Hari itu, Zie berjanji pada Devin untuk menemuinya di bandara. Melepas kepergiannya yang begitu jauh. Ya, walau itu terasa begitu menyakitkan baginya. Katanya, siang ini pesawatnya akan lepas landas. Pagi itu, gadis itu masih melamun, mengingat kejadian demi kejadian bersama Devin.
“Aku tak merutuki pertemuanku dengannya. Walau singkat, aku bersyukur telah bertemu Devin. Setidaknya, aku pernah merasakan bahagia sesungguhnya. Aku masih bisa merasakan, indahnya masa akhirku di sini, bersamanya,”
Setelah bersenang dengan ingatannya. Gadis itu mengambil handphone miliknya. Melihat notif di sosial medianya. Ada pesan dari teman sekelasnya, ucapan perpisahan. Dan pesan dari Devin. Ia membuka pesan itu.
“Zie, di mana? Aku di bandara sekarang. Jadwal keberangkatan di percepat, aku pergi pagi ini. Pukul 9,”
“Ziee,”
“Sayang,”
“Datang ya,”
Zie terkejut membaca pesan singkat itu. Sudah dua puluh menit yang lalu. Kini, jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Entah mengapa ia kesal. menghidupkan mode silent di handphonenya. Tanpa menunggu lama, ia memanggil Rehan untuk mengantarnya.
"Biar Papa yang antar kita, Mama juga mau lihat Devin, " ucap Mama.
Papa melirik mama, Zieva, dan Rehan.
"Ayo cepat, " kata papa setelah agak lama.
Mereka pergi dengan tergesa-gesa. Papa mengambil jalan pintas. Untung saja, tidak sebegitu macet seperti jalan kota.
"Kenapa gak bilang dari tadi sih kak? " tanya Rehan.
"Kakak baru lihat handphone tadi," sahutnya.
"Udah hampir jam sembilan tahu, " kata Rehan.
Papa menanjak gas. Mobil melaju lebih cepat. Gadis itu takut melepas Devin pergi tanpa ucapan selamat tinggal darinya. Akhirnya, mereka sampai di bandara. Zie mencoba menekan tombol hijau di handphonenya. Mencoba memberitahu Devin bahwa ia sudah sampai di sana. Namun, Devin tidak mengangkat panggilan itu. Ia mencobanya lagi. Tapi tak ada balasan.
"Di mana Devin?" lirihnya melihat di sekelilingnya.
Tangannya bergetar. Bunyi nada dering handphone terdengar di telinganya. Devin menghubunginya. Gadis itu mengangkat panggilan dari Devin.
"Zie? Di mana? Aku udah mau berangkat. Zie kamu datangkan? "
Zie bersyukur masih bisa mendengar suara laki-laki itu. Ia mencoba menenangkan emosinya.
"Devin, Zie udah sampai. Devin di mana? Zie gak bisa lihat Devin. Banyak orang, " balasnya.
Suara Devin kembali terdengar.
"Zie di sini. Di sini, " sorak Devin.
Zie melihat rambut tebal dan wajah Devin. Jauh di depan sana. Ia melambai ke arah gadis itu. Zie mematikan handphone dan memberi tahu mama, papa, dan Rehan. Karena tidak sabaran, ia berlari duluan ke arah Devin begitu juga dengan Devin.
Sambil berlarian ke arah Devin, ia kembali sesak. Walau sejauh apapun ia berubah, rasanya dirinya masih sama. Tak tahan dengan kerumunan.
"Zie, " panggil Devin. Masih sama, lembutnya dan senyumnya.
Iris matanya bertemu dengan pemilik iris mata warna hitam itu. Tuhan masih mengizinkannya untuk menemui Devin. Dia bersyukur atas itu.
"Devin, " ucapnya. Gadis itu memeluknya.
Lalu dibalas dengan pelukan hangat oleh Devin.
Mata Zie berkaca-kaca di hadapannya.
"Zie, aku kira kamu gak datang, " ucap Devin.
Zie melepaskan pelukan itu.
"Mana mungkin aku gak datang. Jerman itu jauh, Devin. " ucapnya.
"Iya, iya, " sahutnya tertawa sambil mengacak rambut Zieva.
Gadis itu tak marah. Ini usapan lembut terakhir Devin sebelum berangkat ke Jerman. Perlakuan itu akan selalu ia rindukan nanti.
Zie terdiam. Ia sampai lupa, bunda dan Papa Devin pasti ada di sini. Papa, Mama juga di sini. Zie menoleh ke sekelilingnya.
Gadis itu tersenyum kecil melihat mereka ada di depannya dari tadi.
"Pipi kamu merah," bisik Devin sebelum Zie menyapa bunda dan papa Devin.
"Sst diam, " sahutnya sedikit berbisik.
Bunda Devin menghampiri mereka.
"Apin udah gede ternyata," ucap mamanya Devin.
"Zie sayang, bunda juga kangen kamu loh, " ucap Mama mencubit lembut pipinya.
"Masa Devin aja yang di peluk, bunda juga dong, " ucapnya.
Bunda Devin memeluknya. Dekapannya seperti mama. Zie sangat sayang pada mereka semua. Mama ikut tertawa melihat tingkah bundanya Devin. Papa juga ikut tertawa, diikuti tawa oleh papa Devin. Dan Rehan, iya hanya melirik. Tatapan penuh ejekkan yang nanti di rumah pasti akan diungkit.
Pengumuman berbunyi di bandara. Devin harus berangkat sekarang. Ia tak bisa berlama-lama dengan gadis itu. Sekarang saatnya Devin pergi, mereka melepas kepergian Devin.
"Zie, kamu jaga diri baik-baik ya. Aku sayang kamu, " bisiknya kemudian mengulurkan kertas. Gadis itu menyimpannya dalam tas miliknya.
"Aku sayang kamu, Vin. Jaga diri kamu baik-baik juga, " ucap Zieva.
Devin mulai melangkah. Zie mengikuti langkahnya. Isakan kembali terdengar. Gadis itu tak tahan menahan air matanya. Ia takut ditinggal Devin. Dari hatinya paling dalam, ia sangat mencintai sosok itu.
Dear Devin.
Ribuan ucapan terima kasih mungkin tak bisa menggantikan kebaikan dan ketulusan yang Devin beri. Zie sayang Devin. Terima kasih Devin, sekarang Zie percaya. Semua ciptaan Tuhan, memanglah ditakdirkan untuk bahagia, semua tergantung waktu. Devin salah satu orang yang dikirimkan Tuhan untuk membuat Zie percaya bahwa bahagia itu ada. Devin terima kasih ya, tembok besar penuh ketakutan itu bisa Zie kalahkan. Semua karena Devin.
Devin, terima kasih telah membuat Zie tahu, bahwa naik bianglala itu seru. Terima kasih sudah membuat Zie yakin, bahwa akan ada laki-laki setelah papa yang menyayangi Zie sepenuhnya.
Zie sayang Devin.Cepat kembali ya. Semoga kamu tidak lupa jalan pulang
-Zieva Ranaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]
TienerfictieZieva Ranaya, gadis manis yang selalu berpikir kehidupan SMA menyebalkan. Masa SMA gadis itu hanya ditemani oleh ketiga sahabat yang ia punya. Tak ada hari-hari spesial dalam hidupnya sebelum ia mengenal sosok laki-laki yang mampu mengubah dirinya. ...