4

3.1K 193 9
                                    

Gadis itu tidak bisa fokus semenjak mendapat surat itu. Hari-harinya selalu mengingat sosok yang bernama Devin. Nama itu selalu terngiang di telinganya meskipun ia belum mengetahui wajahnya. Dia benar-benar terjebak dengan situasi yang tidak pernah ia alami sebelumnya.
 
"Kenapa lo? Kayak gak niat sekolah aja," celetuk Tryan.
Gadis itu hanya diam tak membalas kemudian melewati Tryan dan duduk di kursinya. Terlihat dari kejauhan sosok Tryan masih menatapnya dengan tatapan yang sama setiap harinya.
 
"Gak ada yang dipikirin kok," balasnya sambil tersenyum tipis.
 
"Kalian ada rahasia, ya?," tanya Shena
 
"Iya nih ga asik lo Ca! Tugas aja kita saling bagi masa ini engga, " sahut Rasyel.
 
"Nanti deh pulang sekolah," balas Mecca.
 
Zieva melayangkan tatapan serius pada Mecca. Dia hanya tidak ingin kedua sahabatnya itu tahu. Meskipun dia mengerti bahwa Shena paling memahami karakter dirinya yang sulit untuk berbagi kisah dan masalah hidup. Memang, diantara ke-empat sahabatnya, Shena lah yang paling mengerti dia. Sepulang sekolah, Mecca meminta ketiga sahabatnya itu untuk menemaninya menemui Rasyid dengan alasan ingin mengambil buku catatannya.
 
"Enak ya jadi Mecca, punya pacar, jago basket lagi," kata Rasyel meledek Mecca.
 
"Iya nih, pasti lo gak pernah ngerasain malam mingguan di kamar sendirian sambil dengerin musik kan? Beuh nikmat banget sih itu," sahut Shena meledek sembari menyenggol tangan Zieva seakan mengajak sahabatnya itu menyetujui ucapannya.
 
Telah lama mereka berjalan, akhirnya keempat sekawan itu bertemu dengan Rasyid. Ternyata Rasyid tidak sendirian, ia bersama teman-temannya. Zieva kemudian mendadak aneh dan gugup, terlihat dari raut wajahnya. Dia melirik Mecca, Mecca yang mengerti maksud lirikkan sahabatnya itu tersenyum. Zieva paham dengan senyum dari Mecca. Senyuman penenang agar gugupnya hilang.
 
Iris mata indah milik Rasyel terlihat sedang mencari sosok seseorang di antara rombongan Rasyid. Sesaat kemudian, muncul raut senang pada wajahnya. Rasyid pergi menghampiri Mecca dengan satu orang temannya. Mecca menarik tangan Zieva mendekati Rasyid. Spontan gadis itu melirik ke arah dada laki-laki di samping pacarnya Mecca. Dengan sigap dia melihat tanda pengenal berupa name tag di baju sosok itu. Laki-laki itu menjulurkan tangannya pada Zieva yang tampak kaku.
"Kenalin, aku Devin Anggara," katanya sambil tersenyum, menciptakan lesung pipi yang manis.
 
Zieva yang tampak membeku terkejut bukan main. Tampaknya gadis itu ketahuan telah melihat name tag laki-laki itu.
 
“Sial,” gadis itu membatin.
 
"Zieva Ranaya," sahutnya dengan cepat.
 
"Eh, lo yang ga sengaja melempar bola ke kepala Zieva waktu itu kan? Hai Devin, kenalin gue Rasyel Meidika Ranisa," sapa Rasyel mendekati Zie dan Devin yang sedang berkenalan sembari menjulurkan tangannya pada Devin. Tampak sesuatu yang berbeda dari Rasyel.
 
Laki-laki itu membalas perkenalan dari Rasyel dengan dingin. Setelah membalas sapaan itu, Devin kembali melirik Zieva yang berada di samping Mecca dan mengajak gadis itu berbincang.
 
"Zieva, kepalanya itu masih sakit?" tanyanya pada Zieva.
 
"Enggak kok, gak papa," balas Zieva, ini kali pertama gadis itu mendapati pertanyaan lembut di sekolah itu dari laki-laki yang bahkan tidak ia kenal.
 
"Maaf, aku gak sengaja," sahut Devin padanya.
 
"Iya," Zieva kembali membalas.
 
Usai berbicara dengan laki-laki itu, ada sedikit pertanyaan dibenaknya. Dia merasa wajahnya Devin tidak asing lagi baginya. Terlihat seperti familiar sekali. Namun, ia tidak bisa mengenali dengan pasti siapa sebenarnya sosok yang memberinya amplop biru itu.
 
Ulangan bahasa Indonesia selesai. Selepas itu, bel istirahat berbunyi. Gadis itu memutuskan untuk duduk dulu sebelum menyantap bekalnya. Shena sudah pergi ke kantin karena tidak membawa bekal. Mecca yang usai ulangan tadi berlarian ke toilet, sementara Rasyel, ia menampakkan sifat yang berbeda usai pertemuanya dengan Devin kemarin. Rasyel menjauhi ketiga sahabatnya itu tanpa alasan.
 
Tidak berapa lama, Mecca sampai lagi di kelas.
 
"Shena mana Zie?" tanya Mecca.
 
"Udah duluan ke kantin," jawabnya.
 
"Buset, dulu-dulu aja tuh anak," balasnya kemudian buru-buru menyusul Shena ke kantin karena takut bel masuk akan berbunyi.
***
 
           “Rasyel kenapa sih?” tanya Shena pada Mecca dan Zieva yang melihat Rasyel dari kejauhan bersama Thania.
           “Berdasarkan pengamatan gue nih ya, dia itu ada rasa sama Devin,” sahut Mecca.
 
           Shena dan Zieva saling menatap satu sama lain.
 
           “Udah biarin aja, palingan nanti juga balik lagi. Udah hafal gue sifat tuh anak,” tambah Mecca.
 
           “Tapi ya, sikapnya si Devin ke lo dan sikap Devin ke Rasyel itu kayak beda, ya" Mecca kembali bersuara.
 
"Gak berhak, Rasyel mungkin lebih cocok," balasnya lagi sambil memasukkan bekal ke dalam tas.
 
"Loh? Kok bilang gitu sih Zie?" tanya Mecca terang-terangan.
 
"Kalau alasannya buat menjauh adalah itu, bukan sahabat sih namanya," sahut Shena.
 
"Rasyel," panggil Zieva pada sahabatnya.
 
Rasyel tidak menyahut panggilan itu. Dia meninggalkan Zie dan pergi dengan Thania lagi, tim voli nya. Kali ini, Rasyel berbeda. Setelah itu, terdengar suara Mecca dan Shena menghampirinya.
 
"Udah, gak usah dipikirin. Kita semua udah tahu sikapnya Rasyel dari dulu kan, anak tunggal yang maunya seenaknya saja. Apa pun yang ia mau harus selalu terwujud kan? Tapi nantinya juga akan membaik Zie. Kita kan sahabatnya, gak mungkin Rasyel marah. Jika ia marah pun, pasti juga bakalan reda kok," kata Shena meyakinkan Zieva.
 
"Iya," balasnya pelan.
 
"Ayo, pulang," kata Mecca menggandeng tangan kedua sahabatnya.
 
"Lo nungguin bokap lo kan, Zie? Gue sama Shena ada kelas piano, kita pergi duluan gak papa kan?" tanya Mecca
 
"Iya gak papa, biasanya kan juga sendiri," balas Zieva sedikit tersenyum.
 
Kemudian diikuti tatapan meledek dari kedua sahabatnya. Membuat gadis itu tertawa kecil. Memang benar, jika bersama sahabat rasanya beban pikiran hilang begitu saja. Kini, kedua sahabatnya sudah pergi dan membuatnya harus menunggu papanya sendirian. Gadis itu kesakitan menahan kakinya untuk berdiri karena papanya tak kunjung datang. Dia memutuskan untuk mencari tempat duduk, halte menjadi tempat pilihannya. Zieva  mengecek ponselnya, ternyata ada pesan dari Rehan. Adiknya yang akan menjemput hari ini karena papa ada jadwal mengantar nenek ke rumah sakit untuk pergi berobat.
 
“Rehan mana sih, kalau aku dianggap cabe-cabean nanti gimana, huft!” gadis itu membatin.
 
"Hey!" sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di sampingnya.
 
"Devin?" Gadis itu terkejut membuat tatapan mata dan  ekspresi yang tidak terkontrol di raut wajahnya. Selalu begitu jika dia terkejut.
 
"Zieva Ranaya, kok belum pulang?" tanya Devin padanya, lembut sekali.
 
"Lagi tunggu jemputan nih," balasnya cepat, untuk menghilangkan rasa gugup.
 
"Panggil Zie atau Zieva aja," tambahnya lagi.
 
"Ok, Zie" balasnya sambil tersenyum pada gadis itu.
Setelah kata terakhir itu, laki-laki itu masih duduk di sampingnya, masih hening tanpa obrolan. Dia pun tak tahu harus memulainya dari mana dan lebih memilih diam dengan pikirannya sendiri. Kemudian suara Devin kembali terdengar.
 
"Zie, kamu tidak mengenalku, sama sekali?" tanya laki-laki itu padanya.
 
Zieva berusaha mengingat sosok Devin sejak tadi malam, tapi dia benar-benar lupa. Sepertinya, memori di otaknya hanya akan bisa tersimpan untuk orang-orang yang memang berkesan di hidupnya.
 
"Maaf Devin," sahutnya.

Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang