Raka pov
Entah apa yang terjadi dengan Lucy, aku merasa ada hal buruk yang terjadi padanya tapi apa yang dilakukannya disekolah malam-malam gini? Bukannya urusan dengan setan somplak sudah selesai.
Dengan mempercepat laju kendaraan aku segera menuju kesekolah.
"Lucy bertahanlah aku akan segera menolongmu."
Aku makin memacu kendaraan makin cepat makin cepat hingga melebihi batas kecepatan. Ini mukin bisa disebut gila, tapi aku sudah tidak peduli lagi, aku tidak mau melihat orang-orang yang aku sayangi mandi cairan pekat. Sesampainya disekolahan aku tidak melihat tanda-tanda ada orang masuk sekolah, kecuali satpam, mungkin karena Lucy itu banyak akal makanya dia tidak ketahuan sama sekali, dengan memikirankan cara supaya bisa masuk kesekolah. Akhirnya Rexi sampai juga dengan membawa beberapa rekannya dan tim medis.
"Raka apa yang kau lakukan disini? Kenapa kamu tidak masuk."
"Ya kali aku masuk sekarang, bisa-bisa aku ditendang tuh satpam."
"Tapi kenapa Lucy bisa masuk dengan mudah? Ya mungkin saja dia loncat tembok."
"Tauk."
"Hmm, dasar nekat."
Setelah beberapa saat berbincang, Rexi pun memutuskan minta izin dengan satpam sekolah supaya bisa masuk kesana. Tapi entah mengapa perasanku menjadi gak karuan, seperti ada hal yang aku takutkan akan terjadi, dengan menunggu dari kejauhan, akhirnya ada kode dari Rexi untuk segera masuk, emang Rexi sudah tidak bisa diragukan lagi untuk soal seperti ini.
Tanpa membuang waktu aku segera masuk kesekolah, lorong demi lorong aku lalui, meskipun dengan langkah yang terburu-buru aku bisa saja membut pelaku lari atau pun sembunyi. Bahkan bisa saja pelaku atau orang yang melawan Lucy menyerangku balik, tapi aku sudah tidak peduli lagi dengan itu semua, yang aku perdulikan sekarang hanyalah keadaan Lucy saja.
Semua lorong dilantai satu sudah aku lalui, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Lucy juga. Dengan menghela nafas aku lari menuju lantai dua, namun saat aku mau naik tangga, aku tak sengaja menginjak darah segar yang aku yakini hasil dari perkelahian Lucy.
"Lucy...Lucy dimanakau." teriakku dengan histeris.
Air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi, tanpa aku sadari tetes demi tetes pun terjatuh. Dengan menghela nafas aku segera berlari menuju lantai dua, semoga saja Lucy masih disana aku tidak mau orang yang aku sayang terluka lagi, sudah cukup Aan dan Dimas saja. Lagi pula sesuatu yang diulang itu menyakitkan.
Tap tap tap
Suara langkah kakiku sudah terdengar dengan kerasnya, tapi saat aku sampai dilantai dua aku melihat seseorang wanita dari jauh, aku tidak tahu siapa dia tapi yang aku harap itu adalah Lucy.
"Lucy." ucapku dengan senangnya.
Tapi alangkah kegetnya aku ternyata itu adalah Bella dan juga Tino yang sedang berlumuran darah.
"Bella dimana Lucy? Aku mohon jawab."
"A...aku ti..tidak tahu. Ma..maaf, maaf kan aku." ucap Bella sambil menangis dengan suara gagap.
Aku tidak tahu apa yang terjadi disini? Tapi dari yang aku lihat sekarang sepertinya keadaan tidak memungkinkanku untuk bertanya lagi. Ditambah lagi Bella sedang terluka, tapi yang aku harap semoga saja Lucy baik-baik saja, itu pun semoga, karena dari yang aku lihat sekarang keadaannya sangat buruk bukan hanya itu juga, aku juga melihat banyak tetes darah dimana-mana. Termasuk aku bisa lihat darah keluar dari kulit Bella dengan luasanya. Mulai dari tangan, pipi hingga kaki bagian kirinya, disisi lain aku yakin genangan darah ini berasal dari tubuh Tino, melihat keadaan Tino sekarang aku merasa iba, jujur ini sungguh sadis buatku, tapi siapa yang melakukannya kenapa Bella dan Lucy juga ikut campur, ah masa bodoh, dengan menghela nafas dan tanpa basa-basi aku menggendong Bella.
"Raka apa-apaan sih? Turunin aku sekarang juga gak, atau......" ucap Bella sambil menggerakkan kakinya supaya aku turinin.
"Atau apa? Dengar ya Bella, aku cuma mau bawa kamu kebawah kok." ucapku sambil membawa Bella menuju ke halaman sekolah.
"Tetap saja turunin gak." ucap Bella sambil menjewer telingaku.
"Kalo kamu minta turun, minta saja turunin harga pulsa, ya kan." ucapku sambil menahan rasa sakit ditelinga akibat ulah Bella.
Ahirnya Bella menyerah juga, entah sejak kapan anak cupu bermata empat yang suka gonta ganti wik dan bengong ini. Bisa seperti ini sekarang, galak dan selalu membantah, kalo yang aku ingat mungkin sejak dia berteman dengan Lucy, dasar gadis monster. Tapi entah apa yang terjadi? Saat aku mau menuju kehalaman kelas Rexi menghentikan langkahku.
"Rexi apa kau menemukan Lucy?"
Rexi hanya menggelengkan kepalanya sebagai tanda kalau dia tidak tahu, tapi secara bersamaan Rexi memberi tahuku kalau dia membawa HP milik Lucy.
"Aku mengerti, oh ya aku juga mau bilang kalo di lantai dua ada korban lainnya, mungkin."
"Baik aku akan kesana sekarang."
Setelah Rexi dan beberapa rekan kepolisian dan juga tim medis pergi aku pun memutuskan menemani Bella untuk di obati lukanya.
Mungkin sekarang yang terlihat cengeng adalah aku. Mengapa tidak? karena dari tadi aku hanya bisa menangis sementara Bella dia hanya menahan rasa sakit kerena di obati.
'Dasar cengeng ingat kau itu anak ipa malu dong kalo takut darah lagi pula kau itu laki-laki.'
Tapi sebelum aku berhasil membuat diriku berhenti menangis, ternyata apa yang membuatku takut dari apa pun datang juga. Apa lagi kalo tidak jarum suntik, dengan terus memutar otak, aku berusaha membantu Bella supaya tidak takut untuk disuntik, atau lebih tepatnya supaya aku tidak terus menangis.
"Wah Bella kamu terlihat cantik deh malam ini."
"Raka lo lagi sakit ya, lo gak lihat gue lagi luka-luka kayak gini lo bilang gue cantik, aneh ya lo."
Sebenarnya Bella malam ini terlihat aneh, apa lagi soal logat bahasanya sudah tidak mencerminkan dirinya lagi. Bella yang sekarang tidak sama seperti yang dulu, berbeda seratus delapan puluh derajat bahkan aku hampir tidak mengenalinya, semoga saja perubahan sikap Bella bukan karena perubahan sikap Lucy.
"Habisnya kamu cantik banget, dengan rambuy model indigo, tunggu dulu jangan-jangan tadi kamu berantem sama tukang cukur."
"iihh dasar play boy somplak."
Syukurlah akhirnya aku tidak melihat jarum suntik masuk kekulit Bella, tapi sebelum aku bernafas lega tim medis itu mulai menjait kulit Bella, oh no, merasa tidak mau terlihat penakut aku pun memutuskan pergi sebentar.
Aku mulai menyusul Rexi, tapi sosok apa yang bisa sekejam ini dan mampu membuat Tino dan juga Bella terluka. Ditambah lagi Lucy hilang seperti lenyap dari dunia, saat aku sampai di tempat Rexi. Aku bisa melihat para tim medis sudah membawa Tino menuju rumah sakit, yang aku harap sekarang adalah Tino selamat, kenapa aku berharap begitu, soalnya Tino punya hutang Rp 675.000 buat membeli papan keyboard dan liburan kemarin. Ngenes banget hidupku sekarang, kenapa tidak, iya kalo dia selamat, kalo tidak kemana uang ku semua itu, masak aku tagih hingga liyang lahadnya segala. Ya kali konyol dong aku.
Setelah Tino sudah tak terlihat aku segera menemui Rexi tapi dia malah......
"Raka sebaiknya kamu pulang sekarang, dan jangan lupa antar gadis itu."
"What? Mana mungkin aku pulang pokoknya aku mau tetep disini mencari Lucy."
"Raka jangan seperti anak kecil, kau tahu kalo Lucy disini dia pasti juga bilang hal yang sama juga, kau paham kan."
"Tapi aku mau mencari keberadaan Lucy, aku juga yakin sekarang Lucy masih disekitar sini."
"Kau harus pulang setidak nya demi temanmu itu, dan jangan lupa antar gadis itu, aku yakin nyawanya juga terancam."
Dengan sedikit merenung aku mulai meninggalkan Rexi sendiri untuk mencari Lucy, meski hati ku tidak mau, tapi ini demi kebaikan bersama apalagi sekarang nyawa Bella juga dalam bahaya.
Hi guys sorry ya kalo aku udah lama gak aktif publisnya, soalnya inspirasinya gak mengalir sih jadi ya kayak gini lama publisnya
Oh ya jangan lupa juga vot and comment.
See y...
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Lukisan Horor
HorrorRitual membuka mata batin telah dimulai... Apa kau yakin kalau dia akan menjadi korban ketigamu.Iya aku sudah yakin dia telah banyak mengetahui semuanya.Suruh siapa ikut campur.kalau dia gak kuat kan bisa gila atau kalau bisa mati...