ketujuh

780 68 8
                                    

Di luar gerbang Bina Karya mobil berwarna krem terparkir, Tasya langsung lari dengan ekspresi semringah menghampiri mobil itu, tak lupa, Jelita mebuntuti Tasya.

Sesampainya, orang yang di dalam mobil itu keluar, menyapa dan memeluk Tasya. Banyak bentuk kesamaan beberapa wajah si Pemilik mobil sedan dengan Tasya, Jelita kerap menduga kalau itu adalah saudara kandung sahabatnya.

“Kakak gue, Ta,” beritahu Tasya. Seno dan Jelita berjabat tangan saling memperkenalkan diri dan melempar senyum singkat.

“Oh iya, Ta, kalau mau pulang biar sekalian aja sama gue, Kak Seno juga enggak keberatan, iya, kan, Kak?”

“Boleh, boleh,” balas Seno ramah.

Seno adalah kakak tunggal Tasya, ia baru berbalik ke Jakarta hari ini karena  sedang libur kuliah, Seno menutut ilmu di salah satu universitas yanga ada di Surabaya. Tujuanya pulang ke Jakarta untuk melepas rindu pada keluargannya.

“Enggak usah, Tas, aku enggak langsung pulang ke rumah kok, mau ke toko buku dulu.”

“Enggak papa, biar kita antar. Lagian ini mau sore, Ta.”

Jelita menolak kebaikan kakak beradik itu. Alasanya, ia suka memakan banyak waktu bila sudah berada di toko buku. Tidak enak pada Seno dan Tasya bila harus menunggu lama-lama. Ujungnya, Tasya dan Seno memahami penolakan gadis berlesung  pipit itu.

“Hati-hati, Ta,” pesan Tasya.

Keluar dari toko buku, senja sudah mau tenggelam menyembunyikan kembali keelokannya.  Jelita memasukan beberapa buku yang sudah ia beli ke dalam tasnya. Bersiap  akan pulang dengan naik kendaraan umum, oh iya, jika saja Alan tahu ia sedang sendiri di luar saat hari akan berganti jadi malam, tak segan-segan Alan menemui dan mengantar Jelita pulang, akan tetapi sengaja Jelita tidak menghubunginya, ia tak mau segalanya terlalu bergantung pada pacar.

Berpasangan  tak harus melulu berbarengan, Bukan kah, ruang juga diperlukan untuk merajut sebuah hubungan.

Di saat jalanan cukup sepi, tiba-tiba ada yang membekap mulut Jelita, Jelita berontak, tak bisa. Penglihatannya sayup. Kabur. Gelap. Kesadarannya lenyap seketika bersama raganya yang ringkih.

Kesadaranya kembali, mata Jelita pelan-pelan terbuka. Terkejut. Badan, tangan dan kakinya diikat tali, pergerakannya sangat sempit. Sulit sekali ingin melepas diri.

Matanya menyapu ke sekeliling ruangan, ia berada di suatu markas. Di dalam ruangan tersebut, ada beberapa foto yang terpampang di dingding, potret orang-orang yang sedang bersama di tribun. Kompak berpakaian serupa. Ah, ya, ia baru sadar kalau tempat ini merupakan markas Jakmania.

Jelita meronta-rontakan badannya, berharap tali yang mengikat tubuhnya terlepas. Lalu, ia menemukan sosok manusia bertato yang hampir akan menculiknya pada selesai nobar kala itu, Joni bersama beberapa orang.

“Lepasin saya!!!”

“Saya tau, kalian diperintah Jaya, kan?!”

Mereka menghirauhkan Jelita dengan tawa, “Iya. Kenapa? Salah
sendiri mau aja jadi suporter Persib. Mening jadi pacar gua,” olok Joni

“Lepasin saya! Balas dendam bakal merugikan diri kalian sendiri. Balas dendam bakal membuat pertikaian ini enggak akan ada akhir. Kita semua harus berhenti mengotori nama suporter di negeri ini.”

Tawa mereka semakin pecah. Perkataan Jelita dianggap sebuah lelucon. Mereka tuli, tuli akan kebenaran. Tak tahu malu! Sudah tinggal di bumi pertiwi tapi abai pada apa yang baik untuk negeri ini! batin Jelita.

Ia berontak kembali. Gagal. Beberapa kali telah diupayakan. Dan masih gagal. Ia menatap tajam ke sekelilingnya beberapa anggota Jakmania, ada yang janggal, tidak ada manusia bernama Jaya Laska di sini.

Jaya melesat bersama vespanya menuju markas ketika mendapat pesan dari Joni bahwa ada sesuatu yang akan membuatnya bahagia.

Setelah ia sampai pada suatu bangunan sederhana, bercat jingga, pada bagian luar dingding ada lukisan logo Persija, logo Jakmania, dan beberapa quote tentang Jakmania yang sengaja dibuat. Pintu tertutup rapat, sementara di dalam begitu bising.

Jaya terkejut setelah menemukan perempuan berseragam Bina Karya menangis, badanya terikat oleh tali, tiga kancing atas bajunya terbuka.

“Anjing! Siapa yang bawa dia ke sini?!!!”

Jaya segera mengahmpiri perempuan itu, ia melepas tali yang terikat di tubuh perempuan itu, juga melepas sweater merah yang sering dikenakannya lalu dipakainya untuk menutupi sebagian tubuh Jelita yang terbuka. Begitu semua ikatan tali terlepas, Jelita langsung memeluk Jaya, karena ia terlalu gentar, dirinya hampir dilecehkan.

“Sekali lagi lo semua menganiaya dia, gue bakal buat perhitungan sama lo semua!” ancamnya kepada semua teman-temannya.

Mereka semua mematung, juga heran, kenapa Jaya malah bertingkah sebaliknya? Bukankah kebahagiaanya terletak pada penderitaan musuhnya itu? Lalu kenapa Jaya malah menyelamatkan Jelita? Apa Jaya lupa, membawa Jelita ke markas adalah awal rencannya dulu.

“Jay, yang seharusnya buat perhitungan itu lo ke diri lo sendiri. Lo lupa dia itu rival kita?” salah satu dari mereka bersuara

“Lo semua lahir dari rahim seorang perempuan,” cuma itu yang terlontar dari mulut Jaya, Jaya ke luar membawa Jelita yang masih sangat syok ketakutan.

Teman-teman seanggotanya masih tidak mengerti dengan perkataan Jaya barusan membuat mereka bertanya-tanya. Tidak mengerti. Sulit dipahami. Aneh sekali tingkah ketuanya itu.

Ketik vespa melaju, Jelita menyandarkan kepalanya pada punggung Jaya, kedua tanganya memeluk tubuh Jaya, tersedu-sedu ia bersama ingatan peristiwa tadi yang masih membayang-bayanginya.

Setelah menyelamatkan Jelita, Jaya kembali ke rumahnya. Ada ibunya Melin dan ayahnya Pusaka yang sedang menonton televisi berdua, tidak ada teguran sapa dari mereka seperti yang sudah-sudah. Begitulah Jaya di lingkungan keluarganya, ia tak pernah ada dianggap ada oleh mereka. Kehangatan yang Jaya rasakan di rumah dulu sebelum kepergian Ekam kini hilang, semua keluarganya sudah tak mempercayainya, Jaya dianggap si pembawa sial. Mereka berbicara pada Jaya pun hanya seperlunya.

Ini yang membuat Jaya benci akan keadaan, akan dirinya sendiri, diasingkan oleh keluarganya. Jaya sudah tidak tahu lagi harus bagaimana ia berbuat, ia pernah meminta maaf pada keluarganya terutama pada ibunya Ekam yang paling terpukul atas tewasnya Ekam, tapi mereka tak merespon begitu baik. Sejak saat itu, mau ia melakukan kesalahan atau tidak kata maaf adalah suatu kata yang enggan Jaya lontarkan.

Berbaring ia di atas kasur. Wajah Jelita yang sendu masih terbayang. Saat di depan rumahnya, ia mengucapkan terimakasih dengan terbata. Manis, gumam Jaya. Ah tidak, tidak, ada apa dengan diri Jaya? Kenapa ia malah menyelamatkan perempuan itu? Sepertinya Jaya salah mengambil langkah, perbuatanya tidak sesuai dengan apa yang direncanakanya. Jaya mengusap wajahnya sendiri, ada yan tidak beres pada dirinya sendiri.

***

LOVE STORY DUA SUPORTER [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang