6

1.1K 10 2
                                    

Tepat sebelum subuh Aira terjaga. Ia memang terbiasa bangun pagi karena selama ini ia yang menjadi sosok ibu bagi Ayah dan Aida. Menyiapkan sarapan, mencuci dan menyetrika pakaian, membersihkan rumah, dan sebagainya. Untung Aida anaknya cepat mandiri. Gadis itu mulai bisa mengurus rumah tangga sejak kelas enam SD. Aira sangat terbantu karenanya. Namun lagi-lagi ia tak menemukan Ivan di sisinya. Persis dengan kejadian di hotel. Pria itu jauh lebih rajin darinya ternyata.

"Baru bangun?" Aira lega ketika melihat Ivan masuk ke kamar.

"Heem, dari mana?"

"Olahraga sebentar sambil nunggu subuh. Mandilah, kita salat berjamaah."

"Bentar ngumpulin nyawa. Lo biasa olahraga jam segini?"

"Iya, kapan lagi? Habis subuh saya siap-siap bekerja. Semakin tinggi jabatan semakin pagi masuknya. Kalau karyawan biasa masuk jam tujuh, saya setengah tujuh. Dari rumah harus jam enam atau bahkan setengah enam kalau macet."

"Kok nggak ngajak-ngajak olahraga?"

"Kamu tidak pesan tadi malam. Ya sudah mulai besok saya bangunkan kamu."

"Nah, gitu, dong. Kan kita bisa sehat bersama sampai tua." Ivan mengaminkan dalam hati. Duh, istrinya manis banget pagi-pagi begini. Kalau tidak kepentok salat subuh sudah diajaknya Aira melanjutkan ronde yang tertunda kemarin. Mungkin efek otak masih fresh. Lalu Aira beranjak ke kamar mandi.

Usai salat Aira keluar ke halaman depan. Tadinya ia mau langsung memasak sarapan di dapur. Tapi ia baru ingat bahwa tak ada bahan makanan apa pun di rumah. Ivan sih janji mengantarnya ke pasar. Tapi perutnya keburu lapar. Tak lama kemudian ia menangkap gerombolan ibu-ibu di ujung gang. Wah, ada tukang sayur keliling! Aira kembali masuk rumah untuk mengambil dompet.

"Kenapa buru-buru? Saya pasti antar kamu ke pasar."tegur Ivan. Bukannya apa, ia takut tingkah Aira yang selebor mencelakai dirinya sendiri.

"Iya kita ke pasar tapi gue udah lapar. Mumpung ada tukang sayur di depan, gue mau masak yang ada dulu."jawab Aira yang kemudian melesat keluar.

Aira disambut tatapan penasaran ibu-ibu ketika menghampiri si tukang sayur. "Ada Neng Geulis, langganan baru Mang Cepot."sapa si tukang sayur. Mereka penasaran dengan Aira yang baru kelihatan di lingkungan sini.

"Tinggal di mana, Neng?"sapa seorang ibu berjilbab ungu.

"Blok Q2, Bu."jawab Aira sambil memilih-milih buncis. Hmm, tumis di pagi hari enak juga. Ditambah tempe goreng dan telur dadar.

"Sejak kapan?" Dih, kepo amat ini ibu. Ladeni saja deh, basa-basi sama tetangga itu perlu biar tidak dikira sombong.

"Baru kemarin."

"Berapa?"

"Hah? Apanya? Saya belum punya anak."

"Bukan, kalau itu mah saya tahu. Orang badan Neng masih singset. Maksudnya dibayar berapa kerja di situ?" Hah? Kerja? Aira menunduk memperhatikan penampilannya. Wah, dia dikira pembantu. Sialan. Ia memang hanya keluar dengan celana kolor monster energy kesayangannya dan kaos hitam ala-ala anak metal. Rambutnya pun hanya ia gulung asal dengan jedai.

"Maaf, saya istrinya Ivan Prawiratama."

"Hah?! Seriusan? Kapan nikahnya? Pak Ivan ke sini sesekali doang. Rumahnya banyak kali ya. Terus kok tiba-tiba ada situ? Nikahnya bukan karena kecelakaan kan?" Seorang wanita dengan rol rambut bejibun langsung meleduk mulutnya.

"Maaf saya tidak mengundang Ibu-ibu semua waktu itu, saya luput. Selama ini saya tinggal sama orang tua saya. Malam minggu datang ke acara syukuran di rumah saya ya. Alhamdulillah kami menikah secara baik-baik. Tolong jangan bicara buruk tentang keluarga saya. Saya tunggu kehadirannya ya, Ibu-ibu."tiba-tiba Ivan sudah berdiri di belakang Aira dan merangkul pinggangnya. "Sudah selesai belanjanya, Sayang?"

Cahaya MatakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang