Nayla sudah bertekad akan menjalani kehidupan seperti orang biasanya. Tanpa klub, cabut, serta masalah lainnya. Meskipun ada satu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Nayla tidak bisa merasakan berada di tengah-tengah keharmonisan keluarga kandung. Pagi ini Nayla mengawali harinya dengan sarapan bersama, layaknya keluarga normal yang lain meskipun bersama keluarga Kaliv. Nayla sudah mengenal keluarga Kaliv sejak ia kecil karena kedua orang tua mereka bersahabat sudah lama. Tepatnya orang tua perempuan.
Selain suara sendok dan garpu yang beradu ke piring, sarapan kali ini juga diisi dengan candaan yang hangat dari keluarga Kaliv. Di dalam hati sebenernya Nayla iri dan ingin merasakan ini semua bersama keluarganya. Tetapi itu hanya harapan yang tidak akan terwujud. Setelah sarapan, mereka langsung pamit untuk berangkat ke sekolah. Dan sekarang Kaliv lah yang mengantar Nayla. Nayla hanya membawa baju, sepatu serta perlengkapan sekolahnya. sedangkan mobil dan fasilitas lainnya bukan sepenuhnya miliknya, sehingga tidak bisa ia bawa, terkecuali handphone.
"Makasih ya, Van," ucap Nayla sambil membuka pintu mobil.
Nayla melambai sebentar dari luar yang dibalas bunyi klakson pendek dari Kaliv. Nayla berbalik-menghadap gerbang sekolah. Tangannya mencengkram sandangan tasnya erat, lalu menghela nafas pelan. Ia yakin bisa melewati kehidupan ini dengan lebih baik. Ketika berjalan di koridor, Nayla melihat Nara keluar dari kelas XI IPA 1 sambil mengusap air matanya. Nayla terdiam, keningnya berkerut heran. Ketika posisinya dengan Nara sudah dekat, Nayla memblokir jalan Nara untuk menanyakan keadaan Nara. Bukan lagi untuk menjahatinya.
"Nar, lo kenapa?" tanya Nayla heran.
Nara mengusap sisa air matanya, lalu menatap Nayla, "Arkan udah berhenti, Nay," ucapnya dengan bibir bergetar. Nara menarik nafas perlahan, berusaha menghentikan tangisannya, "dia udah gak mau berjuang bareng gue lagi, di-dia udah gak peduli sama gue lagi, Nay," sambung Nara sedikit terisak.
Nayla tersenyum kecut, lalu mengusap punggung Nara dan memeluknya.
"Gue ngerti perasaan lo gimana," Nayla melepaskan pelukannya. Ibu jarinya terulur untuk mengusap air mata Nara.
"Lo boleh sedih, tapi jangan disini Nar, sekarang lo lupain dulu masalah ini, nantik terserah deh lo mau nangis atau gimana," ucap Nayla dengan tulus. Tidak ada nada sinis lagi disana.
Nara tersenyum, "Makasih, Nay," jawab Nara sembari mengangguk.
Beruntung sekolah masih sepi, sehingga Nara merasa lega karena tidak ada yang melihat kejadian ini dan tidak akan ada gosip murahan yang disebarkan oleh orang-orang tolol-beredar di sekolah.
Akhirnya Nara melanjutkan kembali langkahnya kekelas dengan berat. Seperti ini rasanya diabaikan? Seperti ini pula rasanya disuruh menjauh secara tidak langsung? Sangat menyakitkan. Terkadang kita harus merasakannya terlebih dahulu didiri kita agar mengerti bagaimana perasaan orang lain. Apa kata menyerah sudah ada di kamusnya? Jika ada, ingin rasanya menghapus bahkan merobek bagian itu agar ia tetap berjuang hingga benar-benar tidak sanggup untuk meneruskannya.
'Tolong katakan kamu masih mencintaiku Arkan! Tolong!'
Batinnya menjerit tidak menentu, memaksa takdir mengembalikan semuanya, memaksa ikatan untuk tetap tersambung tanpa ada bekas putusan. Banyak ungkapkan yang mendeskripsikan bahwa banyak cowok di dunia ini. Namun praktek belum tentu sebagus teori. Itu hanya ungkapan untuk orang-orang yang membohongi perasaan sendiri. Hanya untuk orang muna yang berlagak baik-baik saja di depan orang lain, itu hanya kata-kata bullshit!. Jika bukan pilihan hati, apa bisa menjalankannya dengan tulus?
Nara menarik kursi, meletakkan tas, lalu duduk sembari memeriksa dalam tasnya. Nara mengeluar buku dengan tulisan 'Struggle' di halaman covernya.
"Bahkan kamu ngasih aku novel dengan judul ini, Ar. Itu membuat gue berfikir untuk tetap perjuangin kamu," gumam Nara sambil mengusap tulisan timbul di cover novel itu.
"LO APA-APAAN MAJANG GINIAN, HA?!"
Nara mengernyit heran mendengar suara lantang itu. Bukan karena volume suaranya saja, tetapi karena itu ialah suara yang sangat ia kenal. Karina.
Nara langsung beranjak dan memasang langkah tergesa untuk keluar. Nara seketika keget ketika melihat Karina tengah marah dengan seorang siswi sambil menunjuk-nunjuk mading yang berada di samping mereka. Nara mendekat, guna melihat jelas apa yang Karina tunjuk.
Nara melihat foto yang di cetak di kertas HVS dengan tidak menyangka. Ingin marah, namun rasanya tidak bisa karena perasaannya sedang tidak karuan. Bisa-bisa disaat marah ia tiba-tiba menangis karena lelah dengan perasaannya sendiri. Nara menanggalkan foto dirinya dengan Arkan ketika sedang berbicara serius di kelas XI IPA 1 yang baru mereka lakukan beberapa menit yang lalu. Di bawah foto tertulis : Primadona dan the most wanted kita udah putus gais! Mereka lagi buka lowongan pacar tuh!
Nara tidak menyangka juga, kenapa secepat ini beritanya tersebar? Bahkan kenapa ada orang yang rela mencetak foto ini pagi-pagi dengan jarak hitungan menit dari kejadian. Nara ingat pelakunya, adek kelas yang memang sering menggosipkan dirinya dan Arkan secara terang-terangan. Bahkan dia pernah tertangkap basah sedang membicarakan Nara di pintu kelas Nara ketika Arkan mengantar Nara kekelas. Adek kelas yang memang anak mading ini memang terkenal menyukai Arkan dan mengincar Arkan sejak lama.
Nara meremuk kertas itu, lalu refleks melempar kerimukannya ke dada cewek itu. Di name tagnya tertulis 'Windy Refana'.
"Lo boleh ngejar Arkan, karena itu hak lo. Tapi, lo gak perlu ngelakuin cara norak ini!" Nara melihat Windy dengan mata menyipit, "emang lo gak takut apa? Kalau satu sekolahan tahu Arkan udah putus, saingan lo dapetin Arkan bakal banyak," sambung Nara.
Dia sendiri tidak tahu kenapa bisa mengatakan ini. Sedangkan dirinya diam-diam juga masih memperjuangkan Arkan. Seharusnya dirinyalah yang takut jika Arkan berhasil dimiliki oleh orang lain.
"Apa aku salah memperjuangkan, kak?" tanya Windy dengan bola mata merah.
Pertanyaan Windy justru menohok hatinya.
"L-lo gak salah, tapi caranya yang salah," jawab Nara dengan ragu dan mata yang tidak bisa fokus.
Dan waktunya tidak tepat, untuk saat ini aku tidak percaya diri jika harus bersaing buat merjuangin kamu, Ar. Sambung Nara di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender
Teen FictionCover by Lalinaaa_ Awalnya mudah saja bagi Arkan dan Nara untuk tetap saling percaya dengan komitmen yang mereka genggam. Tetapi bagaimana jika salah satu dari mereka memilih melepaskan?