kedua

904 115 21
                                    

Urusan perpindahan sekolah Jelita sudah rampung segenapnya. Hari ini, hari pertama ia menginjakan kaki di sekolah barunya. SMA Bina Karya adalah sekolah pilihan kedua orangtuanya. Setiap sudut bangunan ia pandangi. Jakarta? Kata orang Jakarta itu keras, tempat sebagian orang-orang mengadu nasib. Kota padat. Kota panas. Semenyeramkan itu kah Jakarta? Lalu, bagaimana dengan suporternya? Tidak. Metropolitan tidak menyeramkan. Seperti yang pernah Jelita baca pada quote karya Sapardi Djoko Damono  Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, Jakarta itu kasih sayang. Kota ini baik. Semoga.

“Nama saya Jelita Anantiya. Pindahan dari Bandung,” lantang Jelita memperkenalkan dirinya di depan kelas dengan singkat.

“Alasan lo pindah?” laki-laki berambut sedikit berantakan, berkulit kuning langsat, bermata coklat dan berhidung runcing yang duduk di pojok kelas membuka suara.

“Maaf itu mah privasi gak bisa saya kasih tahu,” dibarengi dengan senyum samar.

“Bobotoh!” tukas laki-laki itu.

Hening. Sontak Jelita terkejut, kenapa laki-laki itu bisa tahu? Jelita meredam kegentarannya. Bagaimana tidak? Di sini Jakarta, walaupun ia suporter yang mematuhi aturan tetap saja sudut pandang orang lain berbeda-beda.

“Gelang yang lo pake.”
Penglihatan Jelita langsung mengarah ke pergelangan tangan, sialan! Khilap ia malah memakainya. Akibat keterbiasaan di Bandung memakai gelang biru yang bertuliskan Bobotoh girl itu, kini tanpa sadar ia memakainya juga di Jakarta. Tempat yang bukan seharusnya.

Jelita pandang lelaki itu, tersenyum miring.

Kemudian Jelita dipersilakan duduk di sebelah perempuan berbadan bongsor. Perempuan berbadan bongsor itu tersenyum. Ah, ternyata tidak semua manusia Jakarta menyebalkan. Jelita balas senyum.

“Tasya,” perempuan berbadan bongsor itu mengulurkan tangan.

“Jelita.”

Kini Tasya menjadi teman pertama Jelita.
***

“Yang mana, Bro, ceweknya?”

“Setelah istrihat lo ke kelas gue.”

“Jadi lu mau buat rencana apa buat dia?”
“Yang setimpal.”

Laki-laki berambut gondrong bernama Bowo terperangah. Tak percaya. “Bro...”

“Nyawa harus dibalas nyawa.”

Insiden dua tahun lalu tak pernah hilang diingatan Jaya, dendamnya masih membalut,  masih seperti baru walau kejadianya sudah dua tahun silam. Kini, salah satu dari mereka datang, Jaya memanfaatkan kesempatan yang ada. Jaya harus membalaskan dendamnya. Salah satu dari mereka harus merasakan apa yang Jaya rasakan. Apa yang keluarganya rasakan.

Bowo adalah sahabat Jaya sejak SMP, ia tahu betul insiden dua tahun silam. Setelah mendengar pernyataan apa yang akan Jaya lakukan. Bowo ingin mencegah, tapi bagaimana? Dendam sudah menyelimuti diri Jaya.

Dua tahun lalu, pertandingan Persib versus Persija akan digelar di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, ini merupakan pertandingan panas dan penentu siapa yang akan menjadi juara. Sebagai seorang Jakmania, Jaya tak mau melewatkan menonton laga ini. Ia dan sepupunya bernama Ekam berangkat ke Gelora Bung Karno. Suporter dari Persib pun tak mau melewatkan pertandingan panas yang digelar ini, banyak Bobotoh ikut menyaksikan.

Namun sayang, ada sebagian yang datang tidak kebagian tiket, para calo bahagia tiketnya ludes terjual karena para pembeli tak mempermasalahkan harga, demi menonton laga rival ini.  Di dalam stadion pun sudah padat terisi, penonton membeludak. Walaupun keamanan diperketat, tetap saja pertemuan si oranye dan si biru ini sulit untuk di amankan.
Pertandingan berakhir dengan hasil 2-1, Persija Jakarta unggul atas Persib Bandung.

Akhirnya para Jakmania bersorak ria menjadi saksi juaranya Macan Kemayoran. Akibat terlalu tenggelam dalam euforia juara, Jaya kehilangan Ekam di sebelahnya. Jaya mencari-cari di sekitar tribun, hasilnya nihil. Ia memutuskan ke luar stadion.

Lemas ia melihat sepupu tujuh tahunnya itu terbaring lemah berlumur darah dikelelingi orang-orang.

Kematian Ekam adalah hasil pengereyokan dari oknum suporter. Seluruh keluarganya begitu terpukul, tak bisa menerima. Kenapa? Kenapa anak sekecil itu harus jadi korban berangnya para suporter. Ada apa dengan manusia dalam negeri ini? Buta ia akan siapa yang telah dibunuhnya. Sampai sekarang, Jaya tak mudah mengikhlaskan insiden tewasnya Ekam. Dendam tumbuh. Beberapa keluarga Jaya mengasingkan Jaya, bahwa Jaya adalah pembawa sial. Kalau saja dulu Jaya tak mengajak Ekam untuk pergi ke Gelora Bung Karno pasti semua akan baik-baik saja.

“Nanti sore semua kumpul di markas.”

***

“Gue Jaya.”
Laki-laki menyebalkan itu memperkenalkan dirinya pada Jelita.

“Saya gak mau tahu,” ketus Jelita

“Jaya Laska,” Jaya mengulurkan tanganya tak peduli akan penolakan. Jelita tak mau mersepon. “Gue tertarik sama lo," sambungnya, “Karena cewek penyuka bola itu langka.”

“Banyak.”

“Maksud gue sampe berani make atribut di kota rival.”

“Saya bukan pengecut!”

Jaya bertepuk tangan. Tidak lama seorang guru masuk, Jaya beralih menuju bangkunya. Dendamnya semakin berkobar, tambah semangat ia mempraktekan rencananya.

“Dia suporter juga?” tanya Jelita pada Tasya

“Iya hati-hati.”
***

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang