Besoknya, mereka berangkat setelah Devin pamitan dengan papa dan mama Zie untuk membawa gadis itu jalan berdua bersamanya. Kali ini ia mengenakan kemeja flanel nuansa hitam. Laki-laki itu sangat tampan sekali.
Laki-laki itu memberikan senyuman tulus padanya. Zie terkagum-kagum dengan sikapnya. Mereka menghabiskan waktu dengan bercerita dan mengelilingi Jakarta hari itu. Zie sangat bahagia.
Entah untuk yang ke berapa kalinya sosok itu membuatnya berusaha merombak sifatnya hingga ia dapat mencoba hal-hal baru. Sosok Devin yang selalu membuat pipiku menghangat. Ia yang mengirimkan surat. Mengenalkannya kebahagiaan. Mengajarkan gadis itu tersenyum dengan tulus. Ia bahagia bisa bertemu Devin. Hatinya berkata, semoga ia bisa bersama dengan laki-laki itu meski jarak memisahkan. Dia menunggu Devin kembali padanya setelah lulus mengejar impiannya.
“Terima kasih sudah menjadi penerang saat aku gelap,” ucap gadis itu dalam hati sambil menikmati angin di atas motor.
"Zie," sorak Devin yang sedang mengendarai motornya.
"Haa?" tanya gadis itu.
"Kok diam terus sih?" ucap Devin.
"Takut ganggu konsentrasi kamu," jawab Zie mencari alasan.
"Gak kok, Aku malahan senang kalau kamu sering-sering bicara," sahutnya.
"Devin, makasih," ucapnya.
"Makasi untuk apa?" tanyanya.
"Untuk semuanya," balas gadis itu.
"Terima kasih untuk setiap hari bahagia yang kamu kasih ke aku," ucapnya.
"Aku senang lihat kamu bahagia," sahutnya.
Gadis itu berhasil tersipu malu dibuatnya. Devin selalu pandai membuatnya merasa menjadi ratu.
"Lihat kamu senyum aja, itu udah cukup buat aku," tambahnya.
"Kamu tahu? Saat kamu sedih, ada orang lain yang melirik ke arahmu diam-diam. Dia ikut sedih juga Zie," ucapnya lagi.
Gadis itu mendengarkan serius dari tempat duduknya.
"Saat kamu bahagia pun. Ada orang lain yang ikut bahagia diam-diam," tambahnya.
"Kenapa gak kenal dari dulu aja sih,?" gerutu laki-laki itu.
Devin berhenti di taman tepat di mana mereka itu bertemu pertama kali. Ia membeli es krim mereka berdua. Zie tertawa saat dia berteriak histeris melihat ulat bulu di dekat mereka duduk.
Devin menjauhi pohon itu. Zie terus saja mengejeknya.
Devin memegang pipi gadis itu. Pipi yang sedari tadi memerah, ternyata ada es krim menempel di dekat pipinya karena menertawai Devin tadi.
"Kamu takut ulat bulu ya?" tanya Zie tertawa lepas.
"Emang kamu gak takut?" tanyanya.
"Gak sehisteris kamu sih," sahutnya yang masih tertawa lepas.
Devin tersenyum melihat gadis itu.
"Aku bahagia lihat kamu tertawa yang benar-benar tertawa seperti ini," ucapnya.
"Ayo Devin," ajak Zie pada Devin.
"Ke mana?" tanyanya.
"Lihat ulat bulu," ucap gadis itu.
"Gak mau ah," ucapnya cepat.
"Ayo lah, kamu harus berani melawan rasa takut," ucap Zie tersenyum penuh arti.
"Tapi Zie," ucapnya. Gadis itu langsung menarik tangannya.
"Lihat tuh," ucap gadis itu.
Devin menutup matanya.
"Lihat Devin," ucapnya lagi.
Ia membuka matanya.
"Gak ada kok, udah hilang ulatnya," ucap Zie tertawa.
Devin tertawa cengengesan.
“Ihh,” ucapnya mencubit lembut pipi Zieva.
"Aku paling anti yang namanya ulat," ucapnya.
"Kamu lucu tahu kalau kayak tadi," ucap Zie padanya.
Mereka berpindah tempat duduk.
"Main wahana yuk?" ajaknya.
"Apa?" tanya gadis itu.
"Bianglala. Kamu kan suka naik bianglala," ajaknya.
Meski raut wajahnya kembali sedih. Ia tetap berusah tersenyum. Ia tahu sekarang, Devin sedang memikirkan mendiang Zahwa.
"Ayo," ajaknya.
Mereka naik bianglala. Seru sekali. Hari itu mereka mengenal kata 'sesungguhnya'. Bahagia sesungguhnya, tersenyum sesungguhnya, dan hidup yang sesungguhnya. Mereka bersama menghabiskan waktu mencoba semua wahana. Devin berniat menunggu senja dulu baru pulang.
"Di sini, senja nya jelas banget loh," ucap Devin yang duduk di samping gadis itu.
"Aku sering ke sini untuk lihat senja," ucapnya lagi.
"Kenapa kamu suka senja sih?" tanya Zie penasaran.
"Aku belajar banyak hal dari senja. Senja itu indah. Meski aku tahu dia datang hanya untuk pergi," ucapnya.
Zie yang sedari tadi melihat pemandangan, menoleh ke arah laki-laki itu.
"Kamu datang..." ucapnya lalu berhenti sejenak.
"Hanya untuk pergi?" tambahnya, kini mata gadis itu berkaca-kaca.
"Itu bagi mereka yang berpikir seperti itu, Zie. Banyak lagi yang bisa dipelajari dari senja," ucapnya kemudian menoleh ke arah gadis itu lagi.
"Senja itu setia. Bagi penikmatnya yang melihat sisi baiknya. Ia rela menghilang dulu untuk melihatkan apa yang terjadi setelah dia pergi. Namun esok harinya, ia akan terus kembali kan? Senja kembali. Dengan jingganya yang lebih terang," ucap Devin tersenyum lembut.
"Senja percaya. Dia selalu ditunggu bagi orang yang benar cinta padanya, maka dari itu ia memilih kembali," ucap Devin lagi.
"Aku gak pergi Zie. Maksudnya, hatiku. Hatiku tetap tinggal di sini. Di Jakarta, Aku titipkan padamu," tambahnya.
"Aku pergi untuk melanjutkan pendidikanku. Menjadi orang berguna. Setelah itu, Aku kembali. Mengambil hatiku. Dan mempersatukannya dengan hatimu," tambahnya tertawa kecil.
"Jangan sedih Zie," ucapnya menghapus air mataku.
"Di kota Jakarta. Aku menerima sebuah titipan. Titipan hati milik Devin Anggara. Yang ku jaga, hingga si pemilik kembali," ucap Zie bersorak di bawah senja yang indah bersama laki-laki itu.
"Puitis banget ih," Devin mengacak-acak rambutnya.
“Aku mau melanjutkan pendidikan di UNPAD, Vin,” kini gantian, gadis itu yang bicara.
“Aku mau jagain nenek sekalian, gak beda jauh lah. Masih bisa main ke Bandung,” ucapnya lagi.
“Oh ya?” sahut Devin antusias.
“Beberapa tahun ke depan, kita akan ketemu di Bandung Zie. Aku juga ada di rumah di Bandung. Papa orang Bandung, itu sebabnya aku jarang pakai lo-gue,” ucapnya cengengesan.
“Tapi kalau ke kamu, alasannya beda. Biar romantis, hehe,” celetuknya.
Zie tertawa mendengar itu.
"Udah hilang tuh senja nya, ayo pulang," ajak Zie.
"Siap bos," sahut Devin.
Mereka pulang bersama. Zie tersenyum tipis karena Devin menitipkan hatinya pada gadis itu. Dia tertawa sendiri di dalam hati. Di perjalanan, Zie senyum-senyum sendiri melihat tingkah konyol laki-laki itu.
Seharian dengan Devin sangat menyenangkan. Devin selalu berhasil membuat Zie bahagia. Zie senang dengan semua hal mengenai Devin. Sejak hari itu, hari di mana ia berhasil menaklukan hatinya.
“Hati keras ternyata bisa luluh kalau bertemu orang yang tepat,” ucapnya tersenyum tipis.
Momen bersama Devin masih terlihat jelas diingatannya. Sekarang, bersama Devin ia tak takut lagi untuk membuat banyak kenangan. Karena dia yakin, Devin tak akan membuatnya kecewa akan kenangan yang mereka ciptakan bersama.
Kini, Devin benar-benar akan pergi. Melanjutkan kuliahnya, di Jerman. Gadis itu ragu, entah bagaimana dunianya lagi tanpa Devin. Dia hanya saja takut dunianya kembali seperti dulu sebelum ada Devin di kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]
JugendliteraturZieva Ranaya, gadis manis yang selalu berpikir kehidupan SMA menyebalkan. Masa SMA gadis itu hanya ditemani oleh ketiga sahabat yang ia punya. Tak ada hari-hari spesial dalam hidupnya sebelum ia mengenal sosok laki-laki yang mampu mengubah dirinya. ...