48 - Be mine

3.1K 175 4
                                    

Lagu Call out my name terputar, mengisi keheningan mobil yang baru saja terjadi. Setelah lagu sudah sampai di pertengahan, Nara langsung mematikan lagu itu, membuat Arkan menatap Nara dengan artian 'Kenapa'.

"Tiap denger lagu ini bawaanya sedih mulu gue," Otak Nara bahkan terlintas ke pertengkaran- pertengkaran mereka di masa lalu, "melow banget," sambungnya.

Arkan tersenyum, "Gimana selama di London?" tanya Arkan, mencari topik agar keheningan tidak menyelimuti mereka.

"Yaa gitu-gitu aja sih, Ar," Nara memutar-mutar handphone di tangannya, "yang gue pikirin , gimana biar gue bisa cepet lulus dari sana. Walaupun di sana enak, bisa rasain negara lain, tapi kalau bawaan hati gue mikirnya kesini terus, jadi pengen cepat-cepat balik."

Nara melihat Arkan, lalu bergumam, "Gimana keadaan lo, Ar? Udah sembuh?"

Arkan mengangguk, "Hm."

Nara yang masih memandangi Arkan langsung terkekeh.

"Kenapa?" tanya Arkan sembari melirik Nara sekilas.

"Lo itu gak berubah tau gak, jawabnya selalu dengan gumaman."

Arkan tertawa sembari memutar stirnya ke kiri, masuk ke dalam SMA Airlangga. Nara yang sejak tadi tidak tahu Arkan akan membawanya kemana, langsung terpaku melihat sekolahanya. Tempat dimana ia baru merasakan pahit, asam, manisnya cinta.

Nara melihat ke taman yang berada di dekat parkiran. Salah satu tempat bersejarah mereka, karena taman ini salah satu saksi bisu mereka ketika mereka tertawa bahkan saling emosi. Taman ini tidak banyak berubah. Bedanya, kini di taman ini ditambah dengan sebuah kolam ikan.

"Setelah pindah lo pernah kesini lagi, Ar?" Nara menatap Arkan lekat.

"Ini pertama kalinya," Arkan keluar dari mobil, "Yuk, Ra."

Nara ikut keluar dari mobil, mengitari pandangan dikawasan sekolahnya dulu.

"Untung waktu tahun kita dulu belum ada kolam ikan,"  ucap Nara sembari berjalan kedalam sekolah, saat mereka melewati taman.

"Kok gitu?"

Nara tersenyum melihat Arkan, "kalau gue khilaf, waktu gue debat sama lo, mungkin udah gue ceburin lo ke kolam."

Arkan tersenyum menahan tawa.

Setiap mencium aroma yang pernah ada di kehidupannya, otak Nara pasti akan terputar ke masa-masa lalu. Bahkan dengan merasakan suasananya saja, badannya akan berdesir aneh, merasa tersentuh oleh perasaan tertentu. Ya begitulah Nara, wanita dengan hati sensitif. Mudah merasakan perasaan sedih, bahagia, terharu, dan perasaan lainnya. Bahkan rasanya, matanya ingin meneteskan air mata. Tetapi itu tidak mungkin ia lakukan. Jika Arkan bertanya kenapa, dia akan bingung bagaimana cara menjelaskannya.

"Kita ngapain kesini, Ar?" tanya Nara yang masih belum mengerti kenapa sang masa lalunya ini membawanya kesini.

"Nostalgia." Arkan tertawa kecil.

"Eh, tapi lama-lama serem juga sih Ar, ke sekolah malam-malam." Nara bergidik ngeri.

Arkan menatap Nara lembut. Jika saja mereka masih terkait oleh status, mungkin dia akan senang hati meminjamkan bahunya. Membiarkan tangannya merangkul Nara agar gadis yang kini sudah terlihat dewasa ini tidak merasa ketakutan. Meski begitu, sifat Nara masih sama di mata Arkan, gadis bawel yang takut dengan hal-hak berbau mistis.

"Gapapa, gak ada yang aneh-aneh kok di sini." Arkan mencoba menenangkan.

Nara berjalan di samping Arkan, mengikuti kemana Arkan berjalan. Arkan berjalan menuju rooftop. Hati Nara kembali tersentuh. Tiba-tiba ia teringat momen saat mereka benar-benar putus dan tidak kembali lagi.

Setelah sampai di rooftop, Nara menatap takjub pemandangan dari sini. Kelap-kelip lampu kota terlihat sangat indah.

"Ra, tujuan aku bawa kamu kesini, pengen merubah kesan aku dengan tempat ini." Nara menatap Arkan gugup ketika tiba-tiba Arkan kembali memanggil dengan sebutan aku-kamu. Ditambah juga dengan tatapan Arkan yang terlihat serius.

"Jujur, gak ada pengalaman baik di rooftop ini. Dan untuk pertama kalinya aku pengen mengukir kebahagiaan, dan melupakan kejadian-kejadian buruk yang lama," Arkan tersenyum, "coba lihat ke atas, Ra."

Nara mengangkat kepalanya. Ia menatap penasaran ke arah balon-balon huruf, yang di rangkai menjadi sebuah kalimat, dan di terbangkan kata per kata.

Please

Be

My

Wife

Nara menutup mulutnya terharu. Ia menatap Arkan tidak percaya. Kini ia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Kali ini berbeda. Air mata yang Arkan ciptakan berubah menjadi air mata kebahagiaan.

Nara mengangguk cepat, lalu melangkah untuk memeluk Arkan.

"Makasih, Ra."

"Aw, Vano ish!"

Nara melepaskan pelukannya, melihat ke asal suara.

Tampak Dipon tengah memijit kakinya, "lo liat-liat dong, ni kaki masih guna! Main injek-injek aja!"

Vano keluar dari persembunyian, dibalik tembok yang masih berada di rooftop, "Lebay lo Pon, diinjek aja kincep!"

"Lo liat telapak sepatu lo gimana?"

"Ya kan ini sepatu mahal, Pon, norak banget  sih!" dengus Vano tidak terima.

Nara dan Arkan melihat mereka dengan terkekeh.

"Kevan mana?" tanya Arkan.

Vano dan Dipon saling pandang, tidak tahu.

"Seharusnya dia di atap gudang," Vano menunjuk gudang yang terletak di rooftop, "dia yang nyalain kembang api."

Pletak!

"LAHAULAA! WOII, GUE TAKUT KEMBANG API!"

Kevan berteriak histeris ketika kembang api yang seharusnya di arahkan ke langit, malah terarah ke depan. Untunglah tidak ada korban jiwa akibat ulah Kevan.

Tawa mereka pecah ketika Kevan turun dari atap gudang dengan terbirit-birit.

"Kampret tuh Karina, seharusnya kan dia nyalain kembang api bareng gue, eh malah layani panggilan alam di Wc," adu Kevan dengan kesal.

"Udah selesai ya?"

Mereka semua beralih menatap ke asal suara. Karina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Kevan berlari mengejar Karina, "KAMPRET LO, KAR!!"

Karina yang tidak mengerti kenapa di kejar, tetap berlari menghindari Kevan untuk berjaga-jaga, "Apaan anjirr."

SurrenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang