"Prada, Prada! Itu meja nomor dua belas manggil!"pinta Nara pada salah satu karyawannya. Anxo memang sudah buka sejak jam enam pagi. Jadi orang-orang dengan tingkat kesibukan tinggi bisa mampir kesini untuk sekedar sarapan ringan.
"Lihat kan? Bahkan Nara sama sekali nggak mau nengok ke sini karena ada lo. Udah deh, lo iyain aja lamaran Kak Ivan. Gue jamin dia orangnya serius. Dia dari kecil ambisinya gede. Apa pun yang dia mau harus dia dapat dengan usahanya sendiri. Dulu Om Wal nggak semapan itu. Dia cuma pegawai pabrik biasa. Hampir seluruh hartanya sekarang dari Kak Ivan. Bahkan dia yang udah biayain kuliah Kak Delon sampai lulus. Oke, Ra?"tutur Nindy ketika ia dan Aira sedang memperhatikan lalu lalang pengunjung dari ruang manager yang hanya terpisah sekat kaca.
"Tapi gue nggak mencintai Ivan, Ndy. Dan gue masih belum bisa ngerelain Nara. Tiap gue ingat Nara rasanya sakit..."tanggap Aira.
"Hedeh... zbl! Ya lo jalanin dulu sama Kak Ivan. Witing tresna jalaran saka kulina. Itu kata pepatah jawa. Kali aja lo bisa move on dari Nara. Lo hanya bisa move on ketika hati lo udah ada yang ngisi lagi. Asal lo tahu, Kak Ivan itu..." Aira mengangkat telapak tangannya ke muka Nindy. Tanda ia harus menghentikan pembicaraan ini dulu karena ponsel Aira berdering. "Halo?"
"Kakak, Ayah masuk rumah sakit kena serangan jantung. Tadi Aida ditelpon sama bos Ayah. Sekarang Aida lagi di sekolah, Kakak jemput, ya?"suara penelepon di seberang sana terdengar panik. Sehingga Aira ikut panik.
"Oke, Kakak ke sekolah kamu sekarang!"ujar Aira tegas sambil memutus sambungan telepon. "Ndy, gue bawa mobil lo, ya?"
"Ada apa, Ra?"tanya Nindy khawatir.
"Bokap gue kena serangan jantung, Ndy."
"Gue ikut. Biar gue yang nyetir. Nggak baik kalau lo nyetir dalam keadaan panik kaya gini. Iyaz biar sama Nara." Mereka berdua pun keluar ruangan dan menitipkan Tival pada Nara. Cowok itu juga sangat terkejut dengan kabar kolapsnya Kartono, Ayah Aira yang sudah sangat dekat dengannya sejak ia kecil.
"Lhah, gue ikut kalau gitu. Kenapa Iyaz nggak diajak sekalian?"protes Nara.
"Iyaz masih bayi, Nar. Dia pasti rentan banget sama virus, kasihan kalo dibawa ke rumah sakit."jelas Nindy.
"Kalau gitu, titipin nyokap lo aja."
"Ya nggak keburu. Ini masih harus jemput Aida juga, lho."
"Mau sampai kapan kalian debat? Gue tinggal, nih."lerai Aira yang mulai mondar-mandir tidak sabar.
"Ya udah, Nar. Lo antar Aira ke rumah sakit. Gue cemas kalau dia nyetir sambil panik."putus Nindy akhirnya. Nara tampak ragu. Itu berarti dia harus berduaan dengan Aira selama beberapa menit ke depan sebelum ada Aida.
"Nggak, Ndy. Gue pergi sendiri aja. Sini kunci mobilnya."tolak Aira sambil mengacungkan-ngacungkan tangannya.
"Oke, gue antar Aira."ujar Nara yang dengan sigap merebut kunci mobil Nindy. Sirat kecemasan langsung sirna dari mata Aira, berganti dengan binar harapan. Akhirnya Nara mau mengucap namanya lagi. Terakhir kali Nara mengucap namanya saat malam pernikahan Nindy, itu karena pertengkaran mereka. Ini suatu kemajuan.
Sekolah Aida dapat ditempuh dalam waktu lima belas menit. Aira sering menjemputnya ke sekolah dengan mobil Nindy. Aida langsung menangis sesenggukan di bahu Aira begitu memasuki mobil. Setelah itu mereka langsung melesat ke rumah sakit.
"Kak, Ayah, Kak..."rengek Aida begitu mereka tiba di depan kamar perawatan Kartono.
"Ayah akan baik-baik aja, Da. Udah jangan ditangisin nanti Ayah ikut sedih. Mending kamu do'ain Ayah aja."bujuk Aira. Sebenarnya ia juga ingin menangis sekencang-kencangnya atas cobaan ini. Tapi semuanya ia tahan. Karena ia tak memiliki tempat bersandar sementara dirinya sendiri adalah satu-satunya orang yang dibutuhkan Aida.
![](https://img.wattpad.com/cover/145766511-288-k227782.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Mataku
ChickLitIvan merupakan sosok yang keras dan dingin. Semua yang berhubungan dengannya serba teratur. Karakternya itu terbentuk bukan tanpa alasan. Hingga akhirnya ia menemukan cahaya matanya dan perlahan memaafkan.