24 - Masa Lalu (2)

450 56 4
                                    

Siswa SMA Airlangga dan Bramasta sibuk mencari kayu dan rerantingan di sekitar lokasi perkemahan. Setiap regu wajib mengumpulkan kayu atau rerantingan sebanyak-banyaknya untuk membuat api unggun. Sedangkan siswi-siswinya bertugas menyiapkan ayam dan mengolesi jagung dengan mentega untuk dibakar dan dimakan bersama-sama nanti.

Setelah semua siap dan waktu acara api unggun sudah tiba, kayu dan rerantingan yang sudah disusun di tengah-tengah halaman dibakar oleh si jago merah. Tidak perlu upacara api unggun terlebih dahulu, karena kemah mereka tidak seresmi perkemahan yang biasa dilakukan ekskul Pramuka. Nara celingukan mencari rombongan Arkan karena halaman sangat ramai dan hari sudah malam. Hanya api unggun dan lampu-lampu di tenda sekitar yang menerangi.

"Nar."

Nara menoleh ke belakang. Ternyata Kaliv. Kaliv melangkah ke depan Nara.  Kepala Nara yang tadinya menoleh ke belakang, kembali menolehkan ke depan, karena kini Kaliv sudah di depannya.

"Kenapa, Liv?" tanya Nara.

"Bareng gue yuk," tawar Kaliv.

Tetapi tawaran Kaliv membuat Nara bingung. Ia sudah janji untuk duduk bersama Arkan. Nara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hm, sorry ya Liv, gue bareng temen-temen gue."

"Oh, okedeh, Nar. Gue duluan ya," pamit Kaliv sedikit kecewa.

Nara mengeluarkan handphonenya karena kewalahan mencari Arkan. Biasanya Arkan dan teman-temannya sangat mudah dicari karena keributan mereka. Namun suasana kali ini sangat riuh sehingga keributan mereka tidak terdengar, melainkan bercampur dengan suara lainnya menjadi satu.

Nara menekan lambang telepon di kontak Arkan. Untunglah tidak sampai nada sambungan kedua, telepon itu sudah di jawab.

"Ar, kamu dimana?" tanya Nara.

"Di belakang kamu," jawab Arkan dari telepon.

Nara langsung berbalik, dan menutup teleponnya dengan canggung ketika melihat Arkan berdiri di belakangnya dengan Handphone di telinganya. Lalu Arkan juga ikut mematikan handphonenya dan meletakkannya di dalam saku celana.

"Yakin mau dengar cerita Arkan?" tanya Arkan membuka suara.

Nara menatap Arkan lekat, "Nara malah seneng Arkan mau percaya sama Nara."

Arkan tersenyum, kemudian mengajak Nara untuk duduk di salah satu kursi panjang di halaman.

"Arkan udah lama berantem sama Ardan, kembaran Arkan."

Arkan mulai bercerita. Nara menatap Arkan tepat di manik mata. Ada kesedihan tersirat disana.

"Ardan dulunya sekolah di Bramasta. Tapi, karena Arkan, dia dikeluarin dari sekolah. Gak ada SMA yang berkualitas nerima dia. Akhirnya dia di masukin ke Britama. Tapi tetap aja, dia tetap marah sama Arkan gara-gara Britama cuma sekolah biasa. Sedangkan Arkan yang bersalah, sekolah di SMA yang berkualitas."

Nara semakin menajamkan pendengarannya. Semua tanda tanyanya akan terjawab malam ini. Ia penasaran dengan semuanya.

Pikiran Arkan terputar ke kejadian satu tahun yang lalu.

"Dan, lo gantiin gue di sekolah gue lagi, ya," pinta Arkan sambil menepuk bahu Ardan.

"Emang lo mau kemana?" tanya Ardan, matanya memandang Arkan lekat.

"Pergi, nemenin Nayla. Udah tenang aja. Pas lo ujian gue bakal gantiin lo deh, biar nilai lo tinggi. Mama bakal senengkan kalau nilai lo tinggi?"

Percakapan malam itu memang sudah sering terjadi. Sudah sering Arkan meminta Ardan pura-pura menjadi dirinya di sekolah. Akhirnya , pihak sekolah Ardan memanggil Lana, karena Ardan sudah sering sekali absen di sekolah. Dan pihak sekolahpun memutuskan untuk mengeluarkan Ardan dari sekolah.

Arkan kembali melanjutkan ceritanya.

"Disaat itu juga papa meninggal. Karena almarhum papa itu orangnya sangat mementingkan pendidikan. Papa punya penyakit jantung. Dia shock denger Ardan dikeluarin dari sekolah. Mama jadi dingin dengan Ardan, sedangkan Ardan berusaha buat nyari perhatian mama lagi. Arkan merasa bersalah banget, Ra. Disaat Ardan butuh perhatian mama, Arkan justru mengabaikan mama."

Arkan menunduk dalam. Ia menggenggam tangannya sendiri. Nara jadi merasa bersalah sudah marah dengan Arkan tanpa ia tau yang sebenarnya.

Arkan mengangkat kepalanya, menatap Nara lembut. "Kamu yakin gak akan ngejauh setelah dengar yang selanjutnya?"  tanya Arkan ragu.

Nara menghela nafasnya pelan. Tangannya terulur untuk memegang tangan Arkan, "Nara gak peduli masa lalu Arkan seburuk apa, Nara ada disisi Arkan yang sekarang, bukan yang dulu."

Nara melepaskan kembali genggamannya di tangan Arkan. Bagaimanapun juga, mereka sekarang berada di lingkungan warga sekolah. Arkan tersenyum lembut. Merasa beruntung mempunyai Nara yang mau menerimanya dan juga menuntunnya menjadi lebih baik.

"Arkan dulu-"

Nara menatap Arkan lekat, penasaran dengan kalimat yang akan Arkan katakan.

"Bukan cowok baik-baik, Ra. Arkan merokok, ngeclub. Sejak SMP kelas 3."

Jujur, Nara cukup kaget mendengarnya. Namun berusaha ia tutupi. Ia tidak ingin Arkan akan menyangka ia marah dan tidak terima dengan pernyataan barusan.

"Tapi mama sama papa gak tau kelakuan Arkan yang sebenarnya. Karena tertutupi dengan prestasi Arkan di sekolah. Ardan tau, tapi dia nutupi itu demi Arkan. Kelakuan Arkan semakin menjadi sejak Arkan pacaran sama Nayla. Arkan suka cabut bareng dia, sedangkan Ardan Arkan suruh gantiin posisi Arkan di sekolah supaya pihak sekolah gak tau kalau Arkan cabut. Ardan mau, karena Arkan janjiin bakal gantiin dia waktu ujian. Ardan pengen banget mama sama papa bangga dengan nilainya. Tapi Ardan lemah dalam akademis. Pihak sekolah Ardan nelfon mama buat ngasi tau kalau Ardan udah berhari-hari gak datang. Akhirnya pihak sekolah mutusin buat ngeluarin Ardan."

"Karena Arkan merasa bersalah banget, Arkan terpaksa mutusin Nayla dengan alasan yang gak jelas. Kejadiannya di Rooftop. Itu alasan Arkan kenapa Arkan benci banget ke rooftop."

"Tapi, Ra." Arkan menatap Nara lekat.

Tatapannya lembut. Masih sama dengan tatapan yang sebelum-sebelumnya.

"Semenjak ketemu kamu, Arkan jadi lebih baik. Arkan berhenti buat ngerokok, ngclub, cabut."

"Bukan karena cuma mau masukin Ardan ke Airlangga?" tanya Nara.

Arkan mengernyit, "kata siapa?"

"Nayla."

Arkan menyunggingkan satu sudut bibirnya. Kemudian menghela nafasnya pelan, "Jujur, awal Arkan dekatin kamu karena itu. Tapi itu dulu, Ra. Arkan beneran sayang sama Nara."

"Arkan pengen kita perbaiki hubungan ini lagi. Kita buka lembaran yang baru. Arkan pengen kita mulai lagi. Arkan sayang sama kamu, Ra."

Nara tertegun. Arkan menatapnya sangat lekat. Tidak ada raut bercanda di sana.

Nara tersenyum, "Iya, Ar."

SurrenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang