Keduapuluh

264 28 3
                                    

Seno mengajak Jaya dan Jelita untuk bermalam di apartemennya dahulu, mereka berdua menolak karena harus sampai ke ibu kota dengan cepat, ada beberapa hal yang harus diselesaikan.

Tak memaksa, Seno mengantar dua remaja itu ke terminal, Jaya dan Jelita banyak-banyak berterima kasih pada kaka tunggal Tasya itu.

Perjalanan menuju Jakarta begitu sunyi syahdu, masalah yang telah terjadi seperti lenyap dibawa bintang-bintang malam, di pundak yang paling aman dan nyaman Jelita menyandarkan kepalanya seakan beban pikirannya tertumpahkan ke sana, lalu ada yang berbisik ke telinganya, “ I love you,” ucapnya lembut.

Angin seperti bergumul di telinganya, mereka tak mau tertinggal mendengar kata sederhana yang diucapkan lelaki itu ternyata bisa menghangatkan siapa pun, termasuk Jelita yang memasang senyum merekah dalam keadaan yang masih merebah kepalanya.

*** 

Sekembalinya ke ibu kota ada yang tampak berbeda, ayah Jelita menjadi dingin, ia kecewa terhadap putrinya yang tidak bisa diatur dan bengal. Sementara ibu tetaplah ibu, ia tak berubah sedikit pun, tidak marah tidak pula kecewa dengan kembalinya Jelita yang masih baik-baik saja sudah membuatnya lega dan bersyukur.

“Bu, ayah bakal seperti semula lagi gak yah?”

“Neng, ayah teh udah maafin Eneng, bahkan sebelum Eneng minta maaf sama ayah,” ucap ibunya menenangkan. menenangkan.

“Masa sih, Bu?”

Ibunya memberi senyuman yang bisa menentramkan hati Jelita.
Bagi Jelita, rasanya tidak enak bila didiamkan oleh seorang ayah, ia takut ayahnya benar-benar sudah ada dipuncak kecewa karena Jelita terlalu fanatik pada hobinya.

Apa harus Jelita menghentikan hobinya, mengubur dalam-dalam, lagipula sekarang suporter Ibu Kota dan Bandung Barat sudah mulai surut dari pertikaian, jadi tak perlu ada yang diresahkan lagi. Sepertinya, ia harus meminta maaf kembali pada ayahnya dan berjanji tidak akan pernah menonton bola lagi sampai sefanatik itu, ia akan menjalani kehidupannya yang normal, belajar dengan giat dan menjadi perempuan yang semestinya.

Merasa diasingkan itu tidak enak, ia lebih suka melihat ayahnya yang cerewet melarang-larangnya daripada acuh seperti ini terhadapnya.

“Gimana?”

“Ide bagus. Maaf, saya teh gak bisa Jaya.”

“Kenapa? Bukannya ini keinginan lo sendiri liat bobotoh sama thejak bersatu?”

Jaya melihat ada yang disembunyikan oleh Jelita. Ia menjadi tidak seceria biasanya, ia menjadi rajin lebih rajin dari biasanya dalam belajar. Tasya juga merasakan hal serupa, ada yang berbeda pada gadis berlesung pipit itu, tak ada terdengar Jelita yang sering menceritakan laga apa yang ia tonton semalam, siapa yang memenangkan liga, siapa yang mencetak gol, atau apa pun yang berkaitan dengan sepak bola yang ia biasa ceritakan pada Tasya, meski Tasya tak sepenuhnya paham tapi Tasya siap memasang telinga lebar-lebar.

Akhir-akhir ini yang terdengar di telinga Tasya dari mulut Jelita perihal tugas dan tugas. Hal lainnya, Jelita jadi tak banyak besuara, tertutup dan penyindiri.

Tempat yang tadinya tak mau disinggahi menjadi tempat favorit Jelita bila istirahat tiba, hampir setiap hari ia ke rooftop. Saat ini pun ia masih merenung, menatap langit, memikirkan ayahnya yang masih bersikap asing padanya. Padahal, ia sudah berusaha berubah menjadi Jelita yang ayahnya mau bukan yang dirinya mau.

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang