuat tubuh Zieva merinding bukan main.
 
"Kadang, aku menginap di rumah sakit ini menemani Zahwa, Zahwa susah dekat dengan orang baru, makan, main, ia hanya mau denganku, Zie,” Devin menghentikan perkataannya.
 
"Devin, ayo antar aku ke ruangan Zahwa. Aku mau bertemu Zahwa," ucapnya pada Devin.
 
Mereka masuk ke ruangan dengan nuansa putih di dalamnya itu. Gadis itu terdiam di belakang Devin. Mata bulatnya semakin berkaca-kaca dan sedikit berair. Dia menatap ke arah adik kecil yang ia temui di taman dulu. Senyumnya masih sama saat pertama kali mereka bertemu. Rambut ikalnya semakin menipis akibat sakit yang ia derita.
 
"Kak Pin," panggil Zahwa pada Devin tertawa.
 
Devin mendekat pada anak kecil kuat itu. Ia mencium pipinya Zahwa. Zahwa pun memeluknya.
 
Zie masih diam membeku di tempat itu. Ia tak habis pikir, anak sekecil ini yang berbicara saja belum lancar, sudah diberi cobaan seberat ini. Sekuat apa ia? Sampai-sampai Tuhan memilihnya untuk melalui rintangan yang rumit itu.
 
Zahwa kemudiaan menatap gadis itu. Dia tersenyum lembut pada Zie. Zie menyerahkan es krim yang dibeli tadi pada adik kecil itu.
 
"Nih es krim untuk Zahwa," ucapnya pada Zahwa sambil mengelus pipi lembut adik itu.
 
Zahwa tampak berpikir sembari menatap ke arah gadis itu. Ia tampak lupa dengan Zie, mungkin karena ia masih kecil atau karena kanker otak yang ia derita.
 
"Zahwa cantik, ini es krim milik Zahwa. Ini untuk Kak Devin dan ini untuk Kakak," kata Zie memberi es krim ke tangan Devin.
 
"Ayo makan," ucap Zahwa sambil tersenyum. Tangannya tak lepas dari lengan Devin. Adik kecil itu bangun dari tempat tidurnya.
 
"Itu apa?" tanya Zahwa sambil menunjuk jepitan hello kitty di rambut Zieva.
 
"Ini namanya Jepitan rambut," sahut Zie.
 
"Jahwa boleh pakai di yambut jahwa?" tanyanya pada gadis itu.
 
Zie melepaskan jepitan itu dan memasangnya pada rambut tipis milik Zahwa.
 
"Ini untuk Zahwa dari kakak," ucap gadis itu mencium pipi Zahwa. Bibirnya pucat. Seperti kurang darah.
 
"Zahwa kuat ya," ucap gadis itu. Ia sebal dengan air mata miliknya yang tidak mau diajak bekerja rsama disaat seperti ini.
 
"Kak Pin jangan tinggalin Jahwa ya," ucapnya menatap Devin.
 
Seharusnya kami lah yang berkata itu pada adik itu, seharusnya kami yang menguatkan...” Zie membatin.
 
"Jahwa cepi gak ada kak Pin," ucapnya sekali lagi.
 
Mereka bertiga bermain hingga matahari sudah mulai menghilang. Matanya Zahwa memancarkan kebahagiaan. Zahwa tertidur dipangkuan Devin karena kelelahan bermain tadi. Devin mengangkat tubuh kecil adik itu ke tempat tidur rumah sakit itu dan menyelimuti badannya Zahwa agar tidak kedinginan. Hingga suster siang tadi masuk lagi ke ruangan Zahwa.
 
Devin menatap Zahwa hampa. Ia mencium kening adik manis yang agak pucat itu sementara gadis di sampingnya mengelus lembut rambut ikalnya Zahwa. Mereka bahkan tak ingin meninggalkan Zahwa secepat itu, namun mereka harus pulang dan meninggalkan Zahwa bersama suster di tempat itu.
 
Besoknya, ia menceritakan semua tentang Zahwa pada Mama, Papa, dan Rehan. Mama sedih mendengar Zahwa mengidap penyakit mematikan itu. Mama bilang penyakit seperti itu sangat mudah menguasai tubuh kecilnya Zahwa. Zie terdiam saat itu.
Hari itu hari Minggu, Zie meminta izin ke mama dan papa untuk menemui Zahwa lagi di rumah sakit dan memutuskan untuk pergi dengan taksi ke sana sendirian. Sebelum ke rumah sakit, ia mengikuti rutinitas yang dilakukan Devin sebelum menemui Zahwa. Ia singgah di taman untuk membelikan es krim dan satu boneka beruang untuk Zahwa.
 
Sepanjang jalan rumah sakit itu, ia melihat para pengidap kanker yang serupa dengan Zahwa. Begitu merinding gadis itu melihat mereka. Wajahnya pucat, badannya lemah, rambut mereka sudah mulai menipis dan ada yang botak, tidak ada yang tinggal satu pun. Mereka kehilangan masa-masa hidup berartinya, tapi mereka bersama selalu tersenyum menikmati masa-masa itu. Mereka benar-benar tegar.
 
Dan tanpa disadari, gadis itu tiba di ruangan Zahwa. Ia memasang wajah ceria agar tidak kelihatan seperti sudah menangis. Perlahan ia membuka pintu ruangan itu.
 
"Devin," sontak gadis itu terkejut.
 
Ternyata Devin sudah dulu menemui Zahwa. Bahkan sekarang Zahwa sedang tertidur pulas dengan mainan yang telah berserakan di lantai kamar itu. Ia tidur di pangkuannya Devin. Zie masuk dan mendekati Zahwa. Wajahnya damai dan bersih, ia begitu nyenyak dalam dekapan Devin.
 
"Zie, kenapa gak bilang sih mau ke sini? Kan aku bisa jemput tadi," ucap Devin berbisik.
 
"Aku pikir kamu lelah setelah turnamen kemarin, lagipula kita pulang udah malam dari rumah sakit ini malam tadi kan?" balas gadis itu.
 
"Itu apa? Es krim?" tanya Devin sambil menunjuk kantong plastik yang masih ia pegang.
 
"Iya, sebenarnya ini untuk Zahwa, tapi Zahwa sekarang lagi tidur," sahutnya.
 
"Ya sudah, untuk aku saja Zie. Zahwa sudah makan es krim tadi, dia gak boleh keseringan makan es krim" ucap Devin memberitahu.
 
           Zie menangguk kemudian memberikan es krim itu pada laki-laki di sampingnya. Devin menatap dan melirik ke arah Zahwa yang masih nyenyak dalam dekapannya. Seperti memberikan kode bahwa tangannya tidak bisa memegang es krim. Zie kemudian menyuapinya. Ia tersenyum lembut pada gadis itu. Begitu juga Zie. Devin menatap Zahwa, tangannya yang masih menahan Zahwa di pangkuannya membuatnya tidak bisa bergerak. Ia melepaskan satu tangannya saat mendekap Zahwa. Tangannya memegang lembut rambut hitamnya Zahwa. Ia menatap dalam wajah pucat itu. Devin begitu menyayangi Zahwa.
 
Devin si jago basket dan memiliki segudang prestasi. Si pemilik senyum lembut dan penyayang. Sosok yang ia kenal dalam satu bulan itu selalu berkesan di hatinya. Ia begitu lembut sampai-sampai anak kecil pun menyayanginya.  Sudah satu jam lebih mereka di ruangan itu, Zahwa masih belum bangun, ia masih setia memeluk Devin.

Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang