9

963 10 0
                                    

Saat itu hari Minggu, Aira meminta Ivan membantu keluarganya bersih-bersih rumah. Hanya hari Minggu pria itu punya waktu luang. Selebihnya sibuk bekerja. Bahkan bosnya sering mengajaknya dinas luar. Hari Minggu pun Ivan kadang membawa pekerjaan ke rumah. Tapi pria itu cukup baik untuk mau membantu mertuanya. Mereka bersih-bersih dalam rangka pensiunnya Kartono. Ia mendapat pesangon sangat besar dan berniat merenovasi beberapa bagian rumahnya yang rusak.

"Ayah dan Aida pindah sementara saja ke kontrakan. Barang-barang biar jasa pindahan yang mengurus supaya rumah ini bisa terenovasi sempurna. Ivan yang tanggung semuanya."saran Ivan.

"Nggak usah, Van. Apa-apa kok kamu. Sekolah Aida udah kamu yang biayain. Pernikahan Aira semua kamu yang nanggung. Cukup, Van. Itu terlalu banyak. Mending kamu fokus kerja. Uangnya ditabung untuk anak kamu kelak."tolak Kartono halus. Aira hanya diam mendengar percakapan suami dan ayahnya. Ivan memang terlalu baik. Apa-apa dikasih. Sementara Aira hanya membalasnya dengan tubuhnya yang dipuja Ivan.

"Tabungan Ivan masih cukup. Ini Ivan lakukan demi kebahagiaan kalian."

"Gimana kalau kami malah nggak bahagia? Ayah bakal nggak nyaman kalau kamu seperti ini terus."

"Tapi, Yah..."

"Aira nemu album lama nih!"seru Aira berusaha mengalihkan perhatian. Ia tak mau Ivan terus memaksakan kebaikan pada keluarganya yang tak bisa ia balas.

"Udah lama banget nggak lihat itu!"seru Aida antusias. Kartono dan Aida pun menghampiri Aira dan melihat-lihat album itu. Mereka bertiga tertawa bersama mengingat masa lalu. Ivan hanya menatap mereka sejenak dan kembali fokus menyikat debu di karpet. Tapi diam-diam Aira sadar tatapan sedih yang dilontarkan suaminya, entah apa alasan di balik itu.

Aira dan Ivan pamit saat sore hari. Bersih-bersih hari itu cepat selesai berkat bantuan Ivan dan Aira. Sebelumnya mereka sempat makan siang bersama melalui jasa ojek online.

"Van, lihat deh! Ibu cantik ya dulu kaya gue."ucap Aira dalam perjalanan pulang sambil menunjukkan selembar foto. Ivan hanya meliriknya sekilas karena ia harus konsentrasi mengemudi di tengah kemacetan.

"Iya cantik."jawab Ivan singkat.

"Ibu meninggal waktu melahirkan Aida. Gue nggak munafik kadang menyalahkan Aida atas kematian Ibu waktu kita berantem. Tapi kemudian gue sadar, Aida nggak lebih beruntung dari gue yang sempat merasakan kasih sayang Ibu. Karena itu gue nggak pernah sanggup marah ke Aida lama-lama." Aira berharap dengan terbuka pada Ivan, pria itu pun mau terbuka padanya.

"Kamu mau ke makam Ibu?"tawar Ivan.

"Minggu depan aja. Lo pasti capek. Ngomong-ngomong... Mama ke mana?"

"Mama siapa?"

"Nyokap lo." Tak ada sahutan dari Ivan. "Van?" Pria itu masih bergeming. "Ivan gue nanya."

"Saya sedang mengemudi, Aira."

"Gue tahu. Nyetir itu pakai tangan sama kaki. Mulut lo masih bisa jawab gue." Pria itu hanya menatap lurus ke depan. "Kenapa lo selalu menghindar saat kita bahas nyokap lo?"

"Karena saya memang tidak mau membahasnya!"bentak Ivan dengan mata memerah. Aira sampai tersentak.

"Lo sayang sama gue kan, Van?"desis Aira.

"Selalu, Aira."

"Kalau lo sayang sama gue, lo harusnya nggak egois! Kalau lo sayang sama gue, harusnya lo mau terbuka!"teriak Aira. Lalu wanita itu membuka pintu di sisinya dan turun dari mobil. Untung kondisi macet, jadi tak berbahaya.

"Aira!"teriak Ivan. Pria itu tak bisa meninggalkan mobilnya dalam kemacetan. Bisa-bisa ia dihajar ramai-ramai oleh orang-orang yang mengantri di belakangnya. Aira menghilang ke balik kendaraan yang berjubel. Ivan mengumpat dan memukul kemudinya hingga klakson mobil berbunyi panjang.

Cahaya MatakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang