12

1.9K 139 7
                                    

                                 ***
Sepulang sekolah, Zie memutuskan untuk menemui Devin. Rasyid memberitahu Zie jalan dan nomor rumah Devin agar tidak tersesat nantinya. Ia juga sudah familiar dengan jalan itu karena sepertinya ia juga sudah pernah melewati jalan itu bersama papa.  Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Gadis itu segera naik. Bersyukur karena di dalam sana masih tersisa satu tempat yang bisa ia duduki. Gadis itu duduk tenang sambil melihat pemandangannya. Tiba-tiba Bus berhenti karena seorang ibu paruh baya yang seumuran dengan Mamanya ingin menaiki kendaraan ini.
 
"Meski sudah paruh baya gini, ibu ini masih cantik," gumam Zie.
 
"Kelihatannya juga baik," tambahnya.
 
Begitulah Zie, ia tipe pengamat setiap hal-hal yang ia temui di perjalanan.
 
Ibu paruh baya itu celingak-celinguk di dalam bus. Ia tampak mencari bangku yang kosong namun semua tempat sudah ada yang menempati. Gadis itu berinisiatif berdiri karena mengingat ibu yang seumuran dengan mamanya kemudian memanggil ibu itu.
 
"Bu," panggilnya.
 
Ibu itu menoleh pada gadis itu.
 
"Di sini kosong, Bu." Ucapnya pada ibu itu.
 
Ibu itu tersenyum padanya, manis sekali.
 
"Terima kasih ya Nak," sahut ibu itu padanya.
 
Alhasil, ia berdiri di samping ibu itu.
 
"Ibu dari mana?" tanyanya basa-basi.
 
"Dari pasar Nak. Beli bahan masakan untuk anak Ibu." sahut ibu itu.
 
Gadis itu hanya ber-oh ria dan mengangguk di samping Ibu itu.
 
"Makasih ya Nak, karena Ibu, kamu jadi berdiri deh," ibu itu menoleh lagi pada gadis itu tersenyum ramah.
 
"Eh-iya, Bu." Jawab gadis itu tersenyum tipis.
 
Gadis itu melihat jalan rumah Devin kemudian turun dari bus itu.
 
"Loh? Kamu juga tinggal di sini? Rumah nomor berapa? Kenapa ibu gak pernah lihat kamu,Nak? Tanya ibu paruh baya itu lagi pada gadis itu. Banyak sekali pertanyaannya pada gadis itu.
 
Ternyata ibu itu juga turun di tempat yang sama dengan gadis itu.
 
"Enggak Bu. Saya mau jenguk teman," jawab gadis itu tersenyum sambil berjalan beriringan dengan ibu itu.
 
"Oo," balas Ibu itu tersenyum padanya lagi.
 
Gadis itu berhenti ketika sampai di rumah Devin.
 
"Kenapa Ibu ini juga berhenti di sini?" gumam gadis itu.
 
"Kamu mau jenguk teman kamu di rumah ini?" tanya ibu itu lagi pada gadis itu.
 
"I-iya, Bu" sahutnya.
 
"Jenguk Devin?"  tanya ibu itu lagi.
 
"I-iya, Bu," jawab gadis itu.
 
"Kalau Ibu boleh tahu, nama kamu siapa ya?" tanya Ibu itu pada Zie.
 
"Zieva, Bu." Sahut Zie tersenyum tipis.
 
"Oalah, jadi kamu yang Zieva itu. Ayo-ayo masuk," ajak Ibu itu tersenyum ramah, manis sekali.
 
Gadis itu hanya diam tak menyangka, ternyata seorang paruh baya yang ia temui tadi adalah ibunya Devin.
 
"Ayo Nak," ajak ibu itu lagi.
 
Zie masuk ke dalam rumah itu. Cukup luas.
 
"Kamu sering loh diceritain sama Devin ke Bunda," ucap Ibu itu tersenyum lembut. Ia mengubah sendiri panggilan 'Ibu' menjadi 'Bunda'. Persis seperti Mama gadis itu pada Devin.
 
Pipinya terasa menghangat mendengar ucapan ibu tadi.
 
"Devin sakit ya Bun?" tanya gadis itu pada Bunda Devin.
 
Ia terlihat menggelengkan kepala setelah mengeluarkan pertanyaan bodoh itu dari mulutnya.
 
"Iya, Nak. Devin gak mau makan sejak kemarin karena memikirkan Zahwa," jawab ibu itu yang kini berubah menjadi sendu.
 
"Karena itulah tadi Bunda ke pasar untuk membeli bahan makanan buat masakan kesukaan Devin," ujar bundanya Devin.
 
"Devin gak rela Zahwa pergi secepat ini," ucapnya sedih.
 
"Devin itu senang sama anak-anak. Gak jauh beda lah kayak Zie. Zahwa itu anak kecil yang paling dia sayang, karena dia juga gak punya adik," sahut Mamanya Devin.
 
"Bundanya Devin ini tahu Aku suka anak-anak?" gumam gadis itu lagi.
 
"Ayo masuk," ajak Ibu itu.
 
"Ke mana, Bun?" tanya Zie.
 
"Kamar Devin," sahut ibu tersenyum.
 
Gadis itu agak ragu untuk masuk ke kamar Devin. Rasanya belum pernah ia masuk ke kamar laki-laki, kecuali kamar Rehan. Bundanya Devin memegang tangan gadis itu untuk masuk. Gadis itu mendapati Devin sedang tertidur membelakangi mereka.
 
"Apin, lihat ini siapa yang jenguk kamu?" ucap bunda.
 
"Apin gak mau dijenguk Bunda," sahutnya yang berbicara saat tidur. Ia seperti setengah bangun setengah tidur.
 
Zie yang sedari tadi di dekat Bundanya Devin tersenyum geli mendengar panggilan itu. Rengek Devin yang tak mau dijenguk juga membuatnya tak tahan menahan tawa. Devin seperti anak kecil saja.
 
"Tapi lihat dulu ini siapa? Teman kamu loh," ucap Bunda Devin lagi.
 
"Rasyid kan Ma? Udah Syid Gue gapapa kok," Devin berbicara lagi.
 
"Devin," gadis itu bersuara.
 
Devin yang tadinya membelakangi mereka langsung balik arah dan menoleh ke arah gadis itu dan bundanya. Ia tampak sedikit terkejut.
 
"Satu kata dari Zieva aja, baru mau noleh," ucap bunda Devin menggeleng-gelengkan kepala.
 
"Bunda yang udah berkali-kali gak di dengerin,"
 
"Apin gitu ya sekarang," tambah bundanya lagi memasang wajah cemberut.
 
"Berhenti panggil Apin dong bun, kalau ada teman Apin," ujarnya.
 
"Teman apa demen?" kata wanita paruh baya yang manis itu.
 
"Apa sih bun, Apin sakit nih," balasnya tersenyum pada mamanya.
 
"Lah apa hubungannya?" gumam gadis itu menggelengkan kepala pelan.
 
"Ya udah deh, demennya Apin, eh temannya Apin mau jenguk Apin nih. Bunda tinggal dulu ya sayang," ucap unda Devin mengacak rambut tebal hitam milik Devin.
 
"Bunda, di sini aja," ucap Zie memegang tangan bunda.
 
"Bunda ada urusan bentar, di sini aja temanin Apin, tuh ada roti, bujuk Apin deh Zie biar mau makan," sahut Mama Devin menoleh ke meja di kamar Devin.
 
Gadis itu kemudian mengangguk. Ia mengamati dengan jelas desain kamar Devin. Berbeda dengan kamarnya yang tema alam dipenuhi lukisan hujan dan pohon hijau sedangkan kamar Devin ini temanya kuno- kuno bersejarah. Dinding kamarnya dihiasi dengan menara eiffel dengan langit senja. Namun setelah diamati lagi, temanya bukan kuno bersejarah keseluruhan, namun dipenuhi langit senja yang berwarna oren kecoklatan sehingga kamarnya terlihat didesain dengan warna yang tidak begitu mencolok. Rasanya ia ingin bertukar kamar dengan Devin. Kamarnya indah dan rapi.
 
"Desain kamarnya bagus," lirih gadis itu.
 
"Wo iya lah, orang yang punya kamar kan ganteng," sahutnya.
 
Bahkan saat dia terpukul pun, ia masih bisa bercanda. Gadis itu menoleh ke arah laki-laki itu.
 
"Manja banget sih kamu," ucapnya.
 
"Kok manja sih?" sahutnya.
 
"Itu kenapa gak mau makan?" tanya gadis itu menatapnya.
 
"Kamu lama banget sih ke sini, Aku kan nunggu disuapin," balasnya cengengesan melihatkan dua lesung pipi yang ia punya.
 
"Tadi Aku satu bus sama bunda, kata bunda mau beli bahan masakan buat anaknya. Aku pikir anaknya itu masih SD, eh ternyata anaknya itu kamu," ucap Zie tertawa kecil.
 
"Aku gak nafsu makan, Zie." balasnya.
 
"Ternyata, kehilangan orang yang kita sayang, sakitnya kayak gini," ucapnya lagi.
 
"Aku tahu, bunda pasti sedih lihat Aku kayak gini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku belum siap ditinggal pergi Zahwa." ucapnya.
 
           Zie setia mendengar curhatan Devin. Ia mengambil roti dan memberikan roti itu pada Devin.
 
"Gak mau," katanya.
 
"Ayolah Apin," suruh gadis itu.
 
"Jangan panggil Apin ih," balasnya.
 
Zie kemudian membuka kemasan roti coklat itu dan menyuapkan padanya. Tidak cukup waktu lama, ia berhasil melahapnya. Kemudian mereka beranjak ke taman luas yang begitu indah di rumah itu.
 
"Besok sekolah kan?" tanya gadis itu.
 
"Kayaknya nggak dulu deh," sahutnya.
 
"Kok nggak sih?" tanya Zie sedih.
 
"Cantik, sekarang kan hari sabtu ya. Berarti besok minggu. Aku kan bukan tipe anak rajin yang sampai-sampai hari minggu pun aku sekolah," ucapnya melirik gadis itu sambil terkekeh. Gadis itu tertunduk malu. Ia sampai lupa besok adalah hari Minggu.
 
"Pipi kamu kok merah sih?" tanyanya polos. Entah memang dia tidak tahu atau dia pura-pura tidak tahu.  
 
"Dipanggil cantik sama Devin, siapa yang gak merah sih pipinya," gumam gadis manis itu.
          
"Emang pipi cewek mudah memerah ya?" tanyanya pada gadis itu.
 
"Lah lah, pipi kamu kok makin merah Zie. Kamu kenapa sih? kepanasan? Ya udah Aku hidupin AC dulu," ucapnya berdiri.
 
Ia menarik lembut tangannya besar dan lembut Devin. Devin adalah sosok termanis yang pernah ia temui di kehidupannya.
 
"Kan pipi kamu masih merah itu?" ucapnya histeris menunjuk-nunjuk pipi gadis itu.
 
"Devin, jika pipi seseorang itu memerah itu tandanya dia lagi malu, salah tingkah, atau kepanasan juga bisa sih kayaknya,” balas Zie.
 
Devin ber-oh ria.
 
"Lalu kamu yang mana nya? Malu, salah tingkah, atau kepanasan?" tanyanya.
 
"Ya malu lah karena lupa hari," sahutnya tak mau Devin tahu jika ia salah tingkah dipanggil cantik oleh Devin.
 
"Ya udah Vin, Aku pulang dulu," ucapnya lagi.
 
"Yahh, cepat banget sih," katanya memasang raut wajah sedihnya.
 
"Iya, udah hampir gelap nih," sahut gadis itu.
 
"Ya udah, aku antar ya, bentar,” balasnya.
 
"Gak usah, aku bisa pulang sendiri kok," ucapnya sambil berjalan.
 
"Zie, mau ke mana sayang?" tanya bunda Devin.
 
"Pulang, Bun," sahutnya.
 
"Eh, makan malam dulu ya, Nak. Bunda udah masak makanan kesukaan Devin tadi," ajaknya.
 
"Gak usah deh Bun, udah gelap. Takut Mama khawatir," sahutnya.
 
"Kalau gitu biar bunda kasih kabar mama kamu ya," kata bunda membuat gadis itu sedikit terkejut.
 
"Apin, pinjam handphone dong. Mama Mau ngabarin Mamanya Zie nih," kata bunda Devin.
 
"Assalamualaikum,"
 
"Waalaikumsalam, ini nomornya nak Devin kan?"
 
"Iya, Bu. Saya bundanya Devin."
 
"Oh, Mamanya Devin. Ada apa ya Bu?"
 
"Ini, boleh gak Zieva makan malam dulu di rumah kami? Tadi sudah jenguk Devin, sekalian makan di sini dulu. Boleh ya jeng?"
 
"Oo boleh dong, kalau ada Devin dan Ibu bersama anak saya, hehe,"
 
"Terima kasih, Vaditha."
 
"Iya, sama-sama loh Bu. Namanya siapa ya?"
 
"Saya Dayra bu, salam kenal ya. Anakmu cantik loh, hehe."
 
"Iya sama-sama Dayra. Devin juga ganteng tuh,"
 
"Ya udah, kami makan malam dulu ya. Nanti Devin aja yang antar Zie,"
 
"Iya, Dayra."
 
Devin tersenyum mendengar perkataan bundanya. Ia tidak perlu cemas jika ia yang mengantar Zie pulang nanti.  Bunda menarik lembut Zieva. Ia juga mengajak Devin. Devin yang tidak mau makan akhirnya  menuruti bundanya dan makan malam bersama. Hanya ada mereka bertiga di rumah itu, papanya Devin masih bekerja di kantor dan belum pulang. Sebelum pulang, mereka salat berjamaah dan diimami oleh Devin. Ia tak menyangka suara Devin saat membaca ayat al-quran sangat merdu.
Sepanjang malam tadi, Zieva mengingat pertanyaan-pertanyaan aneh dari Devin, pertanyaan yang selalu membuatnya tertawa. Suaranya terngiang-ngiang di telinga gadis itu malam itu. Saat dia menanyakan tentang pipinya yang memerah dan juga saat bundanya yang begitu manis tersenyum ramah padanya. Ia tak habis pikir, seorang Devin. The most wanted boy yang sering disebut-sebut orang di sekolahnya menyebut dirinya yang biasa itu dengan sebutan cantik. Dan anehnya lagi, ia tersenyum disebut begitu padahal sebelumnya ia sangat tidak suka dibilang cantik.
 
Antara senang dan sedih, mengapa ia dipertemukan dengan sosok manis itu saat sebentar lagi ia akan lulus dari sekolah. Zie memanglah gadis yang  acuh dengan lingkungan, itulah sebabnya temannya hanya sedikit, itupun hanya teman sekelas. Namun ia tak menyesalinya, setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini, ia banyak mendapat pelajaran yang berharga dari sosok Devin si manis.
 
***
"Sejak ketemu kak Devin, hidup Kak Zie lebih berwarna ya Ma," Rehan langsung mengoceh di meja makan.
 
"Iya tuh," mama menimbrung.
 
"Ngapain aja di rumah Devin kemarin Zie?" tanya mama pada anaknya yang tersipu malu itu.
 
"Jenguk, terus di ajak makan malam sama bundanya," sahut Zie.
 
"Dicicil ketemu mertua dulu tuh Ma," ucap Rehan terkekeh.
 
"Apaan sih, masih kecil juga," balas Zie pada adiknya.
 
"Tapi ingat Zie, jangan lupain belajar juga karena keseringan mikirin Devin," ujar papa.
 
"Iya Pa," sahutnya terseyum.
 
"Di sekolah ada olimpiade khusus kelas XII loh Pa, masa iya sih udah mau lulus masih aja ada olimpiade." Ucap Zie mulai bercerita.
 
"Bu Allysa tadi nawarin juga," ucapnya lalu terhenti.
 
"Nawarin apa?" tanya Mama..
 
"Ikutan olimpiade biologi, Ma." Sahutnya lagi.
 
"Wah bagus dong, Sertifikat itu kan berguna untuk masuk perguruan tinggi nanti," ucap Mama.
 
"Bu Allysa juga bilang begitu," balas Zie.
 
"Ikutan aja Kak," Rehan menimbrung.
 
"Iya, bagus itu. Uji kemampuan dan memambah wawasan untuk persiapan UN juga," sahut Papa antusias.
 
"Iya, Zie ikut," jawabnya.
 
Usai makan dan berbincang-bincang, Zie pergi menuju taman belakang melihat kolam ikan dan dan duduk di ayunan rumahnya. Ia menyempatkan untuk membaca novel di dekat kolam itu. Sambil melihat pemandangan sekitar dengan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.
 
"Kabar Devin gimana ya?" lirihnya.
 
Ia mengecek handphone untuk melihat notifikasi. Tapi ternyata, tidak ada notif dari Devin.
 
Sehari tidak mendengar kabar Devin dan tak melihat tingkah aneh Devin ternyata rasanya ada yang kurang. Gadis itu mengalihkan pikirannya kembali pada novel yang ia genggam. Mencoba menghilangkan kata Devin dalam otaknya.
 
Ia mendengus kesal. Rasanya, hari minggu ini terasa lama. Ia menunggu malam tiba, agar pagi segera datang. Namun sekarang, senja saja masih enggan muncul. Ia kembali ke kamar dan mulai belajar untuk persiapan UN.
Setelah agak lama belajar, gadis itu merasa jenuh. Ia mengambil handphone untuk menghilangkan kebosananannya. Ternyata ada notif dari grupnya bersama Mecca dan Shena yang sedih karena tidak ada obrolan di grup persahabatan itu semenjak Rasyel keluar dari grup. Sahabatnya juga menyinggung nama Devin yang sekarang menjadi sosok yang berarti di kehidupan Zie, dan juga Zahwa. Zie pun menjadi sedih membaca pesan-pesan dari temannya itu. Setelah selesai menjadi silent rider dan tak ada notif lagi, ia menutup ponselnya dan fokus menyelesaikan tugas fisika yang sudah setengah jalan ia selesaikan.

Satu Hari Bahagia [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang