7

1K 10 0
                                    

Esok hari adalah Senin. Ivan masuk kerja seperti biasa. Mereka hampir kesiangan karena melanjutkan ronde yang diinterupsi Waluyo berkali-kali. Untung Aira sudah berbelanja dan dengan cekatan ia menyiapkan sarapan. "Makan dulu, Van." Suaminya tak menggubris Aira. Ia sibuk memakai kaus kaki di sofa. "Papa, ayo makan dulu."rayu Aira. Sengaja ia memanggil Ivan 'Papa' supaya mau sarapan.

"Tidak sempat, sudah jam enam lebih."tolak Ivan.

"Ish ngeyel. Kalau nggak mau makan nggak boleh nenen, nggak boleh mijat, no more sex."ancam Aira.

"Tapi Papa sudah hampir telat. Paling nanti Mama yang minta lebih dulu." Ivan masih keukeuh pergi. Bahkan ia lupa pamitan pada istrinya. Tak ada cium tangan apalagi kecup kening. Demi tidak terlambat, pria itu rela naik motor daripada mobil.

"Dia nggak tambah masuk angin apa naik motor? Kan perutnya masih kosong. Gue khawatir sama lo tahu."gumam Aira sambil menatap punggung Ivan yang menjauh.

"Bu Ivan, nggak belanja?"sapa Bu Bimo yang lewat dengan kresek belanjaannya. Rumah wanita itu tepat di samping Aira.

"Masih ada stok, Bu. Kemarin beli banyak di pasar."

"Terus ngapain bengong di luar? Saya kira nyari Mang Cepot. Dia udah pulang."

"Suami saya buru-buru kerja sampai nggak sempat sarapan. Terus Bu Bimo dari mana?"

"Saya dari rumah Bu Jono ambil pesanan baju. Nggak sempat sarapan apa nggak sempat nyusu?"

"Bu Bimo!"

"Iya, maaf. Habis kejadian kemarin hot banget! Beritanya udah nyebar ke seluruh komplek." Aira melotot mendengarnya. Semua ini gara-gara Ivan yang suka lupa mengunci pintu.

"Please, saya malu, Bu."

"Halah, cuekin aja. Kalian kan udah halal. Kami yang salah langsung masuk rumah orang padahal belum dipersilakan. Mending Pak Ivan samperin ke kantornya aja."

"Ide bagus, Bu Bimo! Nanti saya tanya alamatnya ke mertua saya."

"Siapa dulu, istrinya Bimo! Ya udah sana dandan yang cantik, biar Pak Ivan makin lahap nyusunya." Bu Bimo pun pergi dari depan rumah Aira.

"Bu Bimo!"

Aira mendapatkan alamat kantor Ivan dengan mudah dari Waluyo. Bahkan mertuanya itu menawarkan diri untuk mengantar. Tapi Aira menolak. Ia tak mau membuat mertuanya kelelahan. Di usia senja begini, Waluyo harus banyak istirahat.

Aira tersenyum puas ketika bekal suaminya sudah tersusun cantik. Sudah pukul setengah sembilan. Daripada Aira bosan di rumah, lebih baik ia menyusul Ivan kerja. Tadi malam ia tak berhasil membujuk Ivan agar mengizinkannya bekerja. Dasar suami batu!

"Bu Ivan?"sapa Abi, satpam kantor yang memang datang saat pernikahan Aira.

"Ivan ada, Mas Abi?"

"Di ruangannya, Bu, yang ada tulisannya Presiden Direktur. Ada namanya Pak Ivan juga di situ. Tumben tadi pagi bawa motor."

"Kita kesiangan. Dia belum sarapan. Makanya dibawain bekal."

"Wah, beruntung banget Pak Ivan. Masuk aja, Bu. Sebelum meeting jam sepuluh nanti. Biar bugar dan berhasil presentasinya."

"Makasih, Mas Abi. Saya masuk dulu."pamit Aira. Menemukan ruangan Ivan tak sulit. Karena begitu masuk kantor, setiap orang menyapanya dan menunjukkan ruangan Ivan tanpa ditanya. Mereka semua pernah datang ke pernikahan Aira. Makanya kenal.

Begitu tiba di depan ruangan presdir, Aira mengetuk pintunya. "Masuk!" Terdengar suara Ivan menjawab. Aira masuk dan mengunci pintunya.

"Halo, Ivan!"sapa Aira bersemangat.

Cahaya MatakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang