"Arkan Airlano?" Buk Lina, selaku wali kelas XII IPA 2 mengitari pandangannya ketika nama seorang siswa yang sudah 2 kali ia panggil, tidak juga mendapatkan sahutan.
Ardan mengangkat tangan, "Pindah, buk."
"Pindah? Hm, oke."
Buk Lina kembali melihat ke absennya dan mengambil penanya, sepertinya mencoret nama Arkan dari absen.
Yang belum mengetahui kabar itu langsung saling pandang, terkejut. Tadinya mereka senang bisa sekelas dengan Arkan, namun lenyap begitu saja. Tetapi bagi sebagian siswi tidak akan mengambil pusing masalah itu, karena masih ada Ardan sebagai pengganti cowok idaman mereka.
Nara menghela nafas sedih. Kini semuanya semakin berbeda. Perasaan kehilangan semakin terasa.
Setelah wali kelas mengabsen dan memilih struktur-struktur kelas, kelas kembali bebas karena kegiatan belajar mengajar belum seefektif biasanya.
"Dan!" Ardan yang tadinya asik berbincang dengan Kevan langsung mengangkat kepalanya, melihat siapa yang memanggilnya.
"Arkan kemana sih?" tanya Nara kesal.
Ardan dan Kevan saling pandang. Kemudian Ardan kembali melihat Nara.
"Gue juga gak tau," jawab Ardan tidak peduli.
"Gue serius! Apa salahnya sih ngasi tau!"
"Arkan udah gak mau ketemu sama Nara."
Ardan, Kevan dan Nara langsung menoleh ke asal suara.
"Kok lo ngomong gitu, No?" Nara menatap Vano tajam.
"Nara bawel sih!" Vano tidak peduli. Ia duduk di atas meja Ardan.
Dipon yang sedari tadi datang bersama Vano langsung menarik tangan Nara, membawanya keluar.
Nara menatap Dipon dengan tanda tanya, ditambah dengan raut wajah yang kesal.
"Sorry, Nar. Gue ngerti lo penasaran, ya kita semua juga ngerti kalau lo masih sayang sama Arkan. Tapi tolong, Nar, mending lo tutupin dulu rasa penasaran lo itu. Lo tanya beribu-ribu kali pun kita semua juga gak bakal bisa jawab pertanyaan lo."
Nara menatap Dipon dengan mata berkaca-kaca, "tapi kenapa, Pon?" tanya Nara dengan bergetar.
Dipon memegang bahu Nara, "Tolong, Nar, gue mohon."
Nara menggeleng, "Gak, Pon. Gue harus tau Arkan kemana, apa alasan dia pin-"
"Tolong, Nar! Lo jangan egois gini!"
Nara menatap Dipon sedih, "gue gak egois, Pon. Gue ngerti Arkan udah gak nganggep gue siapa-siapanya lagi, gue tau Arkan udah lupa sama gue," Nara menyeka air matanya, "Gue bukan siapa-siapa lagi."
Dipon mengusap wajahnya, lalu menghela nafas, "Bukan gitu, Nar."
"Iya, Pon. Gue gak bakal nanya-nanya Arkan lagi."
Nara tersenyum kecut, lalu berbalik, melangkah menjauhi semua orang yang tidak akan pernah bisa mengerti isi hatinya.
🍁🍁🍁
Sepulang sekolah, Nara meletakkan tasnya di kursi meja belajarnya, lalu merebahkan badannya di atas tempat tidurnya. Ia melihat langit-langit kamarnya, memikirkan kemana dan kenapa Arkan pindah sekolah. Nara langsung beralih mengambil handphonenya di saku roknya, lalu mencari kontak Arkan. Nara melihat tulisan 'panggil' di kontak Arkan cukup lama, lalu ibu jarinya nekat memencetnya, mengakibatkan suara telepon terhubung mulai terdengar. Setelah lama menunggu, dan menduga sudah pasti tidak akan di jawab, Nara langsung tercenung ketika ternyata dugaannya salah. Hitungan durasi menelepon muncul di layar handphonenya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender
Teen FictionCover by Lalinaaa_ Awalnya mudah saja bagi Arkan dan Nara untuk tetap saling percaya dengan komitmen yang mereka genggam. Tetapi bagaimana jika salah satu dari mereka memilih melepaskan?