“Ada satu tokoh dalam cerita yang aku suka. Dan kamu? Kamu seperti tokoh itu. Rasanya tak adil. Aku suka tokoh itu, dan kamu"
Kamis. Hari yang paling ditunggu. Pertandingan antara SMA Harapan Jaya dengan SMA Garuda. Dia bergegas pergi ke sekolah. Berkali-kali Mecca dan Shena menghubunginya untuk cepat datang ke sekolah. Pertandingan hampir saja dimulai, namun gadis itu masih terjebak macet bersama papa. Zie menghela napas panjang. Ia melihat jam di tangannya ternyata sudah satu jam dia terjebak macet.
"Iya-iya kalau gak macet aku udah sampai kok," balasnya sambil memanyunkan bibir di dekat ponselnya.
Papanya yang berada di sebelah gadis itu memberi ide untuk naik ojek online agar lebih cepat. Dia bergegas membuka aplikasi ojek online dan mengirim lokasinya. Akhirnya dia sampai di sekolah. Sangat banyak siswa dari sekolah lain yang berdatangan di sekolahnya. Seketika napasnya sesak. Dia berlarian ke tempat duduk yang di sediakan Devin, matanya tertuju pada Mecca dan Shena yang melambai-lambaikan tangannya padanya. Dia berlari dan menghadang beberapa orang di depannya.
Gadis itu merasa lelah, rasanya jauh sekali tempat duduk paling depan itu. Zie mengambil napas panjang dan memulai berlari kembali. Demi janjinya pada Devin. Meski berdesak-desakkan dan agak risih dia tetap harus melewatinya. Ia pun sampai di tempat itu. Ia menatap mata Devin yang tampak ada kesedihan dan kemarahan. Rasyid pun sama. Devin yang berada di lapangan masih belum mengetahui bahwa Zie telah datang melihatnya.
Sekarang tinggal dua babak lagi. Mereka percaya SMA nya tidak akan kalah dengan semudah itu. Matanya tak hentinya menatap Devin, tampak dari wajah laki-laki itu rasa kecewa. Saat istirahat, Zie menatapnya dari kejauhan. Gadis itu merogoh saku seragam sekolah untuk mengambil handphone dan mencari nomor Devin. Sekarang gilirannya memberi semangat seperti yang Devin lakukan saat di rumah sakit.
"Akashii, apa mau menyerah secepat inii? Semangaat!" ucapnya dengan semangat.
Devin tersenyum. Ia melirik ke arah tempat duduk itu. Sekarang, dia tahu Zieva datang. Devin melambaikan tangan padanya. Seketia Pipi gadis itu memerah dibuatnya. Zie dan kedua sahabatnya mendapat tatapan dari penggemar Devin. Mereka merasa seperti artis dadakan dan dengan bangganya mereka membalas lambaian Devin.
Sorak-sorai dari supporter cewek di samping gadis itu membuatnya terganggu. Ia terus saja menyebut-nyebut nama Devin.
"Devin semangat,"
"Devin pasti bisa,"
"Aa penyemangatku pergi sekolah,"
"My crush,"
Merasa kesal dengan supporter yang tak henti-hentinya menyebut nama Devin, Zie pun mengeluarkan suaranya.
"Devin, ayoo kamu pasti bisa," soraknya.
"Akashi,ayo semangat!" tambahnya lagi.
Penggemarnya Devin melirik Zieva yang sangat antusias. Shena dan Mecca juga ikut-ikutan menoleh ke arahnya. Pipinya jadi memerah karena malu. Shena tersenyum padanya.
Pertandingan semakin sengit. Devin mulai mengeluarkan gaya Akashi yang dijanjikannya pada Zie. Dengan cepat ia berulang-ulang mencetak skor. Namanya sering disebut di dalam speaker karena sering mecetak skor. Ia tidak membiarkan SMA garuda mencetak skor sekali pun di babak ketiga itu. Hingga akhirnya, skor menjadi imbang. Kini, tinggal satu babak lagi sebagai penentuan, mereka berharap SMA Harapan Jaya menjadi juara satu.
Terdengar sorak-sorai cewek di sampingnya. Ia melirik ke arah kanan. Merasa penasaran dia pun menoleh ke arah yang sama. Ternyata, ada Devin yang berjalan ke arah tempat duduk itu bersama yang lainnya.
“Ya Tuhan, Devin ganteng banget!”
Itulah kata cewek-cewek di sampingnya sebelum sorak-sorai itu berubah dengan tatapan dengki. Terdengar langkah besar berjalan ke arah gadis itu dan kedua sahabtnya. Devin berjalan ke arahnya. Laki-laki itu kemudian berhenti di hadapan Zie. Dia menatap gadis itu. Saat itu, lebih dari puluhan, bahkan ratusan pasang mata melihat mereka. Jantung gadis itu serasa maraton. Devin selalu tersenyum. Terlihat wajah letih Devin karena pertandingan itu. Ia duduk di samping Zie dan sahabatnya. Dia mengambil minuman yang masih di segel dan meminumnya. Suara lembut Devin mulai keluar.
"Akashinya Zieva Ranaya hebat kan?" tanyanya pada gadis itu.
"Devin, tinggal satu babak lagi. Semangat ya!" katanya pada Devin memberi semangat.
"Siap, Laksanakan, Bos!" balasnya pada Zie sebelum meninggalkan tempat itu dengan senyuman manisnya.
Pertandingan basket hari ini berakhir dengan sengit. Awalnya SMA Garuda berada di atas namun disusul lagi dengan SMA Harapan Jaya yang tidak mau kalah. Alhasil, SMA Harapan Jaya menduduki peringkat teratas untuk bertanding menentukan juara pertama besok. Devin dan tim basketnya begitu senang dengan akhir pertandingan itu, begitu juga dengan Zie dan kedua sahabatnya.
***
"Telah banyak hari yang aku lalui. Awalnya terasa berat bahkan sama sekali tidak berarti. Aku pikir SMA kejam, iya memang. Tapi tak sekejam yang aku kira. Masa ini menjadi saksi sebuah pertemuanku dengannya, hingga aku bisa tersenyum. Kutulis dan aku titip di sini, agar aku selalu mengenang sejarah baru ini," Zie menuliskan ini di buku diary nya.
Zie menelusuri rak buku di kamarnya. Mengambil sebuah novel untuk menghilangkan jenuhnya. Matanya tertuju pada sebuah novel berwarna putih dengan judul hujan. Sekilas sampulnya mengingatkannya akan Zahwa dan Devin saat di taman waktu itu. Dia membaca sinopsis di belakang buku itu. Pintar sekali penulis membuat pembaca terhanyut dalam ceritanya. Mudah sekali cerita novel membuat matanya berkaca-kaca dan menangis sendu.
Dia teringat akan janji Devin padanya. Devin bilang, ia akan mengajaknya bertemu Zahwa setelah turnamen. Ia harus meminta Devin mengantarnya pada Zahwa. Dia mengacak handphone dan mencari nomor dan memutuskan untuk member pesan saja padanya di media sosial.
“Devin,”
“Apa?apa? Rindu? Katakan sekali lagi?Rindu?” Devin membalas dengan gayanya yang lucu.
Zie tertawa membaca pesan itu dari Devin. Ada saja pesan dari laki-laki itu yang membuat perutnya sakit menahan tawa.
“Jangan mulai deh, Devin.”
“Tuhan, tolong jaga orang yang lagi baca pesan ini. Cie, senyum lagi,”
“Ini ponsel atau cermin sih? Kalau senyum bisa kelihatan ya?” ucap Zieva menggelengkan kepala.
Devin ini. Sejak kapan ia seperti ini. Zie membalas pesan dari Devin lagi.
“Devin, besok bisa bawa aku ketemu Zahwa?”
“Yah Zie, besok gak bisa. Sabtu aja ya,”
Setelah membaca pesan itu. Zie merasa Devin seperti mengundur waktu. Ia seperti tak mau Zie bertemu adiknya. Ia pun membalas pesan itu lagi.
“Devin gak mau ya, aku ketemu sama Zahwa?”
“Bukan gitu Zie. Besok masih ada pertandingan. Kamu lupa?”
Zieva baru mengingat bahwa esok masih ada turnamen. Dia jadi merasa bersalah telah berburuk sangka pada Devin.
“Oh iya, aku lupa. Maaf Dev. Sabtu aja kan?”
“Kalau gak Sabtu?”
“Bercanda kok. Jangan berpikiran aneh-aneh. Sabtu, kamu akan ketemu Zahwa. Tenang aja, gak usah kayak gitu hahaha,”
Zie membaca pesan dari Devin. Dia tersenyum kecil membaca pesan itu.
“Iya, sip,”
***
"Zie, bangun nak, udah pagi," ucap mama sambil mengelus rambutnya.
Zie melirik mama. Dia menyipitkan mata melihat jam dinding di kamarnya. Matanya yang tadinya masih setengah terbuka menjadi membesar. Dia langsung terduduk karena terkejut. Tidak biasanya Zie bangun selama ini. Zie memberikan senyum paginya pada Mama begitu juga sebaliknya.
"Udah gih, sana mandi, nanti terlambat loh lihat Devin tanding," kata mama menggodanya.
"Mamaa," rengeknya seakan tak mau ditertawakan.
***
Zie berangkat bersama adiknya dengan motor agar cepat sampai ke sekolahnya. Di perjalanan, Rehan selalu menjahili kakaknya. Obrolan mereka terhenti karena mereka sampai di gerbang SMA itu. Zie turun dari motor dan berjalan menuju lapangan basket lagi. Ia bersyukur karena tidak telat hari ini. Namun, di perjalanan ia melihat Rasyel dengan Thania. Dadanya terasa sesak lagi. Ada rasa yang mengganjal di hatinya, ia merasa takut bahkan untuk melirik Rasyel pun ia enggan.
"Lo mau lihat turnamen ini? Tumben banget, mau nyemangatin Devin ya? Devin gak butuh tahu semangat dari lo, mending lo pulang aja deh," ucap Rasyel tersenyum sinis.
"Ya iyalah, bangga dong bisa duduk di barisan paling depan,” balas Thania.
Gadis itu tak berkutik. Tangannya terasa dingin seperti saat itu. Dia tak berani menatap sosok di depannya. Matanya melihat ke bawah. Tak lama setelah itu, terasa tangan kokoh meraih tangan dingin miliknya. Ternyata Devin datang dengan seragam basket yang telah dikenakan. Laki-laki itu menatap satu persatu dari mereka dengan tatapan penuh amarah dan emosi.
"Lo seharusnya malu Syel, malu sama diri lo," suara besar Devin dapat terdengar.
Rasyel terkejut melihat kedatangan Devin.
"Lo tahu? Lo cewek paling munafik yang pernah gue tahu," ucap Devin lagi.
“Jujur ya, ini pertama kali gue lihat perempuan kayak lo. Sebagai perempuan seharusnya lo itu dukung sesama lo, bukannya gini Syel!” ucapnya lagi.
"Dan jujur gue gak pernah semarah ini ke perempuan, gue tahu kok perempuan itu lembut sama persis kayak Bunda gue. Gak bisa gue bentak seenaknya. Gue tau ada laki-laki yang membesarkan dia dengan kasih sayang dan gue gak se-berani itu untuk meretakkan hati anak perempuan orang. Tapi lo Syel, “ ucap Devin terhenti kemudian terasa genggaman kuat dari tangannya Devin yang dapat dirasakan Zieva.
"Hati-hati dengan hati perempuan. Hatinya lembut mudah retak. Tapi kayaknya, perempuan itu cuma status lo. Lo gak punya hati," tambah Devin.
"Dan satu lagi nasihat buat lo, jangan sakitin hati perempuan lain demi kebahagiaan lo, berpikir dua kali sebelum lo bicara dan bertindak," kata-kata Devin membuat semuanya terdiam.
"Oh iya, Gue mau lo dengar baik-baik, Gue gak bakalan bisa jatuh hati sama orang yang gak bisa menghargai orang lain," itu ucapan terakhir Devin kemudian menarik lembut tangan Zie untuk pergi dari tempat itu.
"Awas kalian!" sorak Rasyel yang masih dapat mereka dengar.
***
Langkah kaki Devin terhenti. Laki-laki itu merasakan kecemasan dan ketakutan pada diri Zieva. Tatapan kosong dan hampa. Dia tak ingin menatap Devin.
"Zie," ucapnya pada Zieva. Suara penuh amarahnya hilang seketika, menjadi lembut seperti biasa.
Zie melepas tangan hangatnya Devin.
"Udah jangan nangis ya," ucap Devin menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]
Fiksi RemajaZieva Ranaya, gadis manis yang selalu berpikir kehidupan SMA menyebalkan. Masa SMA gadis itu hanya ditemani oleh ketiga sahabat yang ia punya. Tak ada hari-hari spesial dalam hidupnya sebelum ia mengenal sosok laki-laki yang mampu mengubah dirinya. ...